18 : Semuanya Rumit

31 2 0
                                    

Setelah pertikaiannya malam itu, Dian tidak minat kuliah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Setelah pertikaiannya malam itu, Dian tidak minat kuliah. Ia sudah mengurung diri di kamar selama tiga hari. Bahkan ia sengaja tidak menghidupkan hapenya agar tidak perlu menjawab panggilan dari siapapun. Namun, siapa sangka oknum yang ia hindari datang ke kamar asramanya dengan wajah khawatir. Siapa lagi jika bukan Yaya.

Dian tidak ingin percaya, tapi hanya Yaya yang menyimpan nomer kekasihnya itu. Itupun Dian yang menyuruh Fero menyimpannya, karena sewaktu-waktu akan dibutuhkan. Namun, kenapa sekarang seolah menjadi boomerang bagi dirinya?

"Dian, please! Kalo kamu sakit bilang, ayo kita ke klinik!" Suara di luar tak henti menggedor pintu kamar Dian.

Tadi sempat Dian buka, tapi langsung ia tutup dengan kasar. Ia tak siap mempertanyakan ini pada Yaya. Gadis itu merasa sungkan bertanya tentang masalah pribadinya, tapi jika ditahan seperti ini rasanya sakit sekali. Sungguh, ia tak pernah sebelumnya merasa demikian. Hubungannya lancar-lancar saja saat di Jakarta, entah kenapa sekarang semuanya begitu rumit? Belum lagi tugas kuliah yang semakin hari semakin bertambah banyak.

Dian berdecak, ia mendengar suara lain di luar kamarnya. Ia yakin jika teman di kamar sebelah pasti keluar karena mendengar Yaya yang mengetuk pintunya dengan keras. Mau tak mau gadis itu beranjak dari kasurnya, lantas membuka pintu dengan setengah hati.

"Kayaknya Dian baru bangun, Kak. Hehe makasih," ucap Yaya pamit menyusul Dian masuk. Perempuan tadi tersenyum saja, lalu masuk kembali ke kamar di sebelah kamar Dian.

"Kamu kenapa, Di? Sakit? Ada masalah? Sini cerita. Aku dengerin," kata Yaya setelah keduanya lama diam.

"Atau aku ada salah sama kamu?" tanyanya membuat Dian menoleh sepenuhnya. "Kayaknya aku bener."

"Aku mau lihat hape kamu, Ya," ucapnya dengan suara parau.

Yaya menghela napas mendengarnya, setidaknya Dian masih mau berbicara. Dan lagi, cewek itu sepertinya sedang sakit. Yaya memang selalu berpositif thinking. Yaya menyerahkan hapenya, ia izin memeriksa isi WhatsApp Yaya. Serta izin memeriksa galeri foto Yaya.

"Kosong, Ya." Yaya mengernyit saat Dian mengembalikan hapenya.

"Kosong apa? Emang kamu nyari apa, Di?" tanya Yaya bingung.

"Foto aku sama Alfian."

Yaya menganga kaget. Ini maksudnya apa?

"Kok bisa di hape aku, Di? Perasaan aku gak pernah fotoin kalian deh," ucap Yaya masih tak mengerti alur pembicaraan Dian.

"Aku mau cerita, tapi jangan dipotong ya, Ya," putus Dian membuat Yaya mengangguk.

Dian pun mulai menceritakan pertengkarannya dengan Fero. Juga tentang nama Yaya yang disebut-sebut dalam pertengkaran tersebut. Setelah Dian selesai bercerita, Yaya tidak bisa berkata-kata.

"Makanya aku kesel sama kamu, kenapa itu foto aku bisa sama kamu pas makan durian," kata Dian membuat Yaya terkekeh pelan. Kekehan yang kentara dibuat-buat dengan helaan napas.

"Aku gak habis pikir, Di. Buat apa coba aku buat sw tentang kalian berdua. Lagian aku juga tau kalo kamu punya pacar, ngapain aku jodohin kamu sama Alfian." Yaya menyugar rambutnya ke belakang, merasa frustasi karena disalahkan begini.

"Coba kamu inget-inget, terakhir kamu pinjemin hape ke siapa?" tanya Dian membuat Yaya mengernyit.

"Alfian gak minjem pas kita ke rumahnya 'kan?" kata Dian memperjelas pertanyaannya.

Yaya melebarkan matanya, "Iya anjir! Dipinjem waktu itu katanya dia mau tetringan!" seru Yaya.

"Gak bener nih orang!" Gadis berambut sebahu itu segera menghubungi seseorang di seberang sana. Dian yang memperhatikan jadi tertegun, ia merasa bersalah karena sudah sempat kesal pada gadis di depannya ini.

"Heh setan! Di mana kamu!" sapa Yaya dengan kalimat sarkasnya pada orang di telpon.

"Cepetan serlok! Enak aja ya, kamu buat saya jadi kambing hitam! Mana kamu maeh, pengen saya jagur!" kesal Yaya menggebu-gebu.

"Dih, hari jumat kelas apa kamu? Perasaan ... oh iya, Biokimia." Yaya kali ini mengangguk-angguk, tapi sedetik kemudian kembali memasang wajah garang. "Heh! Jangan ngalihin! Abis kelas kapan? Saya perlu penjelasan ini!"

"Oke wah aneh, mbe jak taok bedait?" tanya Yaya mulai melunak. Tak mengegas seperti tadi.

Setelahnya, sambungan terputus. Yaya bernapas lega, dengan Dian menatap Yaya dengan tatapan bertanya.

"Untungnya dia mau ngejelasin, tapi nunggu abis jumatan. Alhamdulillah saya gak ada kelas siang ini, jadi bebas nanti kalo mau nonjok dia," kata Yaya sambil tersenyum jemawa.

Namun, kemudian langsung berubah serius menatap Dian. "Boleh gak aku jelasin hal ini ke pacarmu? Soalnya terlanjur aku ikut terlibat karena pake hape aku," tanya Yaya meminta izin.

Dian menggigit bibir dalamnya, menimbang-nimbang apakah ini benar untuk memperbaiki hubungannya dengan Fero. "Aku ragu, Ya. Fero bukan orang yang percaya cuma dengan kata-kata," ucap Dian membuat Yaya mendecak pelan.

"Susah banget ya, cowokmu itu. Belum pernah kena jagur ya dia?" Dian tersenyum tipis, entah harus tertawa atau sedih mendengar omelan Yaya.

"Btw, udah mandi? Sarapan? Itu muka kelihatan kusut banget deh," tanya Yaya mengalihkan topik.

"Males ngapa-ngapain, Ya. Udah tiga hari ini aku gak sarapan, makan siang doang. Itupun kalo laper banget, tapi tetep minum kok," jawab Dian yang dibalas tatapan heran oleh Yaya.

"Aku gak tau ya, Di, kenapa rata-rata orang galau jadi males makan? Kok aku kayaknya beda sendiri ya, galau malah makan terus. Apalagi coklat, beuh mood banget!"

"Itu mah kamu, Ya. Tapi emang bener sih, galau karena cowok itu buat kita males ngapa-ngapain. Kek sebagian hidup kita yang awalnya berwarna banget karena ada dia, terus pas berantem dianya pergi, yah galau sih. Kayak ada yang dibawa pergi juga," ujar Dian sambil tersenyum tipis. Mengingat bagaimana akhir percakapannya tiga hari yang lalu dengan kekasihnya.

"Makan yok! Nahan kesel itu ternyata buat aku laper."

Dian tertawa pelan, rasa-rasanya ia tidak pernah tertawa selama tiga hari ini. Asik meratapi nasib buruk yang tengah menimpanya kemarin.

"Sana gih, mandi! Terus kita sarapan," putus Yaya sembari merebahkan dirinya pada kasur Dian. Dian mengangguk saja, lantas mengambil handuk dan peralatan mandinya. Lalu berlalu ke kamar mandi, menyisakan Yaya yang sudah sibuk dengan hapenya.

***



"Kita makan di mana?" tanya Dian yang berada di atas boncengan Yaya.

"Ke depan SMP 14 aja, murah meriah!" seru Yaya berusaha mengalahkan suara angin dan deru motor agar terdengar oleh Dian.

Dian tak bertanya lagi, membiarkan rambutnya terayun-ayun oleh sang angin. Beginilah nasibnya jika berkendara tanpa helm, serasa jadi iklan shampo dadakan dengan rambut yang berkibar layaknya bendera.

Dian berpegangan pada jaket jeans yang dikenakan Yaya, seraya melihat pohon yang tumbuh di sepanjang. Dalam hati, gadis itu tak pernah tak kagum dengan Kota Mataram yang tidak terlalu panas. Setiap lampu lalu lintas yang dilewati pasti ada bayangan pohon tempat berteduh dari sinar matahari.

"Itu ... Alfian?"

***

Diary's Dian in Mataram✔ [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang