Fitnah

282 27 7
                                    

"Maaf." Kay mengulang kata yang sama. Wajahnya muram. Matanya kemerahan, seperti menahan kemarahan bercampur sakit hati. Sinar matanya melembut sesaat, tapi dengan cepat berubah tajam.

"Ini pasti mimpi buruk. Aku salah dengar. Atau Mas sedang bercanda." Shayna menatap tak percaya, sekaligus berharap sangkaannya benar. Kay tidak sungguh-sungguh menikahi kakaknya.

Kay menghela napas panjang sambil menoleh sekilas pada ayah ibunya yang duduk di dekat lelaki yang baru saja jadi ayah mertuanya. Raut wajah mereka datar dan sikap tubuhnya kaku.

"Ini kenyataan, Shany." Kay menyebut nama kecil Shayna. "Maaf, kita putus dengan cara begini." Suara lelaki muda itu dingin. Ekspresinya datar, seolah-olah yang diucapkannya hanya salam perpisahan basa-basi biasa dengan kawan sekolah yang tidak akrab.

Telinga Shayna sontak mendengung, bagai habis mendengar suara sambaran petir di angkasa. Hatinya serasa dijatuhi meteor hingga meledak sampai berkeping-keping.

Bibirnya bergerak-gerak, seolah-olah mengucapkan sesuatu, tapi tak ada suara keluar dari mulutnya. Padahal, Shayna merasa sudah berteriak kencang.

Mas, kenapa kau lakukan ini?!

Badai emosi yang kuat menerjang hatinya dan melumpuhkan kinerja jantungnya. Aliran darah menjauhi kulit mukanya hingga berubah pucat. Napas Shayna tersendat. Detik berikutnya, gadis itu lunglai, kehilangan kesadarannya.

Beberapa tamu berteriak kaget menyaksikan dokter cantik itu ambruk. Secepat kilat, Kay maju dan menahan tubuh Shayna agar tak terbanting ke lantai keramik. Dibawanya Shayna ke kamar terdekat, di bawah tatapan cemburu Sherina, pengantin wanitanya.

***

Pandangan Shayna menangkap bayang-bayang putih yang menggelembung, membesar, lalu pecah membentuk sinar lampu neon yang menyorot tepat di atasnya.

"Akhirnya anak ini siuman juga." Sebuah suara familiar merambat ke gendang telinganya. Nadanya dingin, bukan menunjukkan perhatian, lebih mengandung semacam rasa enggan dan jemu. Shayna mengenalinya sebagai suara Rosa, ibu tirinya.

Gadis itu segera menyadari, dirinya terbaring di ruangan yang bukan kamarnya. Ada ibu tiri dan papanya, berdiri tak jauh darinya. Sementara Sherina duduk di tepi kiri ranjang sambil menangis.

Bola mata coklat indah milik Shayna berputar mencari sosok Kay, kekasihnya. Namun, lelaki yang telah menjalin hubungan dengannya selama tujuh tahun tersebut tak tampak batang hidungnya.

"Tadinya aku tak percaya, kamu melakukan itu, Shan. Tapi bukti-bukti begitu banyak. Aku sangat kasihan pada Kay. Awalnya aku hanya bermaksud menghiburnya, tapi lama-lama kami saling tertarik ...." Sherina bertutur tanpa ujung pangkal, ingin menjelaskan, tapi kalimatnya satu pun tak dipahami Shayna.

Pandangan Shayna berhenti di wajah papanya. Sinar mata gadis itu penuh tanya bercampur luka.

"Tanyakan pada dirimu sendiri! Kelakuanmu yang liar! Bikin malu keluarga! Salahku yang terlalu percaya, melepasmu jauh ke luar kota. Ternyata selama ini pura-pura hijrah untuk menutupi belang saja! Kalo bukan Sherina yang membongkar semuanya, kami tak akan pernah tau watak aslimu! Kasian Kay!" Semburan kemarahan Rudi, ayah Shayna, mengudara bagai rentetan peluru yang ditembakkan dari mitraliur.

Shayna ternganga. Bingung. Ia tak kuasa mencerna makna ucapan ayahnya.

"Papa, apa salah Shany? Dan kenapa Papa biarkan Kay nikah dengan Kak Sherin? Bukankah Papa sendiri yang menerima pinangan keluarga Kay untuk Shany? Dua bulan lagi kami nikah ...." Gadis itu bangkit duduk dan mengepal sepasang tangannya.

"Kamu nanya apa salahmu?!" Suara Rudi menggelegar. Pria setengah baya itu mengeraskan rahang. Tiba-tiba ia maju dan menampar pipi putrinya.

Plakk!

BUKAN PERNIKAHAN SEMUSIMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang