Holaa ges! Ada yang kangen?
Heheh mianhe baru bisa up part terakhir 😁
Oke, cus aja, happy reading^^
***
Pagi ini, Dian sudah bersama dengan sang pacar datang ke rumah Yaya. Tepatnya berada di daerah Sweta. Tak lupa pula mereka diekori oleh Cendra dan Rendi yang secara kebetulan juga diundang Yaya.
Mereka memarkirkan kendaraan di area masjid dekat rumah Yaya. Kini keempat anak manusia berbeda gender itu mulai melangkah ke tempat acara resepsi dilaksanakan. Dari masjid ini pun, suara pembawa lagunya terdengar merdu. Meskipun Dian and the geng tidak tau jelas apa arti lagu yang dinyanyikan.
Begitu mereka masuk, suara lagu dengan bahasa daerah itu menggema di seluruh penjuru acara.
Inggas nikah gamak batur ....
Karing te antih jelo begawe ...
Gawe dateng gamak batur ...
Ngerameang pinak hiburan ....Mulen adat Sasak gamak batur
Gawe nyongkolan jari tradisi ....Jelo gawe gamak batur ...
Gong gamelan bareng kecimol ...
Ngerameang pinak hiburan ...
Luek dengan sak bejogetan ...Silak batur te iring penganten ...
Iring penganten jok balen mentoak ne ...
Silak batur te iring penganten ...
Iring penganten jok balen mentoak ne ...Selain disambut suara merdu, keempatnya juga disambut ramah oleh para pagar ayu yang cantik nan manis, lengkap dengan pakaian adat suku Sasak bernama lambung. Setelahnya, mereka melipir ke antrian panjang untuk mengambil jatah makan pada prasmanan yang tak jauh dari pintu masuk.
Dian dan Fero tidak sengaja berpisah dengan Cendra dan Rendi akibat ramainya orang-orang yang berlalu lalang. Membuat Dian merapatkan diri pada Fero agar tak terpisah. Jujur saja, di tempat ramai seperti ini memang tidak enak. Selain rentan terombang-ambing, juga rasanya sesak. Seolah pasokan oksigen yang Dian hirup diambil oleh sekitarnya.
"Kenapa?" Dian mendongak, mendapati wajah Fero yang sama bingungnya dengan dirinya.
"Ambil nasi," cicit Dian mengingat depan dan belakangnya ada orang yang juga mengantri.
Fero mengangguk, lantas menyerahkan piring dan sendok pada Dian setelah barisan mereka maju karena giliran mereka. Laki-laki itu tidak hanya menyerahkan piring dan sendok, tetapi membantu Dian menyendok nasi dan beberapa lauk yang pacarnya inginkan. Baru setelahnya ia mengambil untuk diri sendiri.
Usai mengambil makanan, Fero mengajak Dian duduk di kursi kosong yang ada di barisan kedua. Dekat dengan tempat duduknya pengantin. Tak hanya pengantin, melainkan Yaya dan saudaranya berdiri di sana. Menjadi pagar ayu yang bertugas mengipasi pengantin. Layaknya dayang ayu yang berdiri sigap di samping raja dan ratu.
Dian melambai saat Yaya menatapnya. Setelahnya, Dian sibuk pada makanan di pangkuannya, begitupun dengan Fero yang memakan dengan lahap.
"Bel, ini rujak Lombok, cobain deh!" suruh Dian seraya menaruh rujak mangga yang diiris kecil.
"Pedes, Cub. Dan rasanya kayak ada ... pasir," celetuk Fero membuat Dian terkekeh tanpa mengeluarkan suara.
"Namanya aja rujak ya pedeslah!" Fero mencibir, dengan Dian yang kembali melanjutkan, "rasanya kayak ada pasir gitu karena pemakaian terasi yang lumayan."
"Lumayan apa?"
"Lumayan banyaknya." Fero ber-oh panjang menanggapi.
Setelah itu, tak ada percakapan lagi. Mereka sibuk menikmati hidangan di pangkuan masing-masing. Terlebih lagi Dian, ia sangat suka dengan rasa rendang khas Lombok yang pedas.
KAMU SEDANG MEMBACA
Diary's Dian in Mataram✔ [TERBIT]
Ficção Adolescente[Campus Life 1.1] Kisah singkat tentang cewek bernama lengkap Dian Fanila Udya menjalani hari-harinya di kota orang. Tepatnya di Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat. Cerita yang membekas dalam memori Dian sebagai mahasiswa pertukaran antar pr...