9

14 0 0
                                    


"Heran aku, sekarang dokter bedah kita sering ngilang!" Gerutu Dion. Vita terkekeh pelan, Tata memutar bola matanya.

"Cinlok!" Bisik Vita pada Dion.

"Maybe!" Balas Dion. "Tuh liat aja, si cowok matanya kayak CCTV, dari tadi ngeliatin Tata terus.

Agatha menoleh pada Kale yang memang sedang menatapnya.

Hari ini ada penyuluhan di salah satu perkampungan terdekat. Informasi dari salah satu warga, ada beberapa warga yang menderita sakit perut dan muntah-muntah.

Tak berselang lama terdengar suara tembakan. Kale sudah tak di tempatnya, keadaan semakin kacau balau ketika semua orang berhamburan dan berteriak.

Tata cs berusaha menyelamatkan anak kecil yang sedang mereka obati.

"Masuk!" Kale membuka pintu ruang kecil di samping balai warga. Semua petugas kesehatan berlarian masuk ke sana. Kale menutup pintu yang terbuat dari baja tersebut. Yoan terlihat menenangkan semua warga yang ada di sana.

"Gimana?" Tanya Yoan. Kale terlihat mendekat pada Yoan dan berbisik sesuatu.

"Agatha!" Panggil Kale.

Tata yang masih ketakutan menoleh pada Kale.

"Bisa nyetir?" Tanya Kale. Agatha mengangguk.

"Rubicon?" Tanyanya lagi. Agatha terlihat berfikir lalu mengangguk.

"Good." Kale tersenyum. "Dengar, kamu bawa mobil ku, dan lari ke markas minta bantuan. Di ruangan ini nggak ada signal karena semua ruangan dari terbuat dari baja.

Agatha menoleh pada Dion dan Vita.

"Teman-teman kamu harus di sini, merawat yang sakit." Kale menatap Tata lekat. "Aku percaya sama kamu, kita percaya sama kamu." Kale menyentuh pundak Tata.

Tata mengangguk, dengan air mata yang nyaris tumpah.

"Aku harus jaga di sini karena cuma aku dan Yoan yang bawa senjata. Faham?" Kale menepuk puncak kepala Tata.

"Faham." Sahut Tata.

Lalu Kale dan Yoan memberi instruksi pada Tata mengenai pintu keluar rahasia. Tata mengangguk tanda mengerti.

Dion dan Vita memeluk Tata erat.

Ketika Agatha hendak beranjak pergi, Kale menahan lengan Tata. Ia membawa Tata ke dalam pelukannya.

"Hati-hati, tunggu aku di barak. Tunggu aku di kamar ku, oke!" Kale mendekap erat dokter muda itu di bawah tatapan semua yang ada di ruangan itu.

"Dengar, di bawah bantal ada pistol, kamu bisa pegang itu untuk perlindungan. Ngerti? Buka internet cara pakainya." Kale melepas pelukannya.

"Kunci pintu kamar, jangan buka untuk siapapun, kecuali aku." Kale tersenyum.

"Kamu harus pulang, aku tunggu." Suara Tata bergetar menahan tangis.

Gadis itu berlari ke arah mobil lalu melajukan kendaraannya dengan cepat. Ia memacu kendaraanya dengan berani. Ia ingin Kale dan yang lainnya kembali ke barak dengan selamat.

Sudah sekitar 45 menit sejak kepergian Tata, Dion dan Vita merawat anak-anak dan orang tua yang perlu pertolongan.

Kale dan Yoan berjaga di pintu dengan waspada. Tak berselang lama, terdengar ketukan di pintu. Kale dan Yoan saling pandang. Kale membuka pintu dengan hati-hati, sementara Yoan membidik senjata untuk melindungi Kale.

Kale menghela nafasnya ketika di hadapannya berdiri komandan pasukan.

"Sudah kondusif, pak." Pria itu memberi hormat.

***
Tata berdiri cemas dengan senjata di tangannya. Ia berdiri di depan jendela menatap ke arah halaman barak. Ia menunggu Kale. Air matanya bercucuran mengingat bagaimana tegangnya saat ia nyaris ketahuan oleh para pemberontak.

Deru mobil terdengar masuk ke halaman barak. Tata memperhatikan, ketika ia melihat Yoan, ia segera berlari membuka pintu kamar dan menuruni tangga. Ia berdiri di hadapan pintu barak, ia mencari Kale.

Tangisnya pecah ketika ia melihat Kale keluar dari salah satu mobil di susul oleh Vita dan Dion. Tata berlari dan menghambur ke dalam pelukan Kale yang sedang tersenyum ke arahnya. Dokter itu menangis kencang.
Ia menumpahkan kekhawatirannya, ketakutannya di dada Kale.

Dion dan Vita mengelus punggung Tata dan segera berlalu meninggalkan dua manusia yang sedang berpelukan.

"Kamu hebat." Bisik Kale. Tangis Tata semakin pecah.

Selepas makan malam Tata sudah akan beranjak ke kamarnya. Ia lelah ingin beristirahat, kejadian hari ini betul-betul menguras emosinya.

"Udah mau tidur?" Pertanyaan Kale membuat Tata menahan langkahnya.

"Belum sih, kenapa?" Tanya Tata.

"Mau ikut aku?" Tanya Kale.

Tata memutar bola matanya. "Ke bukit lagi?" Ejeknya.

Kale berdecak pelan. " Kita akan kembali sebelum kamu bertugas."

Tata mengangguk.

Hanya lima belas menit perjalanan, akhirnya mereka tiba di sebuah pantai yang tersembunyi. Deburan ombak menyambut Tata dan Kale. Hanya ada satu warung yang buka, Kale menuju warung tersebut dan menyapa pemiliknya yaitu seorang wanita paruh baya.

"Lho? Tumben datang berdua."

Kale hanya tersenyum dan ia menitipkan motornya di sana.

Kale menarik tangan Tata dan menuju bibir pantai.

Keduanya terdiam.

"Aku tahu kamu ketakutan, sedih, khawatir dan trauma. Berteriaklah, menangislah supaya hatimu lega. Aku sering melakukan itu." Kale menoleh pada Tata.

"Hari ini kamu hebat, kamu berani dan sudah menyelematkan semua orang." Kale menepuk puncak kepala Tata.

Dokter muda itu menutup wajahnya dan mulai menangis meraung-raung. Kale tersenyum.

Ia menarik Tata ke dalam pelukannya, membiarkan gadis itu memukuli dadanya.

"Aku takut, aku takut kamu mati. Aku takut kamu ninggalin aku. Aku takut sekali, Kalll! "

"I know." Kale mengecup puncak kepala Tata dengan lembut.

Tata mengeratkan pelukannya.

Tak lama terdengar tangisnya mereda. Gadis itu mendongak. "Sorry, kemeja kamu basah." Cicitnya.

Kale tersenyum. Pria itu menghapus air mata Tata dan mengusap pipinya dengan lembut.

"Mulai sekarang, jangan takut. Ada aku." Bisik Kale.

BIASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang