Setelah mengantar Cendra dan Rendi ke bandara, Dian langsung memilih kembali ke asrama. Kebetulan acara kerja kelompok ke rumah Yaya akan dilakukan pada siang nanti setelah zuhur. Jadi Dian menghabiskan waktunya dengan mengobrol santai dengan kakak tercintanya melalui panggilan video.Dian tersenyum riang menyambut kakak iparnya yang masuk ke dalam kamera. Cewek itu melambai-lambai, "Kak Titaaaaa huhuuu Dian kangeeeeen!"
"Kakak juga kangen loh, Di. Gimana di sana?" jawab wanita cantik di seberang.
"Baik, kok. Belum terlalu aktif juga karena kebanyakan tentang diskusi kelompok. Untungnya sih kelompok aku maklum kalo aku orang luar, pada baik semua hehe," cerita Dian pada Tita yang mendengarkan.
"Punya temen gak lo?" tanya pria di samping Tita, yang tak lain dan tak bukan adalah Derrel, kakaknya Dian.
"Dih, punyalah! Aku gini-gini banyak punya temen tau!" sewot Dian membuat sang kakak mendelik, sedangkan kakak iparnya itu tertawa pelan.
"Btw, gue denger Cendra sama Rendi balik ya? Kok elo kagak?" tanya Derrel mengalihkan topik seenak udelnya.
"Ada urusan ke kampus katanya, mungkin mau menghadap dosen pembimbing," jawab Dian membuat kedua orang di seberang mengangguk-angguk.
"Oh iya, Di, kamu di sana tinggal di asrama 'kan?" tanya Tita yang langsung diangguki Dian. "Kakak ada rencana mau ngirim paket makanan buat kamu, kue kering sih. Kebetulan penjualan di toko kue Kakak lumayan, jadi pengen kasih kamu buat dibagi-bagi sama temen asramanya," lanjutnya membuat mata Dian berbinar.
"Ta, kalo urusan gratisan mah seneng itu anaknya," celetuk Derrel kala melihat ekspresi Dian yang semringah.
"Yee sama aja kayak kamu," balas Tita membuat Dian tertawa penuh kemenangan karena sang kakak ipar membelanya.
Dian memperhatikan interaksi pasangan di depannya. Masih berdebat masalah gratisan tadi. Cewek itu menggeleng pelan, lantas tersenyum saat sang kakak ipar kembali menoleh padanya.
"Oh iya, Di, besok kakak kabarin lagi waktu pengirimannya. Jangan teledor sampai gak bawa hape lagi ya, kasian kakakmu ini khawatir banget kemarin," ujar Tita membuat Dian meringis malu.
"Lain kali aku gak gitu lagi, Kak," ucap Dian merasa bersalah karena merepotkan orang rumah.
"Iya, gak apa-apa." Tita tersenyum, membuat Dian menghela napas lega. Kakak iparnya ini memang selalu baik, tidak pernah sekalipun membentak Dian kala dirinya membuat masalah yang memusingkan satu rumah.
"Kak, aku ada kerkom sekarang. Mau siap-siap, hehe," kata Dian untung ingat dengan janjiannya.
"Oke deh. Nanti kapan-kapan vidcall lagi ya. Masih kangen soalnya," ujar Tita seraya terkekeh pelan. Dian mengangguk-angguk sambil tersenyum menanggapi.
"Lo baik-baik di tempat orang. Jangan buat masalah, inget pesen gue." Giliran Derrel yang berbicara.
"Iya, Kak, santuy!"
Setelah menjawab demikian, layar hape itu redup. Menampilkan wallpaper dengan animasi boboiboy galaxy.
Gadis itu lantas men-charger hapenya. Setelah itu bergegas menuju kamar mandi yang memang terpisah jauh dari kamarnya.
Fyi, asrama ini memiliki kamar tidur dan kamar mandi yang terpisah. Satu lantai terdapat dua tempat kamar mandi. Di sebelah timur dan barat. Masing-masing berisi setidaknya 5 bilik toilet dengan ember serta gayung pada kamar mandi timur maupun barat. Begitupula dengan dapurnya, hanya bedanya dapurnya satu ruangan besar dengan tiga kompor dan 4 wasteful.
Dian segera masuk kamar mandi bagian barat. Tak lupa dengan ember sabun di tangannya. Kamar mandi bagian barat tidak terlalu ramai, setidaknya Dian tidak perlu antri. Gadis itu lantas bersyukur memilih mandi siang, karena jika pagi sudah dipastikan ramai antrian.
Akhirnya tanpa berlama-lama, gadis itu segera mengisi ember besar tersebut dengan air. Mengabaikan kebisingan yang tercipta oleh bilik sebelahnya yang juga menyalakan air.
***
Dian mengembuskan napas pelan saat lampu lalu lintas berubah merah. Menggenggam ujung bajunya sembari menahan kesal.
"Aku kan udah bilang gak perlu jemput. Kenapa ngeyel sih?" protes Dian tak bisa menahan kesalnya.
Cowok itu terkekeh pelan sambil melirik Dian lewat kaca spion. "Saya sekalian mau ke rumah Ryana, jadi mumpung saya baik ya saya tawarin."
Dian tak menjawab, memilih melihat jalanan saat motor kembali melaju menembus jalanan kota Mataram.
Mereka melewati taman sangkareang, terus lolos. Dan sepanjang perjalanan itu, keduanya hanya diam. Tak ada yang ingin membuka obrolan. Ya gimana, orang lagi nyetir, nanti kenapa-kenapa kan brabe!
Keduanya disambut lampu merah lagi di dekat POM bensin sebelum mall Mataram. Lantas melewati jalan depan mall tersebut yang cukup ramai. Setelahnya motor melaju lurus mengikuti alur jalanan yang tidak bercabang.
Tak lama kemudian mereka bertemu lampu lalu lintas lagi, mereka berhenti. Dian berdecak karena cuaca panas yang menyengat kulit.
"Tadi udah disuruh pake jaket saya, malah gak mau." Dian mendelik karena pemuda di depannya ini sempat-sempatnya cowok ini mengomentari dirinya.
"Mau make gak? Mumpung lagi lampu merah," katanya sembari melempar jaket itu ke belakang, bahkan sebelum Dian sempat menjawab.
Dian tak merepson, hanya memasang jaket itu pada lengannya. "Udah?"
"Udah gih jalan! Dititin mulu tuh," suruh Dian yang dibalas tawa pelan dari Alfian.
Yap, cowok itu adalah Alfian. Sebenarnya bukan ingin berkunjung ke rumah Yaya, melainkan gabut saja. Tapi tadi saat menelpon Yaya, perempuan berambut sebahu itu malah minta tolong untuk menjemput Dian. Jadilah secara tidak sengaja, gabutnya seorang Alfian berakhir menjemput Dian.
Motor yang dikendarai dua orang itu akhirnya berhenti di depan gang dengan sawah di sisi kanan dan kirinya. Dian mengernyit, "Ini jalan ke rumah Yaya?"
"Iya, tapi bentar ya. Saya lupa nanti belok ke mana abis masuk," jawab Alfian sembari menempelkan hape pada telinganya.
"Woi, Sa! Saya di depan gang rumahmu, ini kalo ke rumah Ryana nanti belok mana ya?" tanya Alfian pada orang di seberang.
"Niatnya sih nanya ke Ryana, tapi sungkan aja. Soalnya tadi saya udah percaya diri nolak diserlok," jawab Alfian sambil terkekeh pelan.
"Oo belok kanan deket gang masjid?" Alfian mengangguk-angguk dengan bibir yang membulat.
"Oke, Bro! Thanks," ucapnya seraya memutuskan telepon.
"Udah tau rumahnya?" tanya Dian yang sedari tadi sibuk memperhatikan.
Alfian mengangguk, "Iya, saya anterin sampe dalem kok. Tapi saya gak ikut masuk, mau main game aja ke rumah temen."
Dian balas mengangguk, bukan urusannya. Obrolan pun disudahi, dengan motor yang kemudian masuk ke dalam gang yang cukup besar itu.
Tepat di gang kecil sebelah masjid, di sana berdiri Yaya dengan baju santainya menunggu kedatangan mereka.
Alfian menghentikan motornya, dengan Dian yang turun sembari melepaskan jaket di lengannya. "Makasih," ucapnya yang dibalas anggukan singkat si empunya jaket.
"Makasih, Yan. Gak ikut masuk?" tanya Yaya basa-basi.
"Gak dulu, Ry, saya mau ke rumah Iksa aja," tolaknya membuat Yaya mengangguk saja.
Alfian pamit sekali lagi sebelum akhirnya meninggalkan dua cewek itu yang masih berdiri di depan gang. Setelah motor Alfian tak terlihat, Yaya langsung mengajak Dian untuk masuk. Karena gak enak juga daritadi diperhatiin sama orang-orang yang berlalu-lalang keluar masjid.
'Kok gue kayak liat ekspresi Alfian suram gitu ya? Dia kenapa?' Entah naluri dari mana, tiba-tiba pertanyaan itu bersanggar di kepala Dian.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary's Dian in Mataram✔ [TERBIT]
Novela Juvenil[Campus Life 1.1] Kisah singkat tentang cewek bernama lengkap Dian Fanila Udya menjalani hari-harinya di kota orang. Tepatnya di Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Cerita yang membekas dalam memori Dian sebagai mahasiswa pertukaran antar pr...