8

11 0 0
                                    

Tata menggeliat didalam pelukan Kale. Nafas pria itu masih teratur pertanda ia sedang tidur nyenyak. Tata tersenyum, ia melingkarkan tangannya di pinggang Kale. Kale yang memiliki sorot mata dingin, pria yang mengusik pikiran Tata sejak ia tiba di tempat terpencil ini.
Latar belakang Tata yang kesepian sejak Kakaknya meninggal dan ayahnya juga menyusul sang kaka menjadikan Tata tertutup tak memiliki teman pria selain Dion.

Kini, Tata serasa memiliki kehidupan lain yang mengisi relung hatinya. Rasa cemburu, kesal dan juga bahagia menyatu di dalam hatinya sejak bertemu Kale.

Jam masih menunjukkan pukul 6 pagi ketika Tata berdiri menikmati matahari pagi yang baru saja terlihat sempurna.

Ia tersenyum menghirup segarnya udara pegunungan yang jarang ia dapatkan di kota.

"Kudengar kamu dokter yang dekat dengan bang Kale? Iya?" Suara Vanesa memaksa Tata menoleh.

Gadis mudah itu berdiri dengan sombong di hadapan Tata.

"Aku memang dekat dengan siapa saja," Jawab Tata tenang.

Gadis muda itu berdecih.

"Jangan mimpi bisa miliki bang Kale!" Vanesa menatap tajam pada Tata.

Tata mengedikkan bahunya, malas jika harus berdebat dengan anak bau kencur macam Vanesa, apalagi perihal masalah pria.

"Kale manusia bebas, terserah dia mau dekat dengan siapa." Tata tersenyum.

"Ku peringatkan ya, bang Kale itu punya aku, jangan sombong kalo hanya di jadikan alat untuk membuat aku cemburu." Vanesa mendekat. Tata menghela nafasnya menyadari jika gadis itu menguping pembicaraan nya dengan Kale semalam.

"Aku kasih saran, sebaiknya kamu sekolah yang rajin supaya kamu bisa meraih apa yang kamu inginkan." Ujar Tata berusaha bijak.

"Gak usah sok peduli, kamu gak tahu rasanya kehilangan, gak punya saudara gak punya teman. Sekarang kamu mau ambil bang Kale dari aku? Jangan coba-coba!" Gadis itu mulai kehilangan kendali.

"Aku gak berniat ambil Kale dari kamu, sudah ku bilang Kale itu manusia bebas."   Tata beranjak dari hadapan Vanesa, percuma berdebat dengan gadis bau kencur itu.

Seketika tangan Vanesa menarik lengan Tata dan sebuah tamparan mendarat di pipi mulus Tata.

Dokter muda itu terpaku sejenak lalu kemudian menyeringai pada Vanesa.

"Kita lihat saja, siapa yang akan mendapatkan Kale!" Desis Tata lalu beranjak dari hadapan Vanesa.

***

Kale menoleh kembali pada dokter muda yang sedang menempel padanya. Setelah sarapan, Don mengajak mereka untuk melihat peternak sapi miliknya di halaman belakang rumahnya.

Mereka duduk di ruangan kerja milik Don, ada Vanesa juga di sana.

Satu yang Kale bingungkan, kenapa Tata berubah sikap padanya. Apa karena pelukannya tadi pagi?

Kini dokter muda itu lebih sering menempel padanya, berpegangan pada lengannya dan menyandarkan kepalanya pada bahunya.

Jelas Kale tahu jika Tata sedang menunjukan kedekatannya pada Vanesa.

Sekilas Kale melihat pipi kiri Tata memerah.

"Pipi kamu kenapa?" Tanyanya. Vanesa menahan nafasnya karena takut jika Tata akan mengadu pada Kale.

"Oh? Ini? Biasa, kalo kedinginan kulit aku merah kayak gini sih." Tata tersenyum. Jelas itu dusta dan Kale tahu itu.

Pria itu hanya mengangguk dan ia sudah bisa menebak apa yang terjadi karena Vanesa sudah terlihat rikuh ketika Kale menatapnya.

Setelah berpamitan, Tata kembali menjaga jarak. Tak lagi bergelayut manja padanya.

"Vanesa nampar kamu?" Tanya Kale. Tata menoleh.

"Mungkin gak sengaja. Namanya juga cewek lagi cemburu." Tata mengedikkan bahunya.

Kale menghela nafasnya dalam.

Wanita ini sungguh rumit, pikirnya.

Di tempat lain, di suatu bangunan menyerupai markas tentara.

"Sepertinya cewek kemarin bukan kekasih Kale, bos." Pria bertubuh tambun itu menatap pria paruh baya yang ia panggil bos.

"Terus?" Tanya sang bos Sembari menghisap cerutunya dalam-dalam.

"Ini." Pria bertubuh tambun itu menunjukan sebuah foto di layar ponselnya.

"Ini wanita yang sepertinya menjadi kelemahan Kale."

Pria paruh baya itu memperhatikan dengan seksama.

"Dokter?" Tanyanya. Yang di tanya kontan mengangguk.

"Selidiki." Perintah di bos.

"Kale, pembalasan ku akan lebih sakit! Kita lihat aja nanti apa yang akan aku lakukan pada gadis cantikmu itu." Pria berkepala botak itu menyeringai.

BIASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang