; Mama

36 8 0
                                    

TW. MENTION OF RAPE


Tak terasa matahari telah digantikan oleh bulan dan bintang, Ara diajak oleh ayah untuk pergi makan malam di restoran mewah. Iya, hanya Ara.

Baru beberapa jam berada di bawah atap bangunan ini, William sudah mulai mengerti akan hal-hal yang harus Gifar dan Arin rasakan setiap harinya.

"Gapapa Will. Mungkin itu sebagai permintaan maaf buat Ara, karena udah lupa sama hari ulang tahunnya," jelas Gifar tanpa diminta. Sedari tadi dia melihat ekspresi khawatir William, yang sebenarnya dia sudah terbiasa akan hal itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. "Bukan masalah besar kok Will."

"Lo belum makan kan?"

"Tadi udah— makan kue ulang tahun Ara."

William menyipitkan mata. "Makan kue doang mana kenyang sih? Arin juga, dia belum makan kan?"

Bukannya menjawab, Gifar malah beranjak dari kursi. Langkahnya menuju ke depan kamar Arin.

Tok tok tok

"Arin?"

Tok tok tok

"Dia gamau diganggu, Will."

William mengangguk paham, matanya melirik kanan-kiri, hembusan nafas panjang ia keluarkan sebelum akhirnya berhasil melontarkan sebuah kalimat.

"Yang tadi Ara bilang... beneran?"

-------

William menghela nafas. Jujur, dia rindu dengan rumah bertingkat tiga yang dulu menjadi tempat tinggalnya. Bukan, bukan karena ada orangtuanya, bukan juga karena fasilitas di sana lengkap. Dia hanya rindu dengan memori masa kecilnya, di rumah itu.

Setelah dipaksa angkat kaki dari bangunan itu, William memberanikan diri untuk datang kembali.

Jarinya menyentuh tombol bel, tidak perlu menunggu lama, asisten rumah tangga yang bernama Bi Ani langsung membuka pintu.

"William?!"

"Selamat sore bi!" William tersenyum lebar. Bi Ani sudah bekerja di rumah itu bahkan sebelum William lahir. Masa kecilnya ditemani oleh Bi Ani, bahkan orangtua William lebih minim pengetahuan akan anaknya sendiri.

"Aduh Willi.. makin dewasa aja kamu."

"Mama ada di rumah, bi?"

"Ada, itu lagi di ruang tamu."

"Siapa itu bi?" suara yang lama tak terdengar, kini terdengar kembali. "Loh William? Kenapa ke sini?"

"Mama, aku ga mau balik ke sini, cuma mau minta tolong. Adiknya temenku butuh penanganan-"

"Penanganan psikolog? Saya aja udah berhenti jadi psikolog sejak kejadian waktu itu."

"Aku ga pernah minta mama buat berhenti?"

"Tapi saya merasa ga becus. Percuma sekolah tinggi-tinggi, berhasil jadi psikolog, tapi anak saya sendiri malah-"

"Malah apa?" William menatap mata wanita itu dengan dalam. "Aku kaya gini, sama sekali bukan salah mama. Ga ada sangkut pautnya."

"Terus kenapa?!"

"Maaf non, apa ga sebaiknya ngobrol di dalam aja? Takut didengar sama tetangga."

Terima kasih, Bi Ani.

Suasana rumah tak banyak berubah dari yang terakhir kali William lihat, hanya saja sofa di ruang tamu sudah berubah modelnya.

"Ma, adiknya temenku udah lama gamau keluar kamar gara-gara takut dengan lawan jenis, mama paham kan?"

"Ternyata kamu masih butuh ya sama saya, katanya bisa hidup tanpa orangtua?"

"Ya terpaksa, kan mama papa yang ngusir aku dari rumah?" William menghela nafas. Kalimatnya barusan terdengar seolah dia ingin kembali ke rumah itu, padahal tidak sama sekali. "Ma, aku tau mama masih benci sama aku, tapi kali ini aja, tolong ya?"

"Saya gabisa nanganin korban pelec*han."

"Terus aku? Kalau ga ada mama mungkin aku udah jadi orang gila, iyakan?"

Wanita berpenampilan awet muda itu terdiam, tatapannya langsung melembut.

"Kamu masih ingat sama kejadian itu-"

"Mana mungkin lupa sih, ma? Papa mama sendiri kan yang bilang Om Eyan orang baik, dan ga bakal ngapa-ngapain? Padahal aku udah bilang sama kalian, kalau dia sering bikin aku ga nyaman karena tangannya keliaran?"

"William, mama minta maaf-"

"Forget about it. Mama mau tolongin aku, kan?"

Bip bip!

"Papa pulang, nanti mama hubungi kamu lewat telepon ya? Sebaiknya kamu keluar sekarang. Lewat pintu belakang ya? Bi Ani tolong bukain pintu buat William."

-------

Kulit Gifar dan Ara dipenuhi noda coklat. Bukan apa-apa, hanya tanah lembab yang menempel karena mereka habis main di taman.

"Ara, waktu itu ayah bilang apa?" tatapan tajam ayah membuat Ara langsung tertegun. Kaki kecilnya berlari menjauh dari Gifar. "Ayo, ayah bersihin badan mu."

"Aku bisa bantu Ara bersihin kok, ayah."

...

Tak ada jawaban, mereka berdua pergi begitu saja seolah Gifar tak baru saja mengeluarkan suara.

Apa maksud kalimat ayah barusan?

Gemercik air di dalam kamar mandi pun terdengar, kemudian ayah berjalan keluar, meninggalkan Ara sendirian di dalam sana. Langkah ayah mendekat ke arah Gifar.

"Sssuut," panggilnya. Gifar langsung menoleh.

"Iya ayah?"

"Kapan adik mu itu mau keluar kamar? Disuruh sekolah gamau, apa-apa harus dianterin ke kamar. Ngerepotin aja."

Gifar langsung melotot, dadanya nyeri seketika, kedua bola matanya melembab.

"Arin juga gamau kaya gitu, ayah."

"Terus? Udah gak usah lebay, anak jaman sekarang memang selalu melebih-lebihkan masalah kecil."

"Ayah kalau gamau ngerawat Arin, setidaknya jangan ngomong kaya gitu dong. Selama ini yang siapin makanan untuk Arin kan aku sendiri, memangnya ayah pernah?" Gifar menaikkan intonasi suaranya, tak peduli apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Kamu pikir bahan makanan yang ada di sini, siapa yang beli? Saya!" ayah mendekatkan dirinya pada Gifar. "Gifar Wistara, kamu dan Arin cuma saya anggap numpang di sini. Jangan gatau diri."

To Be Continued...

Come and Stay ; KookvTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang