Chapter 4

43.3K 3.6K 229
                                    


Chap 4

-Ada kalanya nasih buruk seseorang menjadi pintu orang lain menuju harapan selanjutnya-

▪️▪️▪️▪️▪️▪️

Zalea terdiam. Mengerjapkan mata beberapa kali dan tampak gelisah. Sebenarnya ia hanya menargetkan satu misi. Penyelamatan Agetha. Ya, hanya itu. Meski beberapa kejadian telah menghambatnya, ia hanya tetap memaku satu misi tanpa ingin mengubahnya.

"Bagaimana? Apa kau setuju?" Edrea menarget Zalea sebagai titik pusatnya. Namun, gadis itu masih setia dalam diam.

Zalea sadar. Edrea dan kedua lelaki yang berada di sana adalah penyelamat baginya. Tanpa kehadiran mereka, mungkin sekarang ia sudah tak mampu menghirup oksigen kembali. Hanya saja, ia pikir akan sangat membuang waktu jika harus bergabung dengan sebuah akademi yang bahkan belum genap dua hari ia kenali.

"Ah, kau tak perlu tergesa-gesa untuk menjawabnya. Malam ini, kau bisa beristirahat di sini dan besok ... kau bisa memberiku jawaban."

Zalea menatap Edrea dengan kosong. Ia ingin menolak meski ada sedikit keraguan. Sedangkan Edrea masih setia memaku tatap pada sosok gadis berambut pirang dengan netra Aquamarine yang tampak mengagumkan itu.

"Kurasa kau harus mempertimbangkan tawaran ini. Kalau kau benar-benar ingin menyelamatkan kakak kembarmu itu, seharusnya kau tahu apa yang harus kau putuskan," timpal Klein dengan tampang wibawa yang entah sejak kapan ia dapatkan.

"Emh, baiklah. Aku akan memikirkannya matang-matang."

"Lyan," panggil Edrea pada seorang lelaki bertubuh jangkung nan menawan. "Bisa kau antar Zalea ke tempat istirahat yang sudah kusiapkan?"

"Kenapa harus aku?"

Edrea tersenyum mendengar pertanyaan itu. Tak ada jawaban berupa kata-kata. Hanya sorotan mata yang menyiratkan sebuah tanda. Lyan mendengus pelan dibuatnya. Ia pun mengangguk dan langsung melempar perhatiannya pada Zalea.

"Ikuti aku."

▪️▪️▪️▪️▪️▪️

Setelah keluar dari ruang pertemuan, Zalea mengekori seorang lelaki yang bernotabene sebagai sang penyelamat nyawanya. Mungkin ia memang menganggap aksi penyelamatan itu adalah sebagai hutang budi. Namun, tampak terlihat jelas jika Lyan bukanlah tipe orang yang menerima balas budi atas hal yang ia lakukan kepada orang lain. Nyatanya, hingga detik ini Lyan masih tetap kaku dan seolah tak ingin mempersempit hubungan antara mereka.

Zalea berdeham pelan. Langkah kakinya berusaha menyamai langkah lebar milik Lyan. Meski sedikit kesusahan karena tinggi tubuh yang terpaut cukup jauh. Namun, Zalea tetap keras kepala ingin berjalan berdampingan dengan Lyan.

Lyan memiliki postur tubuh ideal dengan tinggi kira-kira seratus delapan puluh. Rambut hitam legam dan hidung runcing dengan bibir tipis. Ketampanannya bisa dikatakan masuk dalam ketegori 'Nyaris Sempurna' hanya saja sikapnya yang sedingin es seperti elemen yang ia kuasai juga telah mendarah-daging dalam diri.

"Kenapa terburu? Apa kau merasa tak nyaman jika harus mengantarku?" Akhirnya pertanyaan itu lolos dari genggaman orofaring. Matanya melirik dan terpaku pada sosok yang terus fokus ke depan tanpa berniat membalas tatapan sang gadis.

"Tidak."

Suasana hening sesaat. Zalea yakin jika Lyan pasti juga tengah memikirkan sesuatu. Sosok itu memang terlihat sulit ditebak. Hingga akhirnya, Zalea berniat kembali menyerukan pikirannya.

"Lyan, aku pikir, kau bisa memberiku alasan mengapa aku harus menerima tawaran atau menolaknya." Zalea kembali menatap lurus ke depan. Menatap setiap pilar yang menjadi penyangga lorong gedung.

Zalea and the Cassio AcademyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang