; Selalu ada

35 9 0
                                    

Nyatanya, cinta sejati itu bukan tentang seberapa banyak unggahan kemesraan di social media, bukan hanya tentang seberapa banyak tawa yang kedua insan itu keluarkan ketika bersama.

Cinta sejati itu tentang yang selalu ada di saat-saat rapuh. Tentang rumah dinamis yang bisa menjadi tempat berpulang, tempat bercerita tanpa takut akan respons yang akan diberikan. Karena mau bagaimanapun, itulah rumah, dia tempat ternyaman.

-------

Cahaya matahari di siang hari terhalang oleh awan gelap. Gifar menghela nafas sambil membenarkan posisi plastik belanjaan yang tergantung di tangannya, kemudian melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah.

"Halo Ra, lagi ngapain?" Gifar memaksakan senyuman di depan sang adik. Padahal sejak pulang dari kost William, kepalanya penuh dengan kekhawatiran.

"Lagi main aja bang, abang beli apa?"

"Mainan buat Ara, besok kan kamu ulang tahun?"

"Ara ulang tahun?" senyuman lebar Ara langsung terlihat. Matanya berbinar melihat ke arah kantong plastik. "Mainan apa bang?"

"Etss.. besok baru boleh lihat, sabar ya?" Gifar mengusak rambut lembut sang adik sambil tertawa kecil. "Adek abang udah makin dewasa aja.."

"Ara gak sabar dewasa, nanti kalau udah segede abang, Ara bisa ke mana-mana sendirian, gak perlu diantar sama ayah lagi deh!"

Tak mau merusak ekspektasi sang adik, Gifar yang sudah merasakan pahitnya dunia dewasa hanya bisa tersenyum.

"Ara anak hebat. Semangat terus ya sayang? Abang bakal terus di sini buat kamu."

Kondisi kaki Ara sudah jauh lebih baik. Yang sebelumnya harus dilapisi gips, kini kulitnya sudah bisa bernafas dengan leluasa.

"Udah ga sakit lagi kan Ra?"

"Kalau lari agak sakit, tapi Ara udah bisa jalan!"

Syukurlah.

"Arin masih di kamar ya, Ra?"

"Iya! Tadi Ara ke kamar Arin, tapi Arin gak mau main sama Ara, dia diem aja.. Arin masih sakit ya bang?"

Gifar menghela nafas. "Arin ga sakit Ra, cuma butuh waktu untuk semangat lagi kaya sebelumnya. Ara tau ayah di mana?"

"Lagi santai di kamar, kenapa bang?"

"Ada yang harus abang omongin sama ayah, Ara di sini dulu ya?"

Dengan perasaan bercampur aduk, Gifar memberanikan diri untuk bicara empat mata dengan sang ayah. Padahal sebelumnya dia sudah diperingati untuk tak menampakkan wajah di depan ayahnya.

Tapi menurutnya, Arin lebih penting. Adik kecilnya butuh penanganan dari profesional agar traumanya tak semakin parah. Sedih rasanya melihat Arin tak berani bersosialisasi, sudah lama dia tak mau pergi ke sekolah.

Tak disangka, niat baiknya tak disambut baik oleh sang ayah.

"Buat apasih begitu-begitu? Lama-lama dia juga lupa kan sama kejadian kemarin, kamu gak usah melebih-lebihkan."

"Ayah.."

"Kalau Arin butuh, dia bakal ngomong sendiri sama saya."

"Arin lagi takut ketemu sama lawan jenisnya, ga mungkin dia berani ketemu sama ayah."

"Takut ketemu sama ayah sendiri? Yang bener aja kamu?" intonasi suara ayah mulai meninggi. Gifar hanya bisa menghela nafas, kalau sudah seperti ini, sudah tak ada gunanya berdebat.

-------

Bel istirahat telah berbunyi, Gifar langsung menghampiri William yang sedang membereskan buku paket.

"Dor!"

"Gifar... ngagetin aja!"

Gifar terkekeh pelan. Dia menggeser kursi dan duduk tepat di sebelah William. "Hari ini adek gue ulang tahun, lo mau ikut ngerayain ga? Ga ada ayah kok, cuma gue sama adek aja."

"Adek yang kemarin lo ceritain?"

"Bukan, itu Arin. Ini Ara yang ulang tahun. Udah lama dia ga ngerayain ulang tahun, bahkan dia sampai lupa sama tanggal lahirnya sendiri."

William menatap lurus ke arah Gifar, dia menunduk sejenak, kemudian tersenyum kecil. "Oke, gue ikut!"

Gifar tersenyum lebar, dia menghela nafas lega. Dia bukan tipe orang heboh yang bisa memeriahkan sebuah acara, jadi akan jauh lebih menyenangkan jika William ikut dengannya.

"Makasih banyak ya Will!"

"Santai aja kali.." ucapnya sambil mengeluarkan kotak bekal dari dalam tas. "Oh iya, anu.."

"Iya?"

"Kondisi Arin.. udah membaik?"

Gifar menggelengkan kepala. "Belum, masih ga berani keluar kamar."

Ekspresi William langsung berubah, senyumannya seketika pudar.

"Kenapa Will?"

"Bunda gue psikolog. Mungkin Arin bisa lebih baik setelah ditangani bunda."

"Ayah ga setuju bawa Arin ke psikolog, Will. Kalau gue punya uang, gue ga bakal minta tolong sama tu orang."

"Ga perlu mikirin uang, gue bisa ngobrol langsung sama bunda."

Gifar terdiam sejenak. Seketika ingat dengan kejadian tak mengenakkan tentang William yang diusir oleh kedua orangtuanya.

"Maaf Will, bukannya lo udah lama ga ngobrol sama bunda?"

"Iya.. kayanya bunda masih benci sama gue. Tapi mental Arin lebih penting dari gengsi gue."

"Jangan deh Will, nanti gue bisa minta tolong sama ayah lagi kok.

"Ayolah Gifar, lo temen gue kan?" William mengeluarkan ekspresi serius.

"I-iya..?"

"Ini situasi serius, plis izinin gue bantu, ya? Nanti gue ngobrol sama bunda, seharusnya dia ga keberatan." William melirik sekitar, tidak ada orang lain selain mereka berdua. Murid lain memang lebih memilih untuk makan di kantin, karena kebanyakan tak membawa bekal dari rumah. William mengambil kesempatan itu untuk memberikan pelukan singkat pada Gifar.

"Will?"

William tersenyum malu. "Ssst, gue kangen."

Gifar ikut tersenyum. "Makasih banyak Will. Kalau bunda lo keberatan, jangan dipaksain ya?"

"Jangan khawatir, lo bisa andelin gue."

-------

[On Chat]
Lingga x William

You:
"Kak Lingga, hari ini gue izin boleh? Ada acara penting banget."

Kak Lingga:
"Acara apa Will?"

You:
"Acara ulang tahun, kak."

Kak Lingga:
"Oalahh, yaudah boleh. Selama ini lo ga pernah izin juga wkwk. Tapi besok masuk ga?"

You:
"Besok masuk kok, makasih banyak ya kak!"


To Be Continued

Come and Stay ; KookvTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang