05

15K 930 126
                                    

Jevas menatap beberapa orang yang sendari tadi keluar masuk kamarnya dengan pandangan datar. Beberapa orang itu terlihat membawa sebuah baju yang semula berada dilemari Lilith.

Jevas mencekal lengan Lilith kasar saat perempuan itu berjalan didepanya.

"Apasih," Datar Lilith sambil menyentak kasar tangan Jevas.

"Apa maksud semua ini?!" Tanya Jevas dengan suara meninggi. Ia benci jika orang lain memasuki kamarnya dengan sembarangan.

Menatap Jevas penuh permusuhan, "Pikir sendiri! gue rasa otak lo masih sedikit berfungsi walaupun krisis isi."

"Lilith." Kalimat itu menandakan jika kesabaran Jevas kali ini benar-benar sudah habis.

"Ck. Gue mau kita pisah kamar."

"Nggak." sela Jevas spontan. Tanganya terkepal erat dibawah sana. Merasa tidak terima.

Menggelengkan kepalanya tak habis pikir. sebenernya apasih maunya lelaki dengan rambut acak-acakan ini. "Alesannya? Lagi pula nggak ada yang minta persetujuan Lo."

"Please stop, Jevas. Gue udah punya keinginan lepas dari Lo. Seharusnya lo dukung dengan senang hati. Gue mohon jangan memperlambat jalan gue." Lanjut Lilith.

Jevas mengantup mulutnya rapat, kemudian mengangguk. Pasti ada sesuatu dibalik ini, biarkan nanti Jevas akan mencari tahu sendiri.

Lilith melangkahkan kakinya pergi setelah melihat tanda persetujuan dari Jevas. Ia melangkahkan kaki riang seolah bebannya berkurang sangat banyak.

Tepat setelah Lilith pergi dari hadapan Jevas. Seorang lelaki dengan postur tegap serta pakaian formal menghampiri Jevas lalu menyodorkan sesuatu. Diduga itu tangan kanan Jevas.

Jevas menerima benda itu dengan senang hati, "Kerja bagus."

"Terima kasih, Tuan." Ucap Jerk dengan bangga. Selama Jerk mengabdikan diri kepada Jevas, baru kali ini Tuanya itu memuji hasil kerjanya. Padahal cuman karena memberikan sebuah kunci salah satu kamar yang berada dirumah ini.

"Kau boleh pergi." Mendengar penuturan Jevas, Jerk dengan patuh melangkahkan kakinya pergi.

Jevas tersenyum miring. Menatap pintu kamar yang sekarang ini ditempati Lilith dengan sorot mata yang sulit untuk diartikan.

"Gue juga punya kuncinya, Lilith."

******

Dimeja makan, Jevas hanya duduk sendiri menikmati makanannya. Sejenak fikiranya melayang kebeberapa waktu lalu, dimana Lilith masih bersikap agresif padanya.

Tetapi sekarang tidak lagi.

"Tuan Jevas. Nyonya Lilith tidak ingin turun untuk makan, katanya Nyonya tidak lapar." Ucap ketua pelayan yang baru saja ia tugaskan untuk menyuruh Lilith turun untuk makan.

Jevas mengangguk, lalu mengangkat bahunya acuh. Toh sebenarnya dia tidak peduli dengan Lilith, tadi dirinya memerintahkan pelayan hanya untuk melihat reaksi Lilith saja.

"Biarkan saja! dia sudah cukup besar untuk melakukan aksi mogok makan."

"Tapi—Tuan."

Jevas mendongak. Menatap kearah ketua pelayan itu. Wenny. Menunggu kalimat selanjutnya.

"Nyonya belum makan sendari pagi. Mengingat Nyonya mempunyai penyakit lambung itu sangat berbahaya."

Jevas membanting sendok ditanganya dengan kasar. Ia menghunus, menatap Wenny dengan tajam.

"Apa kau tuli? Jikalau pun dia mati saya juga tidak peduli." Setelah mengatakan kalimat itu, Jevas bangkit dari duduknya, Selera makan laki-laki itu hilang.

Wajah Wenny seketika pucat pasi. Dia benar-benar membuat kesalahan besar kali ini.

Sedangkan Jevas? ia tetap berjalan meninggalkan meja makan dengan wajah angkuhnya. Yang membuat keterkejutan adalah saat langkah lelaki itu berhenti tepat didepan kamar Lilith.

"Triastaskara! cepat turun dan makan, Jangan jadi orang bodoh dengan mati kelaparan." Ucap Jevas sedikit berteriak. Dalam hati Jevas berucap, Semoga saja Wenny tak mendengar teriakannya atau dia akan kehilangan muka dihadapan Wenny.

Lilith didalam kamar tentu tak mendengar teriakan itu, Karena ditelinganya terdapat sebuah earphone yang menyuguhkan music dengan suara kencang.

"LILITH TRIASTASKARA!!"

Melihat tak ada reaksi dari orang didalam sana. Tentu Jevas merasa tindakannya ini mungkin akan membuat Lilith pede.

Menggelengkan asumsi itu, Jevas menoleh kekanan dan kekiri, memastikan tidak ada yang melihat tindakanya barusan. Jevas bernafas lega.

"Makan gak makan bukan urusan gue." Entah itu kalimat yang keluar berdasarkan isi hati atau hanya kalimat kosong tak berarti.

Husband Death Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang