BAB 9

2.3K 157 7
                                    

Selamat membaca ~

Di pagi hari yang cerah ini, Fahri sudah siap dengan kemeja putih dengan dasi yang terpasang di lingkar lehernya dengan rapi.

"Yaudah, mas pamit kerja dulu" Fahri memberi pelukan perpisahan.

Ia juga tak lupa memberi usapan-usapan lembut pada perut sang istri yang mulai sedikit membesar, tak lupa iapun mengecup nya.

"Ayah pergi dulu ya nak, kamu jaga bunda, jangan nakal di dalam sana, kasian bundanya" bisiknya.

"Mas, aku izin mau bantu bantu di pesantren ya mas? Boleh?" Izin syila sesuai bersalaman di depan pintu.

Fahri menaikkan sebelah alisnya, "bantu? Memang ada acara apa?" Tanyanya.

"Itu, tujuh bulanan teh iffah. Ga enak kalo aku ga dateng bantu bantu"

"Yaudah, nanti mas antar kamu. Kamu mau berangkat jam berapa? hem"

"Sekitar jam 8 mas, tapi aku bisa sendiri. Kamu naik motor atau mobil?" Sanggah nya.

Fahri melirik ke arah jam yang melingkar pada pergelangan tangan kirinya. "Mobil, kenapa Ning?"

Syila menggeleng. "Gapapa mas, tadinya kalo kamu pake motor, aku kesana mau pake mobil. Kalo pake motor panas, hehehe" ucapnya dengan kekehan.

"Yaudah, biar mas antar saja. nanti mas hubungi Devan kalo mas akan telat" balasnya.

Syila sontak menggeleng, ia tak enak hati. "ga usah mas, aku juga bisa naik taxi online. kamu berangkat aja, udah jam 7 lebih kamu pasti telat" syila menunjuk ke arah jam dinding.

Fahri baru ingat, jika jam setengah 8 ada pertemuan penting dengan klien yang datang dari luar negri. ia menghela napasnya. "yasudah, kamu hati hati bawa mobilnya, biar mas yang bawa motor" ucapnya. syila mengangguk paham.

"Assalamualaikum"

"Waalaikumsallam"

.
.
.

Syila POV

Aku berjalan menuju ndalem untuk bertemu ummi dan lainnya, Tetapi di pertengahan jalan aku tanpa sengaja berpapasan dengan Ani.

"Assalamualaikum, Syil" sapa Ani dengan senyuman manis yang ia punya.

"Waalaikumsallam, ni" Aku ikut tersenyum searah membalasnya. "Kamu apa kabar ni?" Tanya ku.

"Alhamdulillah, Syil. Aku baik. Gimana kabar kamu? Oh ya selamat ya atas pernikahan kamu, semoga rumah tangga kamu selalu di lindungi oleh Allah SWT." ucapnya.

"Alhamdulillah baik, terimakasih ni atas doanya" ucap ku tersenyum.

Jika saja dia tahu siapa suamiku saat ini, mungkin saja dia tidak akan menegurku. Memang Abah setelah beberapa hari kelulusan ku, ia mengadakan selamatan atas pernikahan kami.

"Kamu lanjut ni?"

Dia pun mengangguk. "Alhamdulillah ada rezeki, dapat beasiswa dari pihak ponpes" ungkapnya senang.

Mendengar itu, aku pun juga ikut merasakan apa yang Ani rasakan, sahabatnya itu mendapatkan impiannya yaitu beasiswa. Tak salah jika Ani mendapat beasiswa, pasalnya gadis itu memang sangat pintar di bidang akademi maupun no akademik.

Jauh berbeda denganku yang tidak sebanding dengannya. Dia cantik, pintar, berhati lembut, bicaranya sangat sopan dan terdengar lembut siapa saja yang mendengarkan nya. Awalnya aku iri dengan Ani, dan merasa insecure dengan diriku yang merasa tak pantas bersaing dengan Fahri.

Pria itu cocok bersanding dengan sahabatnya, Soleh dan Solehah. Berbeda dengan ku yang solehot ini. Aku pernah menotis Ani di pembicaraan kita berdua, tetapi Fahri malah mencarikan obrolan lain, seperti enggan membahas dan malah berucap "aku tidak mencintainya, aku hanya mencintai mu. Buanglah pikiran buruk itu terhadap ku" begitulah yang dia ucapkan dengan nada kesal. Sejak saat itu, aku tidak pernah menotis  namanya. Enggan mengulang kesalahan kembali.

"Alhamdulillah, selamat ya ni. Aku ikut senang juga mendengarnya" ucap ku.

"Terimakasih, Syil"

Setelah berbincang bincang kecil, aku pamit untuk ke ndalem begitupun juga dengan Ani yang pamit untuk ke asrama.

Sepanjang aku berjalan, lumayan banyak yang bertegur sapa dengan ku. Aku mengangguk tersenyum dan membalas sapaannya. Beberapa aku kenal dan tidak.

.
.
.

Aku berjalan memasuki ndalem, sesampainya di teras, aku berpapasan  dengan om yang nomor 3  yang sudah terlihat rapi dengan pakaian ngajarnya. Memang setiap ada waktu free, setahuku dia akan selalu meluangkan waktunya untuk mengajar anak anak santri.

"Ngajar om?" Tanyaku sesuai bersalaman.

Si om nganguk, membenarkan ucapanku. "Iya, ada guru yang berhalangan hadir" ucapannya, syila mengangguk paham.

"Ummi ada?"

Si om menggeleng. "Nggak ada, kayaknya lagi bantu bantu masak untuk 7 bulanan teh iffah" ungkapnya.

"Oalah, yaudah aku masuk dulu" si om mengangguk setelah itu berjalan keluar.

Memikirkan si om, aku jadi kasian padahal umurnya sudah matang untuk menikah di bandingkan aku yang baru tamatan SMA. Aku juga heran, tumben abahnya itu tidak menjodohkan anaknya yang sudah berusia 25 tahun. Padahal dulu bunda menikah di usia 23 tahu begitupun dengan adik adiknya yang sudah menikah.

Ah sudahlah, itu juga bukan urusan ku juga.

Aku berjalan masuk ke dalam, pandanganku tertuju pada seseorang yang tengah terduduk di sofa dengan jari jari menari nari dia atas ponsel.

"Om" panggil ku.

Sang empu menoleh pada ku. "Ngapain Lo kesini?" Tanyanya.

"Lah, seterah gue lah. Ini rumah nenek gw" sahutku. Uh, padahal niatku baik baik saja menegur, namun ia malah membuat ku kesal.

"Nenek lu, emak gue"

Aku mendengus kesal, ya benar juga.

Aku duduk di sampingnya, lalu menyandarkan tubuh ku pada si om, ya tentu bukan, aku bersandar pada sofa.

Aku memejamkan mata lalu membukanya kembali ketika si om bertanya padaku.

"Oh ya, gimana kabar teman mu?" Aku mengerutkan kening.

"Siapa? Teman ku banyak" ucapku.

"Ya teman mu lah, yang sering sama kamu bertiga"

"Ck, ya siapa om? Ana? Arin?"

"Iya, itu" jawabnya.

Aku kembali mendengus. "Huh, siapa si om? Arin?" Tanyaku kesal. Dia hanya menjawab dengan berdehem.

"Tumben" gumamku. "Alhamdulillah keknya dia baik. Kenapa? Lo suka sama Arin?" Tanyaku.

"Nggak, tanya aja" sahutnya.

"Cih, tumben Lo. Udah deh, kalo Lo suka bilang aja, pake gengsi segala"

Si om melirik sinis ke arah ku. Tu mata apa silet, tajem bener.

"Sok tau Lo!"

"Dih, bukan gue sok tau tapi Lo tuh aneh gerak-geriknya, tiba-tiba nanya kabar temen gue"

"Ya emang salah kalo nanya kabar?"

"Salah, harusnya Lo nanya ke orangnya langsung, bukan ke gue!" Ucapku kesal.

"..., Ya lagian kalo Lo suka juga, gue bisa bantu"

"Siapa yang suka? Ga adaa! Gue nanya kayak gitu, karna gue mau nagih utang ke dia, kalo dia sakit kan gue sungkan" jelasnya.

"Utang apa Arin sama Lo?" Tanya ku kepo.

"Kepo Lo!" Balasnya.

"Gue bayarin utang Arin" ucapku. Bukan apa apa, Arin itu orangnya pelupa jadi sekalian saja aku bayarkan.

"Ga ada" ucapnya.

"Hah?"

"Buka perihal duit, udah deh ngomong sama Lo ga ada kelar kelarnya" tiba tiba ia beranjak dari duduknya lalu pergi keluar.

Sumpah, ngeselin banget padahal kan niat ku baik.

TBC~

3/01/23

Fa'arsy (after marriage)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang