13. Explanation

652 47 0
                                    

Kafé Roxy

05.24 pm.

Di salah satu kursi aku menatap pengunjung yang masuk-keluar lewat pintu. Berharap salah satunya ada gadis berambut coklat panjang sebahu yang masuk untuk menepati janjinya.

Aku mengetuk-ngetukan jemariku di meja yang ada di hadapanku. Suntuk. Bosan. Sudah hampir setengah jam aku menunggu disini dan orang yang ku tunggu belum juga datang.

Apa dia mau menepati janjinya?

Atau dia terlalu takut untuk jujur?

"Hei An, maaf aku terlambat." aku mendongkak dan mendapati sepasang mata berwarna biru laut.

"Tak apa,"

Lily tersenyum manis lalu duduk di kursi yang ada di depanku. "Ada apa? Kita mau membahas apa disini? Bastian?"

"Beri tahu aku apa nama depan, tengah, dan belakangmu."

Lily bungkam, seperti ekspektasiku. Aku tetap menatap matanya, menuntut untuk menjawab permintaanku.

"Ayolah Li, aku hanya meminta nama lengkap. Tak akan membuatmu mati 'kan?" tanyaku memancing.

"Namaku ...," jedanya. "Namaku Lilyana Alexander William."

Mulutku membulat membentuk O sempurna. "Rose Lilyana Regards menjadi Lilyana Alexander William? Kau pintar mengarang ternyata." ujarku sarkastik.

Aku menarik nafas dalam, mencoba meredakan emosiku. "Li, apa susahnya jujur? Oh atau, nama itu juga yang kau beri tahu kepada Bastian?"

Lagi-lagi Lily terdiam. Tapi sepertinya dia memberikan aku kesempatan untuk berbicara panjang lebar.

Oke.

"Tak puas menyakiti hati si keriting sinting hanya sekali?" aku tersenyum miring.

"Dengar ya Li, Bastian punya hati. Kau tahu 'kan, dia menjadi player semenjak kau pergi? Oh atau kau tak tahu sefrustasi apa Bastian saat kau meninggalkannya dulu? Kau juga tak tahu 'kan, bagaimana susahnya menghiburnya saat itu? Dia seperti mayat hidup. Tak mau makan, tak mau keluar rumah, bahkan bertemu teman-temannya pun ia tak mau. Dia selalu berkata, aku ingin bertemu Lily. Selalu seperti itu. Seperti tak ada kalimat lain yang dia tahu.

"Dan akhirnya dia bisa kembali normal, itupun dengan usaha kerasku dan yang lain. Tapi dia malah menjadi player. Dia berubah. Dia yang dulu kaku untuk berhadapan dengan cewek, sekarang berani sekali untuk flirt ke cewek manapun yang ia temui. Aku jengkel dengan sikapnya saat itu; jahil, sinting, gila, genit dan sifat lainnya. Tapi ada satu hal yang aku syukuri, dia berusaha untuk melupakanmu dengan caranya sendiri. Dan ternyata, dia belum benar-benar menghilangkan perasaannya untukmu. Karena apa? Dia jatuh cinta lagi kepadamu walaupun kau benar-benar bukan seperti Lily.

"Dan apa Lagi rencanamu selanjutnya? Meninggalkan Bastian lagi? Dan membuat dia kembali gila lagi? Enough Li. Cukup sekali. Jangan yang keduakalinya. Hanya dengan kau jujur siapa dirimu sebenarnya saja, Bastian bisa langsung membencimu Li." jelasku panjang lebar.

Mataku maupun mata Lily berkaca-kaca sekarang. Rasanya sakit mengingat betapa rapuhnya Bastian hanya karena Lily meninggalkannya.

"Maaf," lirih Lily.

"Aku tak bermaksud untuk meninggalkan Bastian dan membuatnya seperti itu," lanjutnya masih terisak. Ia mendongkak untuk menatap mataku. "Saat itu ayahku dipindahtugaskan ke luar negeri, dan aku diharuskan ikut. Aku tak sanggup untuk mengucapkan selamat tinggal kepada kalian, terutama Bastian. Dua tahun An, jangan anggap aku ini tidak rindu padamu dan yang lain. Aku hampir gila dua tahun ada disana dengan teman baru dan segalanya yang baru. Aku rindu kau. Aku rindu Bastian. Semuanya menyulitkan. Aku tak mungkin kembali ke Indonesia, karena aku tak ada siapapun disana. Tolong mengerti An, aku juga sama dengan Bastian.

"Dan saat aku diberi tahu Ayahku kembali ditugaskan di Indonesia, aku senang. Aku membayangkan bisa kembali bersama dengan kalian. Tapi semua bayangan indah itu lenyap. Lenyap karena aku ingat, ketika aku datang pasti kau dan yang lain terutama Bastian akan membenciku karena aku pergi begitu saja tanpa pamit. Aku terpaksa mengganti warna rambutku, gaya bicaraku, gaya berjalan, dan aku pura-pura tidak tahu siapapun diantara kau, Iqbaal, Salsha, Ryzki, Aldi, dan Bastian. Itu semua menyiksa. Jangan kira aku tega membohongi kalian semua. Tak ada pilihan lain An, aku benar-benar terpaksa.

"Dan soal Bastian, kau pasti tahu jawabannya. Aku masih mencintainya. Karena itu aku melakukan ini agar aku tetap bisa bersamanya. Aku tahu dia menjadi player, jadi akhirnya aku berusaha untuk merebut perhatiannya dengan cara yang sama seperti dulu. Untung saja, aku sekelas dengannya di pelajaran Matematika dan Sejarah, pelajaran yang ia benci dari dulu, yang membuat kesempatanku untuk dekat dengannya benar-benar terbuka lebar. Dia tidak benar-benar berubah An, dia sama lembutnya seperti dulu. Aku tidak bisa membayangkan aku harus melepasnya lagi." Lily berhenti bicara, ia kembali terisak.

"It's hurts," lirihnya pelan.

And I feel same.

07 September 2014. - 18. 52 -

NEAR • bbs (SU)Where stories live. Discover now