; bulan

62 14 1
                                    

Seperti biasa, Arin selalu berangkat ke sekolah bersama Gifar. Meski tulang rasanya mau patah, dia tetap harus melaksanakan kewajibannya sebagai murid.

Baru masuk ke dalam gedung sekolah, piala bertingkat tiga yang baru saja William dapatkan kemarin telah dipajang di dalam kotak akrilik bening berukuran besar. Dia menghembuskan nafas, kapan namanya bisa ada di sana?

Tiba-tiba pundaknya ditepuk oleh seseorang, itu Ryo, sahabatnya sejak SMP.

"Kenapa lo? Pagi-pagi udah lemes aja." mata Ryo ikut melihat ke arah pandangan Gifar, akhirnya dia mengerti. "Pengen ya, Far?"

Dia menggeleng pelan. "Udah, lupain aja." Ryo sudah paham dengan tingkah laku sahabatnya setiap gagal menjadi yang terbaik. Selalu berusaha tegar tapi tetap menyalahkan diri sendiri.

-------

Bel yang ditunggu-tunggu akhirnya berbunyi. Sepanjang hari, pikirannya melayang kemana-mana. Katanya, sepulang sekolah Arin diajak jalan-jalan oleh seorang pria. Pria itu mengidamkannya.

Arin belum begitu paham dengan cinta, setiap ada yang menunjukkan rasa peduli, dia anggap itu sebagai rasa cinta.

Gifar enggan pulang ke rumah, dia takut kepalanya akan semakin pusing jika harus mendengar omelan ayah yang tak ada habisnya.

Dia memasang helm, laju motornya tak punya tujuan, pada akhirnya malah berhenti di dekat taman yang semalam dia datangi.

Matanya tertuju pada sebuah mini market, Gifar bisa melihat William dengan jelas, dia sedang merapikan rak makanan. Tanpa sadar senyumnya merekah.

Dia duduk di atas kursi panjang, sama seperti semalam. Kepalanya dia lemparkan ke belakang, memejamkan mata sejenak sepertinya bisa membuat dunia menjadi lebih baik.

Angin yang terus meniup membuat dirinya merasa ngantuk, Gifar pun tertidur di kursi itu.

Pukul 18.00, langit sudah gelap, Gifar terkejut saat mendapati dirinya sudah tertidur di kursi itu selama lebih dari 4 jam. Cahaya mini market mendominasi, otomatis hal pertama yang dia lihat, adalah tempat itu.

Dia memutuskan untuk tetap duduk di sana, sesekali melirik ke arah William yang sedang sibuk bekerja.

1 jam...

3 jam...

4 jam...

Akhirnya William pulang. Iya, dari siang dia duduk di sana, untuk menunggu William, orang yang telah membuatnya gagal berada di peringkat satu.

Tapi yang Gifar ingat, William itu.. satu-satunya orang yang memberinya selamat, dan paham dengan kerja kerasnya selama ini.

William berjalan keluar dari mini market sambil membetulkan posisi jaketnya. Gifar langsung berlari pelan untuk menghampirinya, namun kedatangannya malah membuat William tersentak kaget.

"Gifar? Gue kira lo mau nyopet!" Gifar langsung tertawa.

"Ini punya lo." dia menyerahkan bros persegi panjang yang kemarin William tinggal di kursi taman.

"Ternyata ada sama lo? Astaga, gue cari kemana-mana. Makasih banyak ya!"

"Santai, kemarin gue nemuin di kursi." William menghela nafas lega, jika mau bikin bros baru, pasti dia harus keluar uang lagi, untung saja Gifar mengembalikannya.

"Kenapa lo masih pakai seragam? Belum balik dari tadi?"

"Belum Will."

"Kenapa? Ada masalah di rumah?"

"Kalau masalah mah selalu ada Will, cuma sekarang gue lagi ga kuat aja ngadepinnya," ucapnya dengan sedikit senyuman yang dipaksakan.

Terlihat jelas dari tatapan matanya, orang ini tidak baik-baik saja.

"Motor itu, punya lo?" Gifar mengangguk.

"Kenapa?"

"Lo udah di sana dari siang, iya?"

"Iya, gatau mau ke mana lagi, jadi gue nunggu di sana deh."

"Nunggu apa?" seketika jantung Gifar berdetak lebih cepat dari biasanya.

Kalau gue bilang nungguin lo, bakal aneh ga ya?

"Nunggu malam, hehe. Gue suka langit malam." William langsung tersenyum.

"Bener? Gue juga suka, apalagi malam ini bulannya cantik banget, lihat deh." keduanya mendongak bersamaan, mata William langsung berbinar melihat jutaan bintang menemani bulan. "Far."

"Iya?"

"Bulan terang banget, diantara yang lain, dia yang paling menonjol. Tapi, bulan tetap butuh bintang buat ngebantu dia nerangin langit malam." Gifar yang semula mendongak, langsung menunduk untuk mencerna kalimatnya.

"Maksudnya?"

"Ngelihat bulan, gue jadi keingat seseorang. Yang udah berusaha keras, tapi usahanya ga pernah dihargai. Sehebat apapun dia, dia tetap perlu di apresiasi orang lain." William menghela nafas sebelum melanjutkan kalimatnya. "Sebenarnya sama sakitnya dengan orang yang hanya dihargai pas dapet penghargaan, selebihnya engga. Gue mau ada orang yang menghargai gue karena masih bernafas sampai detik ini." kalimat panjang itu membuat otak Gifar penuh. Kalimat sederhana, tapi banyak yang berhasil disampaikan.

"Lo hebat Will, makasih udah bertahan." William langsung menengok ke arah Gifar dengan senyuman lebar, dia melompat kecil, menepuk lembut rambut Gifar beberapa kali.

"Kita hebat ya? Makasih dulu sama diri sendiri!"

"Makasih, aku," ucap Gifar. William tertawa, dia masih menggenggam bros yang tadinya Gifar kembalikan. Kini Gifar tak lagi bisa melihat lengan William dengan cara yang sama. Meski selalu tertutup, Gifar sudah tau alasan William selalu memakai jaket atau baju berlengan panjang.

"William."

"Iya?"

"Usahakan jangan itu lagi, ya?" ucapnya sambil menunjuk ke arah lengan William, dia langsung mengerti, kemudian tersenyum kecil.

"Iya, gue usahain. Hari ini gue terlalu sibuk, jadi lupa buat gambar-gambar di sini."

"Habis ini lo pulang, pakai waktu buat istirahat ya? Jangan ngegambar, udah malem nanti gambarnya jelek." William terkekeh pelan mendengarnya.

"Malem ini gue seneng kok, nanti gambarnya di kertas aja."

"Lo bisa menggambar di kertas?" William mengangguk bangga.

"Dari kecil gue suka menggambar, mau gue gambarin sesuatu? Mungkin lusa baru jadi."

"Boleh? Mau, mau banget Will."

"Yaudah, lusa dateng ke sini ya? Aku tunggu!"


To Be Continued...

Come and Stay ; KookvTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang