11

15 0 0
                                    


Dion dan Vita saling pandang. Ia heran dengan Agatha yang nampak biasa aja setelah tragedi penculikan itu. Malam ini Agatha bekerja seperti biasa, bertugas malam dan ya seperti tak terjadi apa-apa.

"Ta, kamu beneran di culik?" Tanya Dion. Sontak saja Vita melotot pada Dion.

Agatha terkekeh. " Iya, tapi salah culik sih, menurutku."

"Lha?" Vita dan Dion membeo.

Agatha menghela nafasnya dalam. "Mereka harusnya menculik wanita yang di cintai Kale, bukan aku."

"Gimana kalo ternyata wanita itu---kamu?" Dion menyeringai.

Agatha pun membisu.

***

Tata baru selesai bertugas, hari ini ia lelah sekali. Setelah berjibaku selama 3 jam di ruang operasi karena ada salah satu staff markas komando yang menderita luka tembak di perut.

Ia merebahkan tubuhnya di sofa di dapur, segelas kopi sudah ia buat dan siap di nikmati.

Ia memejamkan matanya, mengingat kembali bagaimana wajah bengis Kale saat menghadapi Rider.

Siapa Kale sebenarnya?

Kenapa perasaannya pada Kale tak seperti perasaannya pada Yoan ataupun Dion.

Ada sedikit rasa canggung dan terkadang rindu di dadanya.

"Obat ngantuk itu tidur, bukan kopi."

Suara Kale nyatanya selalu membuat Agatha merinding.

Tata menoleh lalu nyengir kuda lalu bangkit dan menatap Kale.

"Sini!" Tata menepuk sisi sofa yang kosong.

Kale menurut, ia duduk di samping Tata.

"Kamu nikung Rider, ya?"

Kale menoleh cepat, Tata mesem.

"Habisnya sekesel itu dia sama kamu." Tata mengedikkan bahunya dengan cuek.

"Masalah cowok itu kalo gak masalah gengsi dan harga diri, ya masalah cewek. Iya kan?" Tata tetep keukeuh dengan opininya.

Kale mendengus pelan.

"Dia mengira aku menghamili pacarnya." Sahut Kale.

Tata melebarkan matanya. "Tapi---"

"Ck, aku nggak segila itu tidurin pacar teman." Sahut Kale tenang.

"Rider, teman kamu?"

Kale mengangguk.

"Kami sama-sama pasukan khusus." Rider menyandarkan tubuhnya di sofa.

"Bedanya, aku memilih di pecat dan mengasingkan diri. Sementara Rider memilih mengkhianati kesatuan dan terjun ke dunia hitam." Kale tersenyum pahit.

Tata mengangguk dengan tatapan masih lekat pada Kale.

"Apapun masalah kamu, gak baik selalu menghindar dan melarikan diri." Tata menyodorkan kopinya pada Kale.

Pria itu menerima dan menyesapnya pelan.

Ia menggenggam gelas yang berisikan kopi hangat dengan erat.

"Aku---belum berani melihat kesedihan orang yang aku sakiti." Kale menoleh.

"Aku penuh dosa dan gak punya belas kasih, kenapa kamu gak takut sama aku?"

Kale menatap Tata sementara dokter muda itu mengerjapkan matanya lalu tersenyum.

"Kamu cuma kesepian." Sahut Tata.

BIASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang