; lusa lagi

59 11 1
                                    

TW. Mention of rape, harshwords

Malam ini Gifar dan William kembali ke kediaman masing-masing dengan perasaan yang berbeda dari sebelumnya.

Meski harus menerima omelan karena pulang terlalu malam, Gifar tetap senang, akhirnya tujuannya untuk bertahan bertambah satu. Selain karena adik-adiknya, dia harus bertahan setidaknya dua hari lagi agar bisa melihat hasil gambarnya William.

"Ara, gimana kakinya?" Gifar menunduk, melihat kaki adiknya yang sudah dibaluti gips.

"Masih sakit banget bang, nyeri!"

"Lain kali hati-hati ya? Kalau gini kam abang ikutan sedih." Ara tersenyum kemudian mengangguk lucu.

"Abang, Arin ke mana?"

Dheg

"Arin ke mana, Ra? Arin belum pulang?" Ara menggeleng cepat.

"Dari tadi Ara duduk di sini, tapi Arin gak pulang-pulang. Ara kirain dia sama abang."

"Ngga Ra, dia keluar sama- astaga!" Gifar langsung berlari menuju kamar Arin, benar saja, tidak ada orang di sana.

Dengan buru-buru dia keluar dari rumah, melihat kesana-kemari. Semakin panik saat dia bisa merasakan tetesan air di atas kepalanya.

Gifar memasukkan kepala ke dalam pintu rumah. "Ra, abang cari Arin dulu ya? Kamu jangan kemana-mana."

-------

Hujan semakin deras, Gifar terus mendatangi rumah orang yang sekiranya tau keberadaan Arin, tapi hasilnya nihil. Gemuruh petir mulai membuat suasana semakin tegang.

Sudah 30 menit berkeliling, Arin tak kunjung ditemukan. Perasaan bersalah mulai menimpanya, andai siang itu dia langsung mengantar Arin pulang, Arin tak akan hilang seperti sekarang.

Tiba-tiba matanya tertuju pada siluet perempuan yang sedang berjalan menembus hujan deras, Gifar langsung mempercepat laju motornya. Postur anak itu mirip dengan Arin.

Namun setelah dihampiri, itu memang Arin. Bukan mirip lagi.

"Adek, naik dek!"

"Abangg!" Arin menangis, penampilannya berantakan, sangat berantakan. Dia memeluk Gifar dengan sekuat tenaga. "Abang, Arin takut bang!"

"Nanti kita cerita di rumah, sekarang naik dulu Rin."

Sepanjang jalan, Arin memeluk tubuh Gifar dengan kencang, tangannya terus bergetar. Air matanya mengalir bersamaan dengan derasnya air hujan yang membasahi dirinya.

Sesampainya di rumah, Gifar langsung membawa Arin masuk ke dalam kamarnya, mengeringkan rambut Arin dengan handuk tebal.

Hatinya tak tenang, ingin cepat-cepat mendengar cerita dari Arin, tapi sepertinya tanpa Arin beritau, dia sudah tau apa yang terjadi.

"Abang.. Arin takut, bang.."

"Takut kenapa sayang, cerita sama abang. Siapa yang nakalin kamu, hmm?"

"Tadi Taka bawa Arin ke rumahnya, katanya mau ajak Arin nonton film kartun, tapi Taka buka baj-" Gifar langsung membuang muka. Belum habis Arin bercerita, wajah Gifar sudah merah. Dadanya sesak sekali.

"Taka pukul Arin, katanya kalau Arin kasitau orang lain, dia mau sebar videonya ke satu sekolah, Arin tak- takut banget abang..." dia sesenggukan. Kalau Gifar? Entah sekarang pikirannya ke mana.

Wajahnya merah, sebentar lagi kepalanya bisa pecah. Bahkan urat pada lehernya terlihat dengan sangat jelas.

Tiba-tiba ponsel Gifar bergetar, tanda ada pesan masuk. Setelah dilihat, itu dari Taka.

Come and Stay ; KookvTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang