10

16 0 0
                                    


"Dokter! Istri saya mau melahirkan, tolong!"

Agatha terkejut mendengar suara seorang pria yang berteriak padanya saat ia baru saja kembali dari desa sebelah untuk penyuluhan.

"Dimana pak?" Tanya Tata.

"Ayo dok! Ikut saya!" Pria itu menangis dan mempersilahkan Tata untuk menaiki motornya.

Tanpa pikir panjang Tata pergi dengan pria tersebut.

Saat hendak berbelok keluar dari area barak, ia bertemu dengan Vita yang juga baru tiba dari desa lainnya.

"Vit, aku bantu orang mau melahirkan dulu ya!" Teriak Tata.

"Ta!! Hey mau kemana!"

Agatha sudah berlalu dengan motor trail yang membawanya menjauh dari barak.

Sudah pukul 5 sore tapi Agatha belum juga kembali.

"Pak Yoan, Tata belum kembali ke barak." Dion membaca pesan di ponselnya. Vita baru saja mengirimi ia pesan tentang Tata.

Yoan mengernyitkan keningnya. Saat ini Yoan, Dion dan Kale berada di markas komando untuk mengambil logistik juga obat-obatan.

"Kal, dr.Agatha belum balik ke barak sejak siang." Yoan menepuk pundak Kale yang sedang menikmati kopi di ruang meeting markas komando.

Pria itu menatap Yoan dan segera mencari tahu.

Tak berselang lama, Kale menerima rekaman cctv dari area barak ia melihat Tata pergi dengan seorang pria dengan motor trail. Sekilas pria itu nampak seperti penduduk asli daerah tersebut, namun hanya Kale yang sadar jika pria tersebut mengenakan sepatu khas tentara pemberontak. Kale mengeraskan rahangnya.

"Agatha di culik." Gumamnya meremas ponselnya sendiri. Yoan dan Dion seketika membelalakkan matanya.

"Yakin?" Yoan menatap Kale.

Pria berhoodie itu mengangguk yakin.

"Kalo sampai 1 jam saya nggak balik, minta bantuan segera." Kale bergegas meninggalkan markas komando.

"Hati-hati, Kal!" Yoan menepuk pundak sahabatnya itu.

Dion terduduk lemas mendengar sahabatnya di culik.

"Apa untungnya nyulik Tata?" Tanya Dion pada Yoan.

Yoan terlihat berfikir keras.

"Tata adalah kelemahan Kale." Yoan menghela nafasnya.

"What the---" Dion seketika memekik. "Jadi Tata sengaja di culik supaya Pak Kale datang?"

Yoan mengangguk.

"Pemberontak?" Tanya Dion. Yoan menggeleng.

"Musuh besar Kale, Rider." Sahut Yoan.

***

Tata menatap pria di hadapannya dengan tenang. "Apa untungnya anda menculik saya? Tebusan?" Tata bertanya dengan tenang.

"Uang tebusan?" Dokter muda itu berusaha tak terintimidasi dengan tatapan pria seumuran Kale yang sedang berdiri di hadapannya.

Pria itu terkekeh. "Bukan sekedar masalah uang. Tetapi, tamu spesial saya akan segera sampai di sini untuk menyelamatkan kekasihnya."

Tata mengernyitkan keningnya. " Berarti anda salah sasaran. Sejak kapan saya punya kekasih?"

"Ah, rupanya kamu itu terlalu polos nona manis." Pria itu duduk di kursi dihadapan Tata.

"Perkenalkan, saya Rider. Musuh bebuyutan Kaleindra Bimasakti."

Tata melongo.

"Ah ya, saya selalu bingung." Rider tersenyum menatap Tata.

"Kenapa Kale selalu di kelilingi wanita-wanita cantik sejak dulu." Rider berpura-pura menghela nafasnya dalam.

Tata masih diam menatap Rider dengan tenang.

"Aku berharap Kale nggak akan datang ke sini." Tata mengikat rambutnya dengan ikat rambut yang ada di pergelangan tangannya.

"Dia terlalu sibuk kalau hanya mengurus kamu yang apa ya---pengecut, mungkin." Tata tersenyum.

Rider mengeraskan rahangnya. Ternyata Tata tak selemah yang ia kira.

"Aku saja sebagai seorang perempuan, kalo aku punya masalah dengan seseorang, aku nggak akan melibatkan orang lain untuk menyelesaikannya."

Dokter itu menatap dengan tatapan meremehkan.

Tata melanjutkan ucapannya. " Tapi kamu, menculik ku hanya untuk memancing Kale?"

Rider menatap Tata tanpa bicara apapun.

"Kamu nggak tahu siapa Kale, kan? Sekejam dan sejahat apa dia selama ini. Siapa yang sudah dia hancurkan, siapa saja yang sudah dia bunuh, kamu nggak tahu itu, kan?" Rider menaikkan alisnya.

Tata mesem. " Itu bukan masalah ku. "

Rider terkekeh.

"Kamu punya mental yang bagus."

Keduanya menoleh ketika suara pintu terbuka dengan kencang. Kale berdiri di sana dengan senjata api di tangan kanannya dan belati di tangan kirinya. Ujung belati tersebut masih meneteskan darah segar pertanda baru saja memakan korban.

"Wow!" Rider bertepuk tangan. "Ku kira kamu gak akan datang secepat ini, Kal!"

Kale menatap Rider tajam. Ia berjalan menuju sofa dimana Tata berdiri. Anak buah Rider bersiaga dengan senjata mereka.

"Kamu nggak apa-apa?" Kale menatap Tata. Gadis itu menggeleng lalu berbisik.

"Sedikit laper aja, tadi belum sempat makan siang." Gadis itu terkekeh. Kale mengerjapkan matanya.

Yang Kale bayangkan adalah Tata akan menangis meraung-raung dalam ketakutan. Nyatanya, dokter itu nampak biasa saja.

"Urusan kalian udah selesai?" Tata menoleh pada Rider. Pria itu menaikkan alisnya.

"Aku ada jadwal piket malam ini." Kini Tata menatap Kale yang sedang menatapnya.

"Ayo pulang. " Kale membalikkan badannya di ikuti oleh Tata di sampingnya.

"Masih mimpi buruk, Kal?" Suara Rider membuat Kale menghentikan langkahnya.

"Masih belum berani ketemu sama ibunya A--- Anjing!!" Rider tersentak ketika sebuah belati melesat dengan cepat dan menancap di sofa yang ia duduki. Belati itu berasal dari tangan kiri Kale. Rider terdiam dengan kaki gemetar.

"Jangan jadi pengecut!" Gumam Kale. Pria itu menarik lengan Tata dan berlalu dari markas Rider tanpa perlawanan. Tata melihat hampir semua anak buah Rider terluka akibat ulah Kale.

Tata menatap Kale yang diam dan tak bersuara. Matanya fokus pada jalanan yang berkelok.

"Kale itu tak ragu membunuh seseorang hanya karena cemburu. Dia terlalu mencintai cinta pertamanya yang sudah berkhianat padanya. Wanita itu dan kekasihnya tewas di tangan Kale tapi saya yakin cinta Kale masih besar untuk wanita itu. Berhati-hatilah, jangan terlalu mencintai Kale karena kamu bisa berakhir seperti cinta pertama Kale."

Ucapan Rider beberapa saat lalu membuat Agatha berfikir, apakah Kale seorang pembunuh?

BIASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang