BAB 3

345 45 0
                                    

Kehamilan Miku sudah sampai di bulan akhir kehamilan. Perut Miku sudah sangat membesar. Terlihat lucu penampilan Miku dengan perut besar mengingat tubuh Miku saja terbilang kecil.

Namun meskipun demikian tidak ada yang benar-benar berubah. Miku tetap hidup santai walaupun harus terengah-engah setiap mau melakukan sesuatu. Dan Boran yang tetap dengan overthinkingnya.

Ya tapi setidaknya kedua manusia itu semakin memiliki hubungan yang sangat baik.

"Mik! Udah aku bilang 'kan hati-hati!" teriak Boran ketika dia melihat Miku yang terpeleset di kamar mandi. Dia panik! Terlebih lagi Miku yang berteriak kesakitan sembari memegang perutnya.

Inilah pertama kalinya Boran melihat Miku menangis selama kehamilan. "Mik! Jangan nangis! Jangan panik! Tarik napas buang napas, pelan-pelan, Mik!"

Sepertinya overthinking Boran kambuh.

"Or–tu ... ku. Huh ... hah ... huh ... "

Boran berusaha menggenggam ponselnya dengan erat. Panik! Dia panik! Bahkan dia juga ikutan menangis! Tangannya gemetar. Dia takut melihat keadaan Miku. Takut keadaan Ibunya juga terjadi kepada Miku.

"O–m ... "

"Iya, Nak?"

Mickhael tidak mendapatkan jawaban. Tapi dia mendengar suara tangisan. Sepertinya dia tahu apa yang terjadi.

"Tunggu Om. Oke? Kalian jangan panik. Jangan matikan telponnya."

Boran mengangguk. Kemudian kembali fokus kepada Miku yang sudah terlihat akan pingsan. Para penjaga keamaan sudah datang dan dengan sigap membawa tubuh Miku ke rumah sakit seperti perintah Mikchael.

Di dalam mobil, Boran tidak pernah melepaskan genggaman tangannya dengan tangan Miku sedetik pun. Dia menyemangati Miku untuk tetap sadar seperti perkataan Dokter dari telepon.

"Jangan sampai pasien pingsan."

Boran semakin panik. Semakin kencang menangis. Dia tidak tahu harus bagaimana lagi.

"Mi–Miku! Kalau kamu tutup mata nanti ... nanti kamu mati! Jangan, Miku!"

Miku yang paham dengan kondisinya yang tidak bisa dia tangani dengan perkataan santai seperti biasanya. "Ya udah sih biarin." Kalau sampai dia berkata seperti itu sekarang mungkin saja nyawanya melayang di tangan Boran.

Jadi dengan kekuatan akan ketakutan nyawa melayang di tangan Boran, Miku juga berusaha untuk tetap sadar meskipun rasanya mau mati. Dan untungnya dia berhasil. Sekarang dia sudah dalam penanganan Dokter. Kemungkinan dia akan melakukan operasi melahirkan.

Ughh. Dia tidak tahu kalau mau melahirkan akan mengalami hal-hal yang sulit terlebih dahulu. Andai dia tahu lebih awal mungkin dia sudah meminta orang tuanya untuk menempatkannya di rumah sakit sebulan sebelum akhir bulan kehamilan.

Boran dan orang tua Miku menunggu dengan panik di luar ruangan operasi. Ah tidak, hanya Boran saja yang panik. Kedua orang tua Miku terlihat biasa saja. Santai.

Boran semakin pusing.

Mikchael tertawa pelan melihat raut panik Boran. Dia rangkul Boran dan mengusap rambut teman anaknya ini.

"Jangan terlalu khawatir. Miku udah di tangan yang benar. Teman kamu itu akan baik-baik aja."

Boran tidak menyahut. Mau apa pun yang dikatakan kepadanya dia tetap tidak akan bisa tenang sebelum melihat hasil akhir.

"Kamu tahu enggak kenapa sampai sekarang ini Om enggak mencari pemerkosa Miku?"

Pikiran Boran yang awalnya berisi overthingking tentang keadaan Miku, kini teralihkan dengan perkataan Mickhael.

"Karena Om enggak mau repot?" tanyanya dengan terisak pelan. Pasangan paruh baya itu tertawa.

"Itu satu."

"Ada lagi?"

"Kamu tahu enggak arti tanggung jawab?"

Boran mengerutkan alisnya. Ayah Miku ini bukannya memberikan jawaban malahan pertanyaan.

"Tanggung jawab itu kayak memenuhi kewajiban?"

Mickhael mengangguk-angguk. "Sedikit benar. Tapi, Nak. Kamu tahu bertanggung jawab itu bukan hanya sebatas memenuhi kewajiban. Tapi memenuhi kewajiban dengan kesadaran diri. Dengan ketulusan hati. Kalau hanya sebatas memenuhi kewajiban artinya bukan bertanggung jawab."

Boran terdiam. Dia sepertinya tahu kemana arah pembicaraan mereka ini. "Itu makanya Om enggak mau cari-cari pemerkosa Miku karena kalau dapat pemerkosa Miku cuma memenuhi kewajiban tanpa kesadaran diri?"

Rambut Boran kembali diusak-usak. "Pinternya. Hm. Bisa aja sekarang ini misalnya Om minta dia tanggung jawab dan dia tanggung jawab. Dia nikahin Miku tapi karena terpaksa. Dan Miku yang bakalan menderita. Om mana mau anak Om menderita."

Boran tersenyum puas mendengar perkataan Mickhael. Benar! Tanggung jawab tanpa kesadaran diri itu sama dengan kebohongan. Dia akhirnya tercerahkan kenapa selama ini orang tua Miku tidak terbawa emosi.

Ah Boran, sebenarnya orang tua mana yang tidak akan emosi jika anaknya mejadi korban pemerkosaan? Hanya saja orang tua Miku memiliki pemikiran terbuka, yang berbanding terbalik dengan pemikiran dari orang tua-orang tua yang memaksa pelaku menikahi korban dan tidak memikirkan tekanan apa yang akan diterima korban.

Ponsel Mickhael berdering. Dia tersenyum kepada Boran dan beranjak dari duduknya. "Aku akan keluar sebentar. Kamu jaga anak-anak," katanya pada istrinya. Syaina mengerti dan menggangguk.

Mickael berjalan ke arah parkiran rumah sakit. Dia memasuki mobilnya dan kemudian kembali menghubungi nomor yang tadi menghubunginya.

"Katakan."

"Seperti yang sudah Anda katakan, Bos. Kami sudah melakukannya. Saat ini dalam pengiriman."

"Kalian sudah bekerja keras. Setelah semua selesai kembalilah."

"Baik, Bos."

Panggilan diakhiri. Senyumnya terbit dan Mickhael tertawa pelan. "Ah aku lupa memberitahukan kepada Boran kalau bajingan itu tidak perlu bertanggung jawab karena nyawanya sudah hilang."

Tawanya kembali terdengar. Dia mengingat kembali bagaimana selama kehamilan Miku, pelaku pemerkosaan anaknya itu mengalami penyiksaan dan berakhir ketika Miku melahirkan. Berakhir ... menuju kematian.

"Itulah yang pantas didapatkan oleh bajingan."

•••••
TBC

TO RETURNTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang