3

9 1 0
                                    

Sudah jam 1 siang, Tata baru saja bangun dari tidurnya. Ia dan Dion segera tidur setelah tiba di barak.

Tata menatap lengannya yang sudah terdapat dua plester di sana.

"Dion sok manis!" Gerutunya.

Setelah mandi, ia menuju ruang makan. Ada Dion, Yoan, Vita dan Kale di sana.

"Halo." Sapa Tata.

"Tidur apa pingsan, Ta?" Tanya Dion. Vita tergelak.

"Ngantuk." Tata menipiskan bibirnya.

"Dion, bagi plester yang tadi dong." Ujar Tata. Dion mengernyitkan keningnya.

"Plester apaan?" Tanya Dion.

"Lho?" Tata membeo. Lantas ia menoleh pada kale. Pria itu beranjak dari duduknya dan melenggang pergi dari ruang makan.

"Gak jadi, gue lupa mau minta apa." Tata terkekeh. Dion mendengus pelan.

Sudah hampir satu bulan Tata berada di sini, membantu tim kemanusiaan merawat dan memberi pertolongan kepada rakyat sipil yang menderita.

Ia pun sudah sering bertemu dengan Kale, si pria dingin itu. Kale akan sibuk dengan area perbatasan dan mengawasi jalannya semua tim garda depan baik dari Angkatan Darat maupun kesatuan lainnya. Kamar Kale berada di paling ujung barak utama ini, kamarnya selalu sepi. Entah jam berapa dia ada di barak atau bahkan ia sering nggak pulang ke barak.

"Malam ini cuaca akan nggak bersahabat. Akan ada badai hujan dan petir jadi saya harapkan setelah selesai mengecek semua pekerjaan di sarankan segera beristirahat." Yoan memberikan arahan pada Semua anggotanya.

Briefing malam ini berbeda entah kenapa Kale ada di sana berdiri di samping Yoan. Pandangan pria itu tajam, dingin dan tanpa ekspresi. Sesekali mata Tata mencuri pandang pada pria berhoodie hitam itu.

"Silahkan kembali ke kamar masing-masing. Oh ya! Untuk tim dokter silahkan di bagi tugas ya dengan semua perwakilan yang ada." Yoan menambahkan.

Benar saja, tepat pukul 11 malam terjadi badai. Tata membuka tirai kamarnya dan melihat keluar area. Kilat dan petir saling menyambar. Tata membutuhkan secangkir teh untuk menghangatkan tubuhnya. Ia pun segera beranjak keluar kamarnya menuju dapur umum. Dapur kecil yang biasa di gunakan untuk memasak mie instan dan kopi. Tata bersenandung kecil sambil mengaduk tehnya. Ia hampir mengumpat sejadi-jadinya ketika ekor matanya menangkap tubuh seseorang yang sedang duduk di kursi kayu dan membelakanginya. Pria itu membuka jendela dan memandang jauh ke depan, jauh ke dalam hutan belantara yang tengah riuh karena badai.

"Pak Kale." Sapa Tata. Pria itu menoleh namun tak berekspresi.

"Mau saya buatin teh?" Ujar Tata lagi. Kali ini Kale memutar tubuhnya.

"Kenapa tatapan mata kamu selalu mengganggu saya?" Tanya Kale.

Tata membisu.

***

Tata sudah selesai bertugas ketika jam menunjukan pukul sembilan malam. Ia berjalan hendak menuju kamarnya, tatapan matanya tak sengaja menoleh ke arah kamar Kale. Pintunya terbuka. Tumben.

Sejak kejadian di dapur itu, Tata memilih tak menjawab pertanyaan Kale.

Terdengar desis an dari kamar Kale membuat Tata menghentikan langkahnya. Ia mendengarkan dengan seksama suara yang perlahan semakin jelas.

Tata berdiri di ambang pintu kamar Kale, ia melongok ke dalam.

"Halo, apa perlu pertolongan." Suara Tata terdengar setengah berbisik.

Tak ada jawaban, tetapi desisan suara menyerupai rintihan semakin terdengar. Tata nekat, ia mendorong pintu pelan dan masuk ke kamar Kale.

Tata hampir menjerit ketika melihat Kale sedang terkapar di kasur. Pria itu membuka matanya ketika Tata masuk.

"Tutup pintunya!" Perintah nya.

"Kamu luka, ayo ke RS darurat!" Tata mendekati Kale.

"Tutup pintunya!" Kali ini Kale setengah membentak membuat Tata segera menutup pintu.

Pria itu memegangi perutnya. Matanya menatap tajam pada Tata.

"Aku cek lukanya." Tata berusaha tetap tenang.

"Cuma luka kecil. Nggak perlu di cek!" Tolak Kale. Tata menghela nafasnya.

"Jangan keras kepala!" Tata mendelik sebal. "Kalo kamu gak bisa menjaga diri sendiri, gimana orang lain akan bergantung sama kamu." Tata mendekat. Modal nekat.

Tata semakin mendekat melihat Kale tak membentak nya lagi. Ia mengambil bantal dan menarik kepala Kale supaya lebih nyaman. Perlahan Tata menyingkirkan tangan Kale dari perut sebelah kanannya.

"Tertembak?" Tanya Tata. kale hanya bergumam.

Tata melihat luka tembak di perut sebelah kanan. Syukurlah hanya serempetan peluru dan tak ada proyektil yang bersarang di tubuh pria itu.

Ia membersihkan luka Kale di bawah tatapan waspada Kale. Entah kenapa, pria ini sepertinya memilik benteng pertahanan diri yang kuat.

"Selesai." Tata membuka sarung tangannya.

Kale hanya diam.

"Aku kembali ke kamar. Ini obatnya di minum setelah makan." Tata menatap manik mata pria itu.

"Thanks." Gumam Kale. Tata mengangguk. Lalu berniat beranjak dari ranjang Kale

Terdengar suara riuh di luar membuat Kale menarik dokter muda itu untuk naik ke atas kasur. Ia mengisyaratkan Tata supaya diam. Pria itu mengambil revolver nya dan menuju pintu. Ia mengintip dari lubang kecil yang sepertinya sudah ia siapkan. Ia terlihat menghela nafasnya dalam karena ia hanya melihat dokter-dokter muda yang baru saja melewati kamarnya.

Tata melihat tak ada yang bahaya hingga ia turun dari ranjang Kale. Suara Dion dan Vita masih terdengar. Mereka duduk di meja bundar di samping kamar Kale.

"Keluar aja kalo kamu mau di gosipin." Ujar Kale santai lalu masuk ke kamar mandinya.

Tata berdecak kesal sementara Kale terlihat menarik sudut bibirnya samar, sangat samar.

BIASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang