─ 11 ʿ

143 64 5
                                    

San tiba di atas rooftop. Kepalanya menoleh, mendapati sosok pemuda yang berdiri di atas dinding pembatas dengan badan yang membelakanginya.

Pemuda itu membalikan badannya. Mingi tersenyum pada San sampai matanya menyipit.

"Apa kabar, San? Naiklah ke sini." Kata Mingi.

San sontak menggelengkan kepalanya. Ia bergidik ngeri, otaknya membayangkan jika dirinya berdiri di atas sana dan kehilangan keseimbangan maka akan jatuh dari bangunan 4 lantai itu.

"Kenapa? Kau takut jatuh? Tenanglah, paling juga mati."

"Turunlah Mingi, aku bukan hantu."

Mingi mengikuti ucapan San, ia turun dari sana dan menghampiri temannya.

"Kau tau aku itu hantu? Bagaimana bisa?"

San menghedikkan bahunya. "Melihat bagaimana kau selalu muncul secara tiba-tiba lalu hilang dengan cepat, itu ketara sekali." Balasnya.

Mingi berdecak kagum. "Oh, kalau begitu aku tidak usah menjelaskannya lagi, kau sudah tau ternyata."

"Aku masih butuh jawabanmu, Mingi." San diam beberapa saat, "dan aku ingin bertanya sesuatu, kenapa kau bisa mati?" lanjutnya.

Mingi meletakan jari telunjuknya di dagu, ia tampak sedang berpikir. Tidak lama kemudian, ia kembali mengembangkan senyumnya dan menjentikkan jari.

"Nah! Aku tidak tau."

San berdecak kesal. "Bagaimana mungkin kau tidak tau?"

"Aku tidak ingat, San."

"Baiklah." San hanya bisa pasrah, ia mengerti keadaan Mingi.

"Kau ingin memberitahuku apa?"

"Oh! Soal Wooyoung, aku tidak membunuhnya, mereka menjadikanku kambing hitam. Anak buahnya menyamar menjadi diriku, lalu membunuh Wooyoung—"

"Tunggu, tunggu.. itu artinya Wooyoung menjadi tumbal?" San memotong perkataan Mingi sebelum temannya itu menyelesaikan ucapannya.

"Tentu, kita semua adalah tumbalnya. Jiwamu, jiwaku dan jiwa teman kita sudah terikat. Jiwa yang sudah terikat tidak bisa berkeliaran dengan bebas, terutama untuk orang yang sudah mati sepertiku, itu jauh lebih susah untuk berkeliaran. Maka dari itu—sejauh apapun ragamu lari dari mereka, jiwamu tidak bisa. Ya tinggal menghitung waktu kapan kalian yang tersisa akan dibunuh, termasuk dirimu, San."

San tertegun, nafasnya tercekat seperkian detik. Sejujurnya, ia tidak percaya pada setiap tutur kata yang Mingi lontarkan.

"Kau membual ya?" tanya San.

Mingi menggeleng, tangannya sontak menepuk pundak kanan San. "Percaya padaku. Beritahu kebenarannya dan yakinkan mereka semua."

San tenggelam dalam pikiran kalutnya. Ucapan Mingi sukses membuat dirinya diam seribu bahasa.

"Bisakah aku bertanya satu hal?" tanya San.

Mingi mengangguk, "tentu."

"Siapa mereka? Siapa temanmu itu? Aku membaca bukumu dan kau menulisnya sebagai temanmu, aku tidak tau kau mempunyai teman selain kita.."

"Temanku adalah temanmu juga, San. Pelakunya teman kita sendiri, mereka bersekongkol. Sudah ya, aku harus pergi—ingin mencaritahu hal lain."

Mingi hendak pergi dari sana, dirinya tampak panik dan terburu-buru.

"Tunggu, Mingi!"

Tapi San menggagalkan usaha Mingi untuk pergi. Mingi menghentikan tungkainya dan menoleh pada San.

highway to hellTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang