7

11 0 0
                                    

Tata menatap dirinya di cermin. Kali kedua ia dan Kale tidur dalam satu kamar. Rasanya seperti pengantin baru saja.

Ia bergidik ngeri.

Kale sosok yang penuh misteri dan Tata semakin penasaran di buatnya.

Pria itu sudah bertelanjang dada ketika Tata keluar dari kamar mandi, Tata menghela nafasnya dalam menahan cobaan ini.

"Handphone kamu bunyi." Beritahu Kale padanya.

"Oh?" Tata mengambil ponselnya di meja kecil.

Tata terkekeh, lalu memberikan ponselnya pada Kale. "Baca deh!"

Dion Wijaya : Ta, semisal nih ya, kamu dan Pak Kale kebablasan, minta Pak Kale pake kondom ya! Nanti Pak Kale suruh cek kesehatan dulu. Aku referensiin dokternya deh. Please ya Ta!

Tata tertawa terpingkal-pingkal hingga air matanya keluar. Kale tertawa pelan lalu menaruh ponsel Tata di kasur.

"Dasar Dion, gila!" Tata beringsut naik ke atas kasur di bawah tatapan Kale.

"Udah gak takut lagi sepertinya." Sindir Kale. Gadis itu memutar bola matanya.

"Ngantuk, gak ada pilihan lain. Salah sendiri ngajak nginep gak pake minta persetujuan dulu." Tata menarik selimutnya. "Pake baju, bisa?"

Kale mendengus mendengar ucapan Tata. Pria itu mengabaikan pertanyaan sekaligus permintaan Tata. Ia merebahkan kepalanya di bantal, matanya terpejam mencoba tidur.

Namun gagal.

"Kal, misalnya Vanesa tetep suka sama kamu gimana? Misalnya dia gak peduli walaupun kamu bawa aku ke hadapannya."

Hening.

"Kal?"

"Aku nggak punya hasrat apapun sama Vanesa, nggak tahu kalo sama kamu."

Tata kicep.

Ia memunggungi Kale yang sedang memicingkan matanya. Kale menatap punggung itu, punggung yang selalu ia rindukan.

Perlahan, ia mengulurkan tangannya ke pinggang Tata, ia merapatkan tubuhnya pada Tata. Kale nampak tak peduli dengan debaran jantung Tata yang sudah tak aman.

"Kal--"

"Aku ngantuk,. Protesnya besok aja. Sekarang tidur dulu, kalo kamu mau peluk balik aku, itu lebih baik." Kale menelusupkan tangan kirinya ke bawah leher Tata, membiarkan gadis itu tidur di dalam pelukannya, Kale tenang dan merasa nyaman.

Nyaman, sekali.

***

Matahari sudah tinggi ketika Kale membuka matanya. Tata sudah tak ada di sampingnya.

"Ta," Kale mengetuk pintu kamar mandi.

Tak ada sahutan. Kale membuka pintu kamar mandi namun tak ada siapapun di sana. Kemudian ia membasuh wajahnya dan menatap dirinya di cermin.

Setelah pertemuannya dengan Agatha, entah kenapa Kale merasa ada bagian di dalam dirinya yang menghangat, mencair kemudian larut ke dalam hatinya dan jiwanya yang sudah lama beku.

"Udah bangun?" Suara Tata membuat kale menatap gadis itu dari cermin.

"Darimana?" Tanyanya pada Tata yang sudah terlihat cantik.

"Ngobrol sama Pak Don." Ia mengedikkan bahunya.

Gadis itu berlalu dan duduk di tepi ranjang.

"Kita pulang sekarang, kan?" Tanya Tata pada pria yang berdiri di hadapannya.

"Iya," Sahut Kale. " Kenapa?"

"Aku ada jadwal piket nanti malam." Jawab Tata.

Kale mengangguk.

"Tunggu!" Tata menahan tangan Kale yang hendak mengenakan kaosnya. Tata memeriksa sesuatu di punggung Kale.

"Ini bekas luka tembak?" Tata menyentuh bekas luka di punggung Kale. Pria itu menoleh tanpa membalikkan tubuhnya.

"Hmm." Sahutnya singkat. Ada beberapa bekas luka di sana. Luka tembak, luka goresan senjata tajam dan seperti nya luka cambuk.

"Ini punggung? Beneran?" Tanya Tata.

Kale tertawa pelan karena mengerti maksud Tata.

"Apa yang terjadi di hidup kamu sampai punya luka sebanyak ini." Tata menatap punggung kokoh itu.

"Sesuatu yang nggak ingin aku ingat." Sahut Kale membalikkan tubuhnya.

"Aku nggak suka mengingat hal-hal yang bikin aku marah." Kale menatap Tata yang mendadak rikuh.

"Tapi aku suka mengingat hal yang manis." Imbuhnya.

Ia menarik pinggang Tata semakin mendekat padanya. Tata memekik menahan dada Kale dengan tangannya.

Pria itu masih menatap Tata lekat, ia merapihkan rambut Tata yang keluar dari ikatan asalnya. Perlahan ia memeluk Tata erat, menumpukan dagunya di puncak kepala Tata.

"Kale.." Gumam Tata.

"Hmm?" Kale mengusap punggung Tata.

"Peluk-peluk sembarang masuk dalam pelecehan seksual lho!" Gumam Tata yang tak menolak pelukan Kale.

Tubuh pria itu bergetar pertanda ia sedang tertawa.

Tata tersenyum di dalam dekapan Kale, entah kenapa ia merasa menang dari Vanesa. Gadis yang beberapa saat lalu menamparnya dengan kencang.

BIASTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang