5

9 0 0
                                    


Dion menatap Tata dengan satu alis terangkat.

"Apa?" Tata balik menatap.

"Kamu nginep di kamar Pak Kale? Minggu lalu?" Tanya Dion seraya berbisik.

Sontak saja Tata membulatkan matanya. Seingatnya dia sudah memeriksa keadaan sekitar ketika keluar dari kamar Kale.

"Ng.. itu aku, ketiduran." Tata meringis.

"Ck, gak kurang absurd alasan kamu?" Dion masih tak percaya. "Bisa-bisanya ketiduran di kamar Pak Kale."

Tata menghela nafasnya, sadar jika temannya ini kepo maksimal.

"Aku bantu Kale obatin lukanya." Bisik Tata.

"Oh? Luka yang kena tembak waktu selamatkan cewek yang mau di culik itu ya?" Tanya Dion.

Tata mengernyitkan keningnya.

"Penculikan?" Tanyanya. Dion mengangguk.

"Malam itu waktu kamu 'hilang' " Dion menjeda ucapannya dengan tampang mengejek. "Pak Yoan cerita kalo Pak Kale baru aja kena tembak. Terus Pak Kale ini gak pernah mau di ajak ke RS darurat, kata Pak Yoan sih Pak Kale ini jarang percaya sama siapapun."

Tata masih menyimak dan semakin penasaran.

Dion meletakkan kembali cangkir kopinya. "Makanya aku heran kalo Pak Kale ini mau di obatin sama kamu. Dan kamu tau? Pak Kale ini orang yang paling di benci sama pemberontak. Karena Pak Kale selalu menggagalkan rencana para pemberontak itu.

Dion menyudahi ceritanya. Tata terdiam. Mengingat bagaimana siaganya Kale meskipun berada di barak.

Sore hari, Tata baru saja selesai melakukan pilates dan Yoga di kamarnya.

Setelah selesai mandi, Tata hendak mengambil camilan di kulkas dapur. Ia menoleh ke kamar Kale karena pintunya terbuka. Pria itu baru saja hendak meninggalkan kamarnya. Ia menatap Tata.

Gadis itu tersenyum dan mengangguk. "Mau pergi?" Tanya Tata. Kale mengangguk dan mengunci kamarnya.

"Kemana?" Tanya Tata lagi. Kale menoleh lagi pada gadis itu.

"Ke bukit, mau ikut?" Kale menawarkan.

Tata mengerjapkan matanya. "Bukit?"

Kale mengangguk.

"Tapi aku laper, boleh bawa cemilan nggak?" Tata menipiskan bibirnya.

"Boleh." Sahutnya.

Kale baru sadar jika dokter muda ini selain cerewet ia pun suka sekali makan. Lihat saja, satu kotak penuh anggur berada di pangkuannya. Sedari tadi ia mengoceh tentang keindahan bukit yang sedang mereka lewati. Rubicon milik Kale melaju pelan hingga mereka tiba di puncak bukit.

"Widih! Bawa pacarnya?" Suara seseorang membuat Kale menoleh begitupun dengan Tata.

Kale mesem. Tata meringis.

"Kenalin dokter bedah di barak." Beritahu Kale pada pria berusia sekitar 50 tahunan itu.

Pria itu menjabat tangan Tata. "Don."

"Agatha." Balas Tata.

"Kirain saya, pacarnya Kale." Sambung pria bernama Don itu. " Masuk, sini."

Keduanya berjalan memasuki bangunan sederhana mirip seperti Villa.

"Gimana keadaan Vanesa?" Tanya Kale.

Don tersenyum.

"Vanes, ada bang Kale nih!" Don melongok ke salah satu kamar. Tak berselang lama, muncul seorang gadis muda yang Tata taksir lebih muda dari dirinya.

"Eh ada bang Kale." Gadis itu bergelayut manja pada lengan Kale. Tata mengerjapkan matanya melihat bagaimana Kale tersenyum lembut pada gadis itu.

"Gimana kaki kamu? Udah membaik?" Kale melepaskan pegangan tangan Vanesa.

"Udah lumayan." Vanesa mengalihkan pandangan pada Tata.

"Kenalin ini dokter Tata." Kale menoleh pada Tata yang sedang tersenyum. Vanesa menatap tak suka pada Tata.

"Vanes." Ujarnya menerima uluran tangan Tata.

"Agatha," Balas Tata.

Vanesa jelas menempel pada Kale dan entah kenapa Tata merasa seperti tak rela. Sesekali tatapan Vanesa mencuri pandang pada dokter muda itu. Vanesa memiliki paras khas daerah timur dengan rambut yang bergelombang. Tatapan matanya tajam, di tambah dengan hidung mancung yang mempertegas wajahnya.

Sementara Agatha, berkulit putih pucat dan memiliki mata yang cantik dan teduh.

"Nginep di sini ya!" Don menoleh pada Kale dan Tata. "Kita panggang daging sapi malam ini, saya udah nggak makan daging babi lagi." Don terkekeh.

"Boleh." Kale menyahut tanpa meminta persetujuan Tata.

"Nanti malam bang Kale tidur sama aku ya!" Vanesa bersuara.

"Ck, Vanes." Don menggeleng. "Kamu kan udah gede, bukan anak kecil lagi. Nggak boleh lagi tidur bareng sama bang Kale." Pria itu menegur Vanesa dengan lembut. Sementara gadis muda itu berdecak tak setuju.

Tata menatap Kale. Sadar di tatap Tata, Kale menoleh lalu tersenyum tipis.

Celana jeans dan kaos yang Tata kenakan ternyata membuat Tata kedinginan.

Gadis itu sedang duduk di kursi menatap matahari tenggelam dengan indah. Ia mendongak ketika sebuah jaket menutup bahunya.

"Pake, semakin malam akan semakin dingin." Pria yang memiliki rahang tegas itu menunduk menatap Tata.

"Thanks." Ujar Agatha.

Pria itu menumpukan kedua tangannya di sandaran kursi yang sedang Tata duduki. Keduanya hanya dia melihat matahari tenggelam, semilir angin yang menerpa rambut Tata membuat Kale menunduk menatap hidung mancung dan bibir yang simetris itu. Meskipun tatapan Tata sangat mengganggunya namun entah kenapa ia sangat menyukai tatapan sendu itu.

Tatapan milik Agatha senja.

BIASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang