21. Tear(s)

196 14 8
                                    

Anna menggeleng kecil dari tengah koridor, mencoba berpikir bahwa apa yang didengarnya salah. Tapi, semakin ia berpikir bahwa ia salah dengar, rasa sakit yang ada di dalam hatinya semakin menjadi.

Air mata Anna mulai bercucuran, tak bisa lagi membendung rasa sakit selama ia mendengar penjelasan dari orang-orang di ujung koridor sana.

Iqbaal yang ada di samping Anna hanya bisa menghela nafas, ia tahu akhirannya akan seperti ini. Rasa yang memabukkan itu akhirnya menorehkan luka setelah sekian lama hanya memberi rasa bahagia. Dan mereka yang merasakannya, satu sama lain saling membagi rasa sakit. Rasa yang selama ini dipendam dalam diam.

Iqbaal merangkul Anna yang tengah terisak, membawanya pergi dari sana. Mengamankan hatinya agar tak terluka lebih dalam. Cukup perasaan sakitnya ia pendam, tak usah ia bagi pada siapapun. Toh, tak akan ada yang mau perduli.

Sementara pasangan yang mulai saling mencintai itu pergi, Bastian dan Lily masih tetap berhadapan. Bastian masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar telinganya. Apa ia salah dengar? Tapi, Lily mengatakannya dengan jelas barusan.

Anna menyukainya dari dulu? Benarkah? Lalu apa yang ditunggunya selama ini, kalau begitu?

"Dia benar-benar menyukaimu, bodoh," kata Lily datar.

Bastian mengusap wajahnya dengan gusar. Ia teringat segala hal yang telah diucapkannya pada Lily, tentang jatuh cinta pada sahabat yang ia anggap konyol. Padahal di balik pernyataan itu ia tengah berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang dirasakannya pada Anna memang konyol, tak nyata, dan tak seharusnya ia rasakan.

"Apa yang kau lakukan di sini?" Tanya Lily. "Kejar dia! Jelaskan semuanya, bukankah itu yang seharusnya kau lakukan sekarang?!"

Tidak. Ia memang mencintai Anna, baik dulu maupun sekarang, tapi apa perlu ia mengatakan hal itu setelah apa yang terjadi? Anna sudah dengan sahabatnya sekarang, mungkin juga sudah bahagia. Menyatakan perasaannya juga tidak akan berpengaruh apa-apa. Ia tak mungkin menghancurkan kebahagiaan sahabatnya sendiri, 'kan?

Ya. Ia memang sempat membenci Iqbaal karena telah merebut Anna darinya. Tapi, setelah dipikir-pikir, ia tidak berhak menyatakan Anna miliknya. Ia berlaku seenaknya, berganti-ganti pasangan di hadapan Anna tanpa mengetahui apa yang dirasakan gadis itu. Setelah sikap egoisnya selama ini, ia tak mungkin setega itu untuk menyatakan perasaannya. Walaupun ada kemungkinan besar Anna menolak perasaannya, tapi tetap saja ada yang akan berubah di antara mereka. Akan ada tembok kasat mata yang membuat jarak lebar di antara dia dan Anna.

Bastian menutup kedua matanya sebentar, lalu kembali menatap Lily. "Tak ada gunanya menjelaskan perasaanku. Apa akan merubah sesuatu? Kau akan tetap membenciku, dia akan tetap bersama kekasihnya, dan aku akan tetap terluka. Apa yang akan berubah?"

Lily tertegun. Ia selalu menganggap dirinyalah yang paling terluka, tapi ternyata salah. Pria di hadapannya lah yang paling terluka. Melihat matanya dan mendengar lirih suaranya, ia seakan bisa mengetahui semua sakit yang lelaki ini sembunyikan.

"Lupakan semuanya. Aku minta maaf telah membuatmu menangis. Aku tak pernah bermaksud untuk melakukan semua itu," helaan nafas Bastian adalah hal terakhir yang didengar Lily sebelum punggung lelaki itu berbalik dan berjalan menjauh.

-

Suara kaca yang beradu dengan meja membuatnya terbangun perlahan. Dan hal pertama yang dilihatnya adalah senyuman Iqbaal. Ia berusaha duduk saat Iqbaal bergegas membantunya.

"Kenapa aku ada di sini?" Tanya Anna.

Gadis itu terbangun dan mengenali ruangan di sekitarnya sebagai kamarnya sendiri. Tapi, bagaimana ia bisa ada di sini? Bukankah tadi ia ada di sekolah?

"Kau menangis sampai jatuh pingsan. Tak ingat?" Iqbaal tersenyum geli sementara Anna memberengut.

"Aku bukannya menangis," sahutnya. "Mataku perih."

Iqbaal tertawa. "Oh ya? Matamu pasti sangat perih sampai-sampai berair selama 3 jam."

"Oh, hentikan!"

"Oke, oke," tawa Iqbaal mulai berhenti.

Anna tersenyum. Tapi senyuman itu tak bertahan lama, ekspresinya mulai sendu dan perlahan-lahan air matanya sudah menggantung, hanya tinggal sekali kedipan sudah dipastikan air mata itu meluncur mulus menuju pipinya.

"Hei, jangan menangis," kata Iqbaal. Ia menghela nafas, lalu berkata, "Baiklah, kau boleh menangis. Asal pastikan kau pingsan dalam keadaan berbaring. Apa kau tahu susahnya mengangkat tubuhmu dengan berat badan seperti itu? Aish, seharusnya kau ini sering--OUCH!"

Anna menatap tajam Iqbaal setelah melemparkan bantalnya. "Kau mau bilang berat badanku naik?" Tanyanya ketus.

"Bukan begitu, hanya saja kau ini terlalu apa ya. Hmm, kau jarang berolahraga, bukan? Nah," ia menghentikkan ucapannya sebentar setelah melihat Anna sudah bersiap-siap memegang bantal. "Ah, aku lupa. Kau itu ringan sekali. Aku sampai-sampai tidak merasa sedang menggendongmu tadi, seperi menggendong boneka. Benar, itu benar. Kau tidak perlu membuang tenagamu untuk melempar--HEI! Aku tidak mengataimu, kenapa kau ... jangan kabur!"

Bantal kedua yang dilempar Anna tepat mengenai mulut sasarannya. Karena keberhasilan itulah, ia berlari keluar menuju pintu untuk menghindari singa yang berkemungkinan menerkamnya.

Mereka berakhir berlari-larian mengitari seisi rumah, melupakan kejadian yang baru saja terjadi 3 setengah jam lalu.

*

a.n

Jujur, aku minta maaf sebesar-besarnya karena dengan gak bertanggungjawabnya menelantarkan cerita ini nyaris 2 tahun. Part terakhir itu januai 2015 dan bahkan sekarang udah mau 2017 so im really sorry. Jujur aku gak yakin ada yang masih nunggu cerita ini karena keteledoran penulis. Tapi aku berharap masih ada, he he.

Maaf sekali lagi. Aku gak janji bisa post secara teratur, but i'll try.

Terimakasih banyakkkkk buat yang masih mau baca, aku harap kalian gak kecewa dan masih mau nunggu.

Oh ya, ini telat banget emang tapi merry chrismast!

27/12/15

07:09 pm.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Dec 27, 2016 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

NEAR • bbs (SU)Where stories live. Discover now