; Ayah

76 9 2
                                    

"Kalau ga ada lo, gue bisa bertahan ga ya?"




Gifar menghela nafas, tatapannya lurus ke bawah. Sementara itu William terus menatap kearahnya sambil memegang semangkuk bubur yang disiapkan oleh pihak rumah sakit.

"Pulang yuk Will?"

William langsung melotot. "Ngga, lo butuh dirawat di sini."

"Udah aman kok Will, gue bisa. Ini nanti kalau sampai besok pasti biayanya nambah, tadi gue juga bawa Arin ke sini tapi ga mikirin gimana cara bayarnya. Sialan.."

"Lo masih bisa di sini sampai besok jam 12 siang tanpa biaya tambahan, udah jangan banyak gerak." tatapan serius dari William membuat Gifar terdiam, kemudian membuang pandangannya ke arah lain.

"Gue- gue pengen nangis lagi tapi ga bisa Will."

"Iya? Sekarang, apa yang lo rasain?"

"Kosong." jawaban yang sesuai dengan ekspektasi. Rasa sedih yang paling sedih itu disaat air mata tak sanggup menetes, disaat keluarnya air mata tak lagi membuat perasaan lega. "Lo kenapa bisa di sini Will?"

"Lo kenapa berhenti sekolah, Gifar?"

"Mau kerja buat sekolahin Arin, tapi sekarang orangnya udah ga ada."

"Lo bisa sekolah sambil kerja, kaya gue?" Gifar lagi-lagi menghela nafas.

"Gue maunya kerja dari pagi sampai malem biar gajinya gede, but once again, Arin udah ga ada." William meletakkan mangkuk bubur yang sedaritadi ia pegang. Ia mengangkat tangan kanannya, mengusap pelan rambut lembut Gifar.

"Kalau gitu, ikut gue balik ke sekolah ya? Bentar lagi kita lulus, lo tetap bisa kerja kalau lo mau, tapi tolong terusin sekolahnya."

"Gue udah cape Will.."

"Gue pengen banget megang piala bareng lo, Gifar. Dan cuma lo, orang yang bikin gue makin semangat buat berjuang supaya bisa dipilih terus setiap ada lomba."

Gifar menengok kemudian berpikir sejenak. Maksudnya?

"Inget ga, pertama kali kita ikut olimpiade pas SMP? Kita berdiri samping-sampingan di atas panggung." William tersenyum kecil, jarinya masih asik bermain dengan rambut Gifar.

"Yang lo juara 1 itu ya? Eh- lo mah memang selalu juara pertama."

"Ssst. Gue belum selesai cerita. Terus pas foto bareng, piala lo ga sengaja kepentok kepala gue, terus lo minta maaf berkali-kali. Sampai keesokan harinya pun, lo masih nyamperin gue buat minta maaf." akhirnya Gifar terkekeh pelan, dia ingat jelas kejadian itu.

"Iya, gue takut otak lo kenapa-kenapa setelah kepentok itu." keduanya langsung tertawa.

"Sejak saat itu, gue selalu semangat setiap lihat muka lo di sekolah, Gifar. Gue semangat ikut olimpiade karena tau lo pasti ikut. Awalnya gue berusaha untuk membohongi hati sendiri dengan menganggap perasaan gue ke lo itu cuma perasaam kagum, tapi lama-lama..."

"Lo suka sama gue dari SMP, Will?" Gifar tak sabar ingin bicara, dia langsung memotong kalimat William begitu saja. Kali ini bukannya marah, William malah memerah.

"Iya. Waktu itu gue masih polos, dengan semangatnya gue kasitau ke mama dan papa. Ma, pa, aku suka sama Gifar. Tapi malah dimarahin abis-abisan." dengan serius Gifar mendengarkan cerita William, kemudian perlahan bibirnya membentuk kurva ke atas.

"Lucu banget, Will."

"Maaf ya Gifar, kalau selama ini lo pernah ngerasa risih karena ada yang ngeliatin terus." bibir William dimanyunkan ke depan, Gifar tak menganggap kalimat itu serius, dia malah tertawa.

"Jujur, gue sering ngerasa. Tapi sama sekali ga terganggu kok, kan gue juga suka sama lo. Gimana si?"

William langsung tersenyum lebar, matanya mulai lembab setelah kembali sadar bahwa pria di depannya ini sedang rapuh tapi masih bisa tertawa. Ia langsung menunduk, menyandarkan kepalanya pada dada Gifar, dan membalut kedua lengannya pada tubuh pria itu.

Gifar juga menunduk, memberi kecupan lembut pada pangkal kepala William. Ia memejamkan mata, hingga akhirnya air berhasil menetes dari mata indahnya.

"Will, makasih udah pernah nyoba buat bantu Arin. Bilang sama mama lo, Arin udah sembuh, sembuh yang bener-bener sembuh."

William mengangguk. "Arin pasti sayang banget sama lo. Lo boleh sedih sekarang, tapi gue harap lo bisa ikhlas, Arin udah berjuang, Far."




-------




William tersenyum ke arah ibunya, menatap wajah wanita itu dengan penuh arti. "Makasih banyak udah bantuin Gifar, ma."

Wanita itu mengangguk sambil tersenyum lembut. dia lah yang menanggung seluruh biaya rumah sakit Gifar. "Nanti kalau Gifar udah bangun, bilang sama dia, mama juga berterima kasih, karena udah bikin anak mama bahagia." William tak pernah menyangka kalimat semacam itu akan keluar dari orang yang dulu mengusirnya dari rumah.




William masih setia menemani Gifar di kamar rumah sakit, dia sedang sibuk menatap layar ponselnya. Hingga tiba-tiba suara Gifar terdengar.

"Will.. tolongin gue." William langsung menghempaskan ponsel dan berlari kecil mendekati kasur.

"Gifar, kenapa?"

"Arin masuk ke dalam mimpi, dia- dia bilang.." suaranya bergetar, mulutnya terbuka, berusaha keras mencari oksigen untuk masuk ke dalam tubuhnya. Merasa keadaan tak baik-baik saja, William berlari keluar untuk memanggil suster. Pada akhirnya pria itu kembali tak sadarkan diri.



Setelah dokter datang memeriksa, Gifar dinyatakan baik-baik saja, dan hanya butuh istirahat yang lebih. William bisa menghela nafas lega. Kali ini dia duduk di kursi kecil di sebelah kasur.

"Gue ga tega banget liat lo kaya gini Far, cape banget ya pasti? Iya, gue ngerti kok.." William menghela nafas, pandangannya terus mengarah pada wajah Gifar yang sedang tertidur. "Gue sayang banget sama lo, yang kuat ya?"

"Will.. di kamar Arin, ga pernah ada obat." ucap Gifar dengan mata yang masih terpejam.

"Eh- maksudnya?"

"Pasti ada yang ngasi, dan nyuruh Arin buat minum obat sebanyak itu, gue yakin. Arin yang bilang sendiri, dia dateng ke mimpi gue, Will."

"Masa sih, terus kalau emang iya, siapa yang lo curigain?"

"Ayah."

To Be Continued...

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Mar 25, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Come and Stay ; KookvTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang