; terima kasih, aku

197 17 0
                                    

William Raiden

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

William Raiden . Gifar Wistara


-------

"Kalau ga ada lo, gue bakal lupa gimana caranya senyum."

-------


Dengan senyuman lebar, William mengangkat piala kejuaraannya di olimpiade sains national tahun ini. Air matanya menetes, perjuangan tidak sia-sia. Hidupnya sama sekali tak ter urus, dia bahkan bisa belajar sampai lupa makan dan mandi selama tiga hari, bahkan lebih. Bisa disebut manusia ajaib, karena hingga detik ini William tak perlu menggunakan kacamata.

Guru sekolah datang berbondong-bodong, mengucapkan selama kepada si juara pertama. Yang mendapat peringkat dua juga dari sekolah yang sama, bedanya, tidak ada yang memberikan apresiasi. Ucapan selamat pun tak ada.

William turun dari atas panggung dengan tangan kosong, piala tiga tingkat itu sudah diambil alih oleh pihak sekolah, yang dia dapatkan sekarang hanya amplop berisikan uang sebesar satu juta rupiah, dan itu sudah lebih dari cukup untuknya.

Udah, gitu aja? Orang-orang mendekat cuma pas gue dapatin piala doang, setelah itu, ga ada lagi yang peduli?

Lapangan luas yang semula penuh dengan kehidupan, perlahan menjadi sepi. William duduk pada salah satu kursis penonton, memasukkan amplop ke dalam saku jaketnya, dan diam sejenak untuk mengambil nafas.

Sudah lama dia tak punya waktu untuk berdiam seperti ini, sebelum olimpiade, setiap detik bagaikan emas baginya. Tidak ada istirahat sedikit pun, itu hanya buang-buang waktu baginya.

10 menit...

20 menit...

30 menit...

Matanya masih menatap lurus ke lantai, entah dalam setengah jam itu dia ada berkedip atau tidak, dia senang punya waktu seperti sekarang, waktu di mana otaknya bisa beristirahat, duduk diam tanpa memikirkan apapun.

Tiba-tiba ponsel William bergetar, memecah lamunannya. Dengan buru-buru dia mengambil ponsel dari dalam saku, ternyata itu Pandu.

"Halo Will, lo di mana? Udah sore nih! Gue udah mau balik, katanya lo olimpiade cuma sampai jam 2?"

"Astaga?" William melirik jam tangan, sudah pukul 16.00. Seharusnya William sudah ada di tempat kerja sejak pukul 14.00, karena dia mengambil shift sore menjadi kasir di mini market. Tapi khusus hari ini, dia izin untuk telat sebentar.

"Buruan yak! Gue mau jalan nih sama ayang, ntar kalau telat bisa mati gue!"

"I-iya iya kak, gue ke sana sekarang. Tunggu sebentar!"

-------

Gifar mengambil nafas dalam-dalam sebelum akhirnya melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah. Dengan tangan kosong seperti ini, masuk ke dalam rumah bisa membuat kepalanya pecah.

"Gimana, Gifar?" baru juga dibilang. Dia mengangkat bahu, tatapannya benar-benar memelas. Mata yang dihiasi lingkaran hitam karena kurang tidur itu sama sekali tak cukup untuk membuat ayahnya yakin bahwa Gifar sudah berusaha keras.

"Siapa yang peringkat satu, William, lagi?" Gifar hanya diam, belum menjawab pun ayah sudah tau. "Sialan!"

"Maaf ayah."

"Kamu itu ngapain aja sih, sebelum olimpiade kan udah dikasi waktu satu bulan. Dipakai buat apa itu, buat main-main, iya?!"

"Udah belajar, ayah. Aku udah berusaha."

"Halah, selalu bilang berusaha, tapi ga pernah jadi yang terbaik."

"Maaf, nanti aku usaha lagi, ayah."

Emosi ayah meluap, sama sekali tidak bisa mengontrol dirinya sendiri. Gelas kopi yang semula dipakai untuk minum, kini menjadi benda untuk melampiaskan amarah.

"Kapan kamu bisa kaya dia?"

"Aku usahain yah.. sekarang aku mau istirahat, boleh ya?"

"Terserah. Ayah ga tau lagi masa depan kamu bakal gimana."

Udah coba buat ngelakuin yang terbaik tapi sama sekali ga dipandang sama orang, apa gue harus mati dulu biar orang-orang tau gue capek?

Matanya kini melirik ke arah laci yang berisikan benda yang bisa membuat masalahnya hilang seketika. Benda tajam kecil, yang mampu mengantarnya pulang.

Baru ingin membuka laci, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk. Sang adik masuk ke dalam kamar dengan wajah cemberut.

Gifar langsung memaksakan senyuman, meski yang keluar hanya senyuman kecil. "Kenapa dek, mau apa?"

"Uang jajan adek hilang bang, padahal kemarin baru dikasih sama ayah. Gimana ya? Masa adek besok ke sekolah ga bawa uang jajan?" Gifar menghela nafas pelan, dia membuka laci kecil, kini untuk mengambil selembar uang 50.000 yang dia simpan untuk ditabung. Tapi kini, adiknya lebih penting.

"Ini untuk adek, abang ga pakai kok." bohong. Hanya selembar sisa uangnya, nanti malam pun tak tau dia disiapkan makanan atau tidak.

"Makasih abang, sayang banget sama abang!" senyuman Arin langsung merekah, dia memeluk tubuh Gifar dengan kencang sebelum lari meninggalkan kamar.

Pandangan Gifar kembali tertuju pada lacinya yang kini terbuka. Cutter kecil itu terlihat sangat indah di matanya.

Arin, Ara, kalau ga ada abang di sini, kalian sama siapa? Sama ayah aja, mau?

Gifar membanting pintu laci, dunia memang melelahkan, tapi untuk pulang, mungkin jangan hari ini.

Dia membanting tubuhnya ke atas kasur, wajahnya tenggelam di antara dua bantal berukuran sedang.

Capek, capek banget.

Dia mengangkat tangan kirinya, mengusap pelan surainya sendiri, "Hebat Far, lo hebat. Selamat ya." tak mendapatkan itu dari orang lain, setidaknya dia masih sanggup untuk mengucapkan selamat pada diri sendiri.

"Gifar, lo hebat."
"Makasih udah bekerja keras."
"Makasih untuk semua usahanya, lo bisa lakuin yang lebih baik lagi,"

Berbagai pujian dia berikan untuk dirinya sendiri, hingga akhirnya mata mulai memberat, membawa jiwanya jalan-jalan ke alam mimpi.

Terima kasih Gifar Wistara, kamu sudah bekerja keras.


To Be Continued...

Come and Stay ; KookvTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang