Hari setelahnya, bel masuk telah berbunyi, namun kursi Gifar masih kosong. William menghela nafas, matanya terus melirik ke luar jendela.
Tumben belum dateng. Dia telat? Atau sakit? Semalam badannya panas.
Pikirannya berperang-bukannya berlebihan-wajar saja khawatir, dia tau pria itu sedang tak baik-baik saja.
30 menit...
60 menit...
120 menit...
Waktu terus berjalan, disitulah William yakin bahwa Gifar tak datang ke sekolah hari ini. Belakangan ini, yang menjadi semangatnya untuk berangkat ke sekolah bukan hanya ingin mengejar ilmu, namun juga ingin melihat wajah teman sekelasnya, Gifar Wistara. Yang telah berhasil membuat semestanya jauh lebih baik.
Bel istirahat telah berbunyi, semua berbondong-bondong keluar dari kelas, namun tidak dengan William. Alisnya mengkerut, mengabaikan Ken-sahabatnya-yang berkali-kali memanggil.
"Will! Dipanggil Pak Ardi, lo disuruh ke kantor guru, katanya mau bahas olimpiade."
William melirik tipis kemudian menghela nafas, dia beranjak dari kursi untuk menghampiri Ken yang berdiri di samping pintu kelas.
"Gifar kan ga masuk hari ini... ," ucapnya lemas.
"Lah iya." Ken menggaruk kepalanya yang tak gatal. Bisa-bisanya sekelas tapi tak tau. "Coba lo temuin Pak Ardi dulu, kali aja ada info yang bisa lo sampein ke Gifar nantinya."
William mengangguk. "Makasih ya Ken."
"Gue mau ke kantin, nitip gak?"
"Gue bawa bekal kok."
-------
Kaki William melangkah ke arah tangga menuju lantai 2, ada guru di sana. Pertemuannya bersama Pak Ardi hanya membahas tentang jadwal untuk latihan olimpiade yang sudah Pak Ardi tentukan sendiri.
Pria berkacamata itu sangat ambisius untuk memilih murid berprestasi agar bisa mengharumkan nama sekolah. Kalau didampingi sama saya, saya yakin kalian bakal masuk 3 besar, itu katanya. Dari pengalaman sebelumnya, William pernah diminta berlatih hingga larut malam, tapi dia sama sekali tak keberatan sebab kala itu dia masih belum perlu bekerja untuk menghidupi dirinya sendiri. Namun kini, situasi telah berubah.
"Mulai besok kalian pas datang ke sekolah langsung ke ruangan saya aja ya, gak perlu ke kelas lagi kok."
"Baik pak, nanti saya sampaikan ke Gifar."
Hari ini, hari yang cukup sulit untuk dilewati. Sepulang sekolah William langsung mengambil ponsel untuk menanyakan kabar pada Gifar, tapi setelah menunggu berjam-jam, dia tak kunjung mendapat balasan.
[ On Chat ]
Gifar x WilliamWilliam:
"Sore Gifar, apa kabar?"
"Tadi ga masuk sekolah, sakit ya?"
"Gifar :)"
"Kalau ada apa-apa bilang sama gue ya?"Helaan nafas panjang berhasil lolos dari hidungnya. Yaudah lah tunggu sampai besok aja, semoga dia masuk sekolah, batinnya.
Sudah sekian menit William memejamkan matanya di atas kasur empuk yang biasa menjadi tempat favoritnya untuk beristirahat dari dunia, tapi kini tempat itu tak mampu membuat dirinya merasa tenang.
Pikirannya terus pergi kesana-kemari. Bisa dibilang, dia rindu sekaligus khawatir dengan pria itu. Halah, padahal baru sehari. Ini bukan tentang seberapa lama, namun tentang situasi.
-------
William sengaja datang ke sekolah lebih siang hari ini, berharap saat dia masuk ke dalam kelas, Gifar sudah duduk di dalam ruangan itu, namun ia langsung dikecewakan oleh ekspektasinya sendiri. Orang yang ditunggu-tunggu tak ada di sana.
Air mata mulai membasahi bola matanya, dengan sekuat tenaga William menarik nafas, berusaha menenangkan diri agar air mata itu tidak menetes. Jika ada satu tetes yang keluar, tangisannya akan pecah.
Helaan nafas William kembali lolos saat namanya dipanggil untuk pergi ke ruangan Pak Ardi, dia lupa hari ini ada bimbingan untuk olimpiade.
"Pak, hari ini Gifar-"
"Gifar sudah ga sekolah di sini lagi, nak." satu kalimat sederhana yang berhasil membuat William terdiam lumayan lama.
Pak Ardi menghela nafas. "Padahal dia anak yang pintar, sayang sekali dia harus berhenti belajar."
"Kenapa pak, apa alasannya?" pria tua itu hanya menggeleng, dia sendiri tak tau alasan pastinya.
"Secepatnya bapak bakal cariin pengganti Gifar buat nemenin kamu olimpiade, ya?"
"Pak.." Pak Ardi menoleh sembari membalik lembaran modul tebal yang sedaritadi ia pegang. "Engga, pak."
Pria itu melemparkan tatapan bingung. "Yasudah kalau gitu kamu baca ini, dari sini sampai halaman terakhir, mengerti?" ucapnya sambil memberikan modul ratusan halaman yang akan menjadi sahabat William hingga hari olimpiade tiba.
Kekhawatiran yang semula hanya 60%, kini meningkat drastis, entah berapa persen, saking tingginya hingga sulit di deskripsikan dengan angka.
William bukan tipe orang yang gampang terdistract saat sedang belajar, tapi kali ini, 3 jam terbuang sia-sia. Tidak ada materi yang berhasil masuk ke dalam otaknya, sama sekali.
Pak Ardi pun menyadari William tak seperti biasanya. "William, kamu baik-baik aja nak?"
"Baik kok pak."
"Wajah mu pucat, tadi belum sarapan ya?" mata sipit yang dilapisi kacamata itu langsung membesar saat melihat cairan merah mengalir dari hidung William. "Astaga!" dia menarik beberapa helai tissue yang ada di atas mejanya.
William langsung menahan darah yang keluar dengan tissue, kemudian ia berlari ke kamar mandi terdekat, disusul oleh Pak Ardi.
"Kamu keliatan ga fokus hari ini, nak. Mau bapak bikinkan surat ijin untuk pulang?"
William sedang sibuk mencuci telapak tangannya yang juga terkena darah, dia hanya menjawab dengan anggukan kecil.
Dia menyondongkan kepalanya ke depan untuk mencegah darah menetes ke bajunya.
Setiap situasi mengingatkannya pada Gifar, susah maupun senang. Kedekatannya dengan pria itu membuatnya sangat ketergantungan.
'Gifar, lo bisa ga sih nempel aja sama gue setiap hari, biar gue bisa terus ngerasain jadi manusia paling bahagia di dunia ini?'
Aku tau aku jatuh cinta pada Gifar, saat aku menganggap pria hebat itu sebagai ciptaan Tuhan yang paling indah, saat setiap hembusan nafasnya terus membuat ku bersyukur, saat hidup tak lagi tentang diri sendiri, namun tentang dua orang. Dia, dan diriku.
To Be Continued...
KAMU SEDANG MEMBACA
Come and Stay ; Kookv
AcakSemesta berencana mempertemukan dua insan yang sedang memikul bebannya masing-masing. Yang sedang berusaha untuk tidak egois dan pulang tanpa dijemput. "Menurut gue, lo ga pantes ada di dunia ini, dunia terlalu jahat untuk malaikat kaya lo."