1

17 1 0
                                    

Tangis dan teriakan kesedihan orang tuanya membuat ia bingung. Usia 6 tahun kala itu terlalu muda baginya, terlalu rumit bagi nya untuk mengerti. Yang ia ingat hanya teriakan jika Mas Alam kakaknya meninggal dunia. Itu saja.

Agatha baru saja pulang sekolah dan ia baru saja kelas 1 Sekolah Dasar kala itu.

Rumah nya ramai, polisi dimana-mana dan ayah ibunya menangis meraung-raung memeluk peti berwarna coklat.

"Mas mu udah nggak ada Ta, udah nggak ada!" Ibunda Agatha memeluk erat putrinya. Agatha ikut menangis, tak mengerti kenapa Mas Alam meninggal.

"Kita tinggal bertiga Ta, tinggal bertiga!" Sambung wanita berkaos hitam itu.

Upacara kemiliteran di lakukan, Agatha sudah tak bisa lagi melihat wajah kakaknya, Alam.

***

Sudah 10 tahun silam kepergian Alam, kakak kandung Agatha. Agatha tak pernah berfikir jika ia akan kehilangan Alam secepat itu, kakaknya yang seorang  pasukan khusus Angkatan Darat meregang nyawa di tangan rekannya sendiri. Iya, Alam di bunuh pada saat mereka bertugas di daerah perbatasan. Keji? Sangat!

Tata, biasa gadis itu di panggil. Ia menyimpan dendam kesumat pada pembunuhan kakaknya. Yang Tata tahu, pembunuh kakaknya sudah membusuk di penjara. Tata dan Alam terpaut usia yang sangat jauh, lebih dari 15 tahun. Sejak lulus SMP, Alam langsung mendaftar di Sekolah Akademi militer dan lulus selanjutnya bergabung di pasukan khusus.

Tata sendiri sudah menjadi seorang dokter bedah dan bertugas di salah satu Rumah Sakit Swasta. Tata menjelma menjadi gadis cantik yang matang dan dewasa, di usianya yang baru 26 tahun, ia sudah mampu menjadi dokter bedah yang di perhitungkan di dunia kedokteran. Tak mudah memang, setelah melalui beberapa kali akselerasi, otak cemerlang nya ternyata membuahkan hasil.

"Agatha Senja." Suara seseorang membuat Tata mendongak.

"Dokter yang baru datang kan? Yang susulan itu?" Tanya seorang petugas dengan baju loreng dan bertuliskan volunteer di dada kirinya.

"Ah, iya. Maaf saya baru datang." Tata berdiri dan mengangguk sopan.

"Oh gak apa-apa." Sahut pria bertubuh tegap itu.

"Kenalin, saya Yoan." Pria itu mengulurkan tangannya. "Saya ketua untuk regu kita ya." Beritahu pria itu.

Selanjutnya mereka berjalan menuju barak yang menyerupai balai pertemuan.

Minggu lalu, Agatha dan dua orang temannya di tugaskan membantu pemerintah dalam misi kemanusiaan di daerah konflik lintas negara. Agatha menyambut antusias tugas itu.

Ibunya memeluk Agatha erat. "Janji pulang dengan selamat ya, Ta."

"Tata!" Seru Vita, dokter umum yang di kirim bersama dengan dirinya.

"Sssttt!" Yoan menoleh pada Vita yang sedang menatapnya dengan sengit.

"Mereka gak pernah akur sejak awal." Bisik Dion, dokter anak yang duduk di sebelah Agatha.

Agatha tersenyum kecil. " Tau sendiri Vita gimana, kan?"

Acara hari itu adalah pembagian area kerja dan tugas rutin harian. Agatha sendiri bertugas di barak utama, ia akan mengecek semua masyarakat sipil dan militer yang terkena dampak dari serangan pemberontak. Agatha menghela nafasnya melihat bagaimana banyaknya korban dari pertikaian kedua negara tersebut.

Egois, tak pernah memikirkan bagaimana nasib rakyatnya saat perang pecah seperti ini.

Agatha mulai menerima laporan rekam medis dari para perawat yang sudah bertugas siang dan malam.

"Dok, mau makan siang dulu?" Tanya seorang perawat yang bernama Tari. Agatha tersenyum.

"Kamu duluan aja, saya masih kenyang." Sahut Agatha menepuk pundak Tari.

Perawat berbaju putih itu berlalu setelah mengucapkan terima kasih pada Agatha.

Tepat pukul lima sore, Agatha berkumpul di kembali di tempat briefing tadi pagi.

Saking semangatnya mengecek semua keadaan pasien Agatha sampai melewatkan makan siang nya.

"Shift 1 silahkan beristirahat." Perintah Yoan. Semua petugas dan dokter mengangguk sopan pada Yoan.

Tepat ketika Agatha akan meninggalkan ruangan tersebut, masuklah seorang pria dengan celana PDL ( pakaian dinas lapangan ), kaos hitam yang di lapisi jaket hitam juga. Pria berambut gondrong itu menatap sekilas pada Agatha dan berlalu menghampiri Yoan.

"Itu pak kale , yang memimpin pasukan garda depan." Bisik Vita. "Keren tau, kemarin gue lihat dia lagi olah raga di lapangan belakang. Gila! Otot nya!" Vita yang memang rada-rada sableng langsung mendapat sikutan dari Agatha karena khawatir pria yang di panggil Sean itu mendengarnya.

Vita terkekeh pelan lalu keduanya berlalu menuju barak untuk beristirahat.

Bersambung

Hai...haiii udah cerita baru lagi wkwkwk...

Untuk nemenin iseng2 baca yak.. jangan dianggap serius hehee..

Happy reading..

BIASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang