Chapter 29

92 14 0
                                    


Chap 29

-Dua kata yang hanya mampu terucap untuk seseorang dengan sebuah ketulusan adalah terima kasih-

▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️

Zalea terdiam. Merasakan getaran hebat dalam dadanya. Meski kedua netra biru Saphire itu masih fokus menatap ke arah lain, Zalea merasakan kebenaran dari sana. Ya, ia tak perlu belajar ilmu sihir pelindung. Sebab, ada para sosok hebat yang sedang berusaha melindungi seluruh akademi.

"Uwaw!" Para siswa yang berada di sisi dan belakangnya bergumam takjub. Sontak ia ikut melihat ke arah pusat perhatian.

Yang tertangkap oleh kedua netranya adalah pemandangan indah nan menakjubkan saat dinding pelindung terbangun dari dasar tanah menjulang tinggi ke atas membentuk setengah lingkaran yang mengerudungi area akademi. Awalnya dinding pelindung memiliki siratan warna biru kehijauan, namun setelah terbangun sempurna mengelilinginakademi, dinding pelindung itu berubah menjadi transparan. Seolah tak ada dinding apapun yang ada di sekitar akademi.

Mereka bertepuk tangan. Termasuk Zalea yang sudah mengulas senyuman lebar karena kagum. Tiga sosok yang menjadi perhatian pun menyambut tepuk tangan itu dengan gaya mereka masing-masing. Gerd dengan wajah datarnya dan hanya mengangguki setiap pujian yang terlontar. Veena dengan senyuman manisnya yang terkesan malu-malu. Sedangkan Paul dengan seringai puasnya sembari menatap sombong ke arah Lyan.

"Mereka memang luar biasa." Gumaman Zalea membuat Lyan menoleh ke gadis itu.

"Mereka atau hanya Paul?" tanya Lyan. Pertanyaan itu menuai kerutan heran di kening Zalea.

"Semua. Termasuk sepupumu—Veena."

Lyan sedikit terkejut karena Zalea mengetahui tentang identitas gadis berambut hitam legam yang tengah menjadi sorotan. "Dari mana kau tahu?"

"Banyak informasi yang kudapatkan tentangmu darimanapun itu."

"Sekagum itukah kau padaku?"

Zalea menjulurkan lidah. "Jangan terlalu percaya diri."

Aksi Zalea membuat Lyan tersenyum. Sorot matanya berubah sendu. Di gemuruh sorak sorai sekitar, dengan sangat jelas Zalea mendengar jika Lyan mengatakan, "Mari kita berjuang bersama."

▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️

Setelah melihat aksi yang mengagumkan dari ketiga sosok pengguna sihir pelindung, Zalea terus mengekori Lyan. Meski sosok itu selalu menyuruhnya untuk menunggu di bangku dekat lapangan gedung Emerald, Zalea selalu saja mengikuti Lyan kemanapun ia pergi.

"Kau seperti debu yang terus menempel padaku."

"Aku terlalu cantik untuk menjadi debu. Ya, mungkin menurutmu aku seperti debu emas."

Lyan melirik gadis yang berjalan di sisinya. Ia terlihat mencoba untuk menyamakan langkah lebar milik Lyan. Entah karena gemas atau apapun, tiba-tiba tangan kanannya terulur menepuk pucuk kepala Zalea yang lebih mungil darinya.

"Kau sudah banyak bicara sekarang."

"Aku memang banyak bicara. Hanya saja, aku mengikuti caramu untuk diam."

Lyan kembali terkekeh. "Aku ingin menemui Kendric. Kau benar-benar ingin ikut?" Tangan kanannya kembali masuk ke dalam saku.

"Tak apa." Saat nama Kendric disebut, Zalea kembali teringat dengan tempi hari saat Kendric melukai temannya. Rasanya saat itu ia sangat ingin melenyapkan sosok yang entah mengapa sangat membenci keluarga Casia.

"Kendric pernah bercerita padaku beberapa tahun yang lalu. Saat pertama kali Kendric bergabung di akademi dan meninggalkan istri-anaknya."

Zalea terdiam. Perjalanan mereka ke sebuah ruangan diiringi dengan cerita masa lalu Kendric.

"Lalu?"

"Dia mengaku bahwa dia tak mempercayai keluarga Casia. Sebab, hari itu ada seorang penyihir yang mati terbunuh dan di sana ... Kendric melihat sosok berambut pirang. Kendric beranggapan bahwa sosok itu adalah salah satu keturunan Casia."

"Tapi bukankah ada tiga marga dengan keturunan rambut pirang?" sangkal Zalea tak terima dengan tuduhan Kendric.

"Entahlah. Kita sudahi cerita ini karena dia sudah ada di depan kita."

Tampak sosok lelaki berdiri di ambang pintu sembari menatap ke sebuah arah dengan kosong. Sepertinya tengah ada yang ia pikirkan dimana tak ada seorangpun yang tahu.

"Ken," sapa Lyan membuyarkan lamunan sosok itu. "Ada yang ingin kulaporkan padamu."

"Ya, apa?" tanya Kendric datar. Sosok itu melirik Zalea sekilas dan kembali fokua menatap Lyan.

"Ada seorang siswa di kelasku yang sangat ingin belajar tentang racun, dia pengguna sihir air."

"Lalu?"

"Tentu saja kau tau maksudku."

"Aku sudah tak menerima siswa lagi."

Lyan mengangguk pelan. "Baiklah. Aku akan menghubungi Karin saja."

"Kau ..." Kendric menatap Zalea yang terus membuang mukanya. "Hei, kau." Lagi-lagi Zalea tak mempedulikan ucapan Kendric. Hingga akhirnya Lyan menyenggol bahu gadis itu.

"Eum?" Zalea menaikkan alisnya menatap Lyan heran.

Lyan hanya menunjuk Kendric dengan dagunya. Menginterupsi Zalea untuk menatap sosok yang berdiri di depan mereka.

Kedua netra Aquamarine itu pun beralih menatap Kendric. "Ya?"

"Ada yang ingin kubicarakan denganmu."

Zalea menatap Lyan penuh arti.

▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️

Di bawah langit biru, kesunyian merebak luas. Tak ada satupun burung yang lewat. Mungkin para burung tengah mengistirahatkan sayapnya agar mampu terkepak dengan indah.

Kini Zalea tengah duduk berdampingan dengan Kendric di salah satu bangku lapangan gedung Emerald. Beberapa menit berlalu dan mereka hanya saling diam seolah tak ada niatan untuk mengucapkan apa yang ada di pikiran. Padahal Kendric mengajak Zalea untum membicarakan sesuatu, namun rasanya sosok itu masih ragu untuk mengatakannya.

"Sudah sepuluh menit, apa yang ingin kau katakan padaku, Couch?" Untuk pertama kalinya Zalea memanggil Kendric dengan sebutan 'pelatih' setelah tempo hari mengatakan jika sosok itu tak pantas disebut sebagai seorang pelatih. Sebab, Kendric sudah melukai anak bimbingannya sendiri.

"Aku ingin kau tahu akan satu hal." Akhirnya Kendric pun mengucapkan sebuah kalimat.

"Tentang apa?"

"Tentang mengapa aku tak mempercayai kesetiaan para Casia."

Hembusan angin yang terasa gersang membuat suasana di antara mereka semakin menegang.

"Mengapa?" Meski Lyan sudah sempat menceritakannya, namun Zalea tetap ingin mendengarnya secara langsung dari sosok yang bersangkutan.

"Beberapa belas tahun yang lalu, aku memiliki seorang anak laki-laki. Waktu itu dia masih berumur tiga belas tahun tapi sudah mampu menguasai tiga elemen sihir. Air, angin, dan api. Semua sihirnya terkandung racun. Hingga ia sulit mengendalikan sihir dan akhirnya kumasukkan ke akademi ini."

Zalea terdiam mendengarkan cerita itu dengan seksama. Ia yakin, anak lelaki yang sedang menjadi tokoh utama dalam cerita Kendric adalah alasan sosok itu membenci keluarga Casia.

"Belum ada sebulan, anak lelakiku ditemukan tewas. Ada yang melihat, terakhir kali anak lelakiku bersama dengan seseorang berambut pirang. Kebetulan, saat anak lelakiku meninggal, sosok berambut pirang itu juga menghilang entah ke mana. Jadi, semua berasumsi bahwa sosok berambut pirang itulah yang telah membunuh anak lelakiku."

"Karena itu kau meragukan kesetiaan para Casia?" tanya Zalea sedikit kecewa. "Padahal kau belum tahu pasti jika si pirang itu adalah Casia dan membunuh anakmu?"

"Tapi ada saksi yang mengatakan jika si pirang itu adalah salah satu keturunan Casia."

▪️▪️▪️▪️▪️▪️

Jemari lentiknya mengusap lembut pipi seorang gadis yang kembali tertidur. Sosok yang tengah berbaring di sebuah peti dengan sihir pengikat itu tampak masih sangat cantik meski memiliki sebuah kecacatan fisik. Kedua kakinya tak mampu digerakkan sejak kecil dan tubuhnya sangat lemah, sangat berbeda dengan saudarinya.

"Gretha terlalu naif. Seharusnya saat kau lahir, dia langsung saja mengambil inti murni yang ada dalam tubuhmu. Ketakutannya karena kehilanganmu justru membuatnya menderita melihatmu seperti ini."

Sosok berambut pirang itu tersenyum miris. "Kau sungguh tampak menyedihkan. Tapi terima kasih karena kau akan memberiku keindahan." Ia pun beralih mendekati seseorang yang duduk di kursi kebesaran dengan melenggak-lenggokkan tubuhnya yang ramping terbalut dengan pakaian formal. "Supermoon masih terlalu lama. Kau yakin ingin menunggunya?" Sosok berambut pirang itu terdengar mendayu-dayu seperti merayu.

"Aku heran denganmu, kenapa kau sangat tidak sabar?"

Sosok bernetra hijau Emerald itu tersenyum miring. "Karena aku sangat membenci keturunan Casia."

▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️

Zalea menatap langit. Sudah beberapa menit lalu Kendric meninggalkannya. Percakapan mereka harus terputus karena Kendric harus melakukan penyucian bersama dengan Klein dan Gerd. Percakapan mereka harus disambung lain hari meski sebenarnya Zalea masih sangat penasaran siapa sosok Casia yang dimaksud. Sudah pasti Kendric mengetahui nama depan si Casia itu. Hanya saja, waktu belum mentakdirkan dia mengetahuinya.

"Sedang melamunkan apa?"

Seseorang mengagetkannya. Suara yang sangat ia kenali itu membuatnya menoleh. "Nona Ed? Sudah lama kita tak berbincang."

"Aku melihatmu bersama Kendric."

Zalea mengangguk. "Dia menceritakan tentang alasannya membenciku—ah—membenci para Casia."

Sosok itu—Edrea—hanya terdiam. Sebenarnya ia tahu alasan Kendric tak terlalu menyukai para Casia hingga meragukan kesetiaan para Casia. Namun, sebenarnya Kendric hampir mempercayai Casia semenjak dia mengenal Gretha. Hanya saja, sihir hitam yang ada dalam tubuh Zalea lah yang membuatnya kembali ragu jika Zalea mampu menguasai kesetiaan Gretha.

"Apa yang dia katakan?" tanya Edrea berpura-pura tak mengetahui kenyataan.

"Siapa keturunan Casia yang sempat berada di akademi ini selain aku, Nona?" Tanpa basa-basi dan menjawab pertanyaan Edrea, Zalea menanyakan sesuatu yang terus menggantung di pikiran. Meski Edrea melempar pertanyaan yang harus ia jawab, namun ia sudah yakin jika Edrea pasti mengetahuinya.

"Ah, dia. Kau tak perlu tahu siapa namanya. Tapi ... dia memang keturunan Casia."

Ia tak ingin mendengar kebenaran ini. Ia tak ingin mempercayai jika salah satu keturunan Casia pernah mengingkari sebuah kesetiaan. Apalagi sampai membunuh sesama penyihir. Rasanya sangat mustahil. Keturunan Casia merupakan keturunan yang suci. Tapi, keadaan memberi kenyataan yang pahit.

"Jadi, apa benar keturunan Casia yang membunuh anak lelaki Kendric?"

"Anak lelaki Kendric?"

"Kendric menceritakannya padaku seperti itu."

Edrea terdiam sejenak. "Ah, Kendric ternyata lebih terbuka denganmu. Dia hanya bercerita jika ia pernah melihat keturunan Casia membunuh seseorang."

"Apa dia ada hubungannya dengan ibuku? Mengapa dia membunuh anak lelaki Kendric?" Zalea mencecar pertanyaan untuk Edrea.

"Motif penyerangan itu masih belum kami ketahui secara pasti. Hanya saja, kupikir dia membunuh anak lelaki Kendric karena iri. Javas—anak lelaki Kendric—sudah menguasai tiga elemen sihir sejak ia berumur tiga belas tahun. Di akademi, ia mampu menyelesaikan seleksi lanjutan dan akhirnya naik ke tingkat satu. Hanya saja, dia ... merupakan pengguna sihir pemusnah. Karena ia iri dengan segala pujian yang didapatkan oleh Javas, kurasa dia nekat menggunakan sihir pemusnah untuk melenyapkan Javas. Jasad Javas pun ditemukan tanpa raga. Hanya ada bekas darah dan potongan daging karena sihir pemusnah itu menghancurkannya hingga berkeping-keping."

Zalea bergidik ngeri saat membayangkan kalimat terakhir Edrea. "Lalu, apakah si Casia itu sudah dihukum mati sekarang?"

"Entahlah. Setelah kematian Javas, kami kehilangan jejak si Casia itu. Kami menganggap bahwa dia sudah mati karena menggunakan sihir pemusnahnya secara brutal."

"Nona Ed, tapi kau mempercayaiku, kan?" Tiba-tiba saja Zalea menatap Edrea penuh rasa bersalah. Karena sikap salah satu keturunan Casia membuat kesalahan yang amat besar hingga sulit termaafkan hingga sekarang.

Wanita berumur sekitar tiga puluhan itu mengulas senyuman. "Aku sangat percaya padamu."

"Aku harap Kendric juga segera percaya padaku."

"Kendric hanya mengkhawatirkan para siswa akademi. Dia sempat menolak saat aku mendaftarkanmu sebagai siswa terpilih di seleksi lanjutan. Namun, dia meminta satu hal padaku untuk menguji kesetiaanmu. Ternyata, dia melakukan hal yang cukup fatal. Untuk saja sihir hitam yang ada di dalam energimu aktif dengan baik di luar akademi. Jika tidak, mungkin kau sudah lumpuh saat itu juga."

"Lumpuh karena terkena serangan Kendric?" Zalea mengerutkan dahinya heran.

Edrea terdiam sejenak. Ternyata masih banyak penjelasan tentang Kendric yang belum Zalea tahu. "Aku akan menjelaskannya satu persatu. Mulai dari sihir hitammu yang aktif dengan baik jika berada di daerah dengan hawa negatif yang kuat. Saat kau berada di sekitar warga dengan hawa negatif yang cukup kuat, maka energi sihir hitam yang ada di tubuhmu akan berfungsi dengan kuat pula. Jika kau terluka dan beracun, luka racun itu akan melambat. Racun itu takkan menyebar dengan cepat seperti metabolisme tubuh manusia pada umumnya. Lalu, jika kau bertanya mengapa sihir hitammu cukup lemah saat berada di sekitar akademi, karena akademi sangat meminimalisir hawa negatif yang tercipta.

Kedua, tentang sihir api milik Kendric. Sihirnya sangat unik. Terdapat racun di setiap kobarannya. Saat kau terluka, kau pasti merasakan masih ada rasa nyeri. Itu adah efek ringan dari sihir api milik Kendric. Beruntung sambaran itu mengenaimu karena sihir hitammu menjadi penangkal racun yang cekatan. Jika mengenai Mel atau Charlotte, sudah pasti mereka akan jatuh lumpuh saat itu juga."

"Tapi, Charlotte sempat terluka karena serangan dari Kendric. Kenapa dia masih tetap bertahan?" Zalea mengernyit saat mengingat bahwa saat itu Charlotte tetap mampu menahan luka walaupun sudah berdarah begitu deras.

"Semua membutuhkan yang namanya proses. Begitupun dengan racun yang ada di dalam sihir api milik Kendric. Jika kau datang sedikit terlambat dan Mel tidak cekatan mengeluarkan sihir penyembuhnya, Charlotte sudah pasti akan lumpuh. Selain dari itu, aku sengaja mengarahkan kalian ke rumah batu Ametyhs milik Karin. Selain karena Karin adalah seorang farmasis, ramuan pereda nyerinya juga mengandung anti racun. Setelah meminum ramuan itulah tubuh kalian terasa lebih ringan meski telah mendapat serangan dari Kendric. Ah, aku juga lupa meminta maaf padamu atas sikapnya. Tapi tenang saja, Kendric takkan melukaimu lagi. Dia tengah menjalani penyucian untuk kedua kalinya agar hatinya terhindar dari hawa negatif."

Setelah mendengar segala fakta, Zalea tersenyum lega. Ia merasa Edrea merencanakan semua dengan baik. Ia tak ingin menyakiti hati Kendric karena terang-terangan melindunginya namun Edrea juga tak membiarkan dirinya terluka karena ulah Kendric yang dikuasai oleh hawa nafsu.

"Nona Ed, terima kasih karena kau telah melindungiku." Tangan lembutnya menggengam lembut tangan Edrea. Menyalurkan rasa terima kasih untuk perlindungan yang telah ia dapatkan. Selain itu, ia merasakan ketulusan Edrea seperti rasa sayang Gretha padanya.

Edrea mengulas sebuah senyuman. "Tak perlu berterima kasih. Karena suatu saat, kami yang akan berterima kasih padamu."

"Untuk?"

Setelah tangannya menepuk tangan Zalea yang masih menggenggam tangannya. "Untuk pengorbanan yang telah kau lakukan untuk kami."

▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️

"Hazel," panggil seseorang dengan pakaian rapi yang duduk di sebuah kursi kebesaran.

"Ya, Tuan?" jawab sosok berambut pirang yang duduk bersilang kaki di sebuah sofa. Dia tampak sangat santai. Berbeda dengan seorang lelaki yang memakai seragam seperti pelayan di sudur ruangan. Lelaki itu tampak sangat pucat karena ketakutan.

"Pergilah dan habisi dia."

Gadis bernama Hazel dengan netra hijau Emerald itu tersenyum miring. "Kau yakin?"

"Mengapa aku harus ragu?"

Ia pun bangkit dari duduk. Membungkuk sekilas lalu tersenyum penuh arti. "Akan kulakukan demi setetes darah meski harus melenyapkan anggota marga-ku sendiri. Keturunan para Casia."

▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️

Zalea and the Cassio AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang