First Meeting

741 48 2
                                    

Jeevans POV

Dinginnya angin malam di kota M membuat Jeevans merapatkan jaketnya. Ia paling tidak suka dengan suhu dingin, namun demi temannya ia rela mengikuti pesta melepas bujang. Meskipun dengan perasaan campur aduk karena ia tak terbiasa dengan pernikahan sesama jenis, ia hanya ingin bersikap selayaknya seorang sahabat yang baik. Elang adalah orang pertama yang menyapanya kala ia sedang kesusahan menjalankan ospek di fakultas Ilmu Budaya.

Ding dong...

Jeevans memencet bel apartemen milik Elang. Ia celingukan ke kanan dan ke kiri guna memastikan bahwa ia berada di tempat yang tepat. Jujur saja, selama tiga tahun bersahabat dengan Elang, ia tidak pernah pergi ke apartemen sahabatnya itu.

Cklek...

"Jeevans! Finally you are here! (akhirnya kamu datang!)" Elang membuka pintu apartemennya dan menyapanya dengan wajah yang sumringah. Jeevans tersenyum. Kedua matanya tenggelam membentuk bulan sabit yang sangat cantik. Ia pun dipersilahkan masuk dengan mengatakan bahwa kedua teman lainnya sudah berada di sana sejak jam 6 sore. Satu jam lebih awal daripada jam yang sudah ditentukan oleh Elang untuk melaksanakan pestanya.

"Jivaa lagi asik ngobrol sama temen sekolah gue. Kalo Rendra lagi telponan sama pacarnya. Lo bisa gabung sama Jivaa atau duduk sendiri dulu. Nanti gue samperin." Jelas Elang sembari membawa Jeevans untuk duduk di sofa yang tak jauh dari tempat Jivaa berada.

Ia melihat Jivaa yang sepertinya menemukan orang yang satu vibe dengannya. Ia melihat bagaimana Jivaa yang mengobrol dengan heboh sembari menunjukkan ponselnya pada kedua orang asing baginya. Yang satunya berambut panjang dan terlihat seperti bule. Mungkin turunan Eropa? Jeevans akan berkenalan dengannya setelah ia beristirahat sejenak.

Ah—yang satunya memiliki wajah yang bulat. Bibirnya juga monyong-monyong saat berbicara. Seperti bagaimana Jivaa berbicara. Ia hanya tersenyum memperhatikan ketiga orang itu berbicara. Rasa lelah yang dirasakannya sebelum sampai di apartemen Elang pun melenyap, walau tak sepenuhnya.

"Prince Jeevans." Bisik Elang yang membuat Jeevans tersentak. Ia mengelus dadanya dan memandang sahabatnya seolah bertanya ada apa. Elang merangkul bahunya dan mengatakan padanya kalau ada kenalannya yang merupakan pangeran juga. Tapi belum datang, nanti Jeevans akan dikenalkan padanya.

"Seriously, El." Seru Jeevans tak percaya dengan lingkaran pertemanan Elang yang keren. Ia tersenyum tipis. Pasti pangeran kenalan Elang itu juga sama sepertinya, terpesona akan sifat supelnya Elang.

Tak berapa lama kemudian, beberapa rombongan mulai berdatangan. Jeevans merasa sesak. Ia pun pergi ke kamar mandi guna menikmati waktu sendirinya terlebih dahulu. Ia membasuh wajahnya dan menepuk pelan kedua pipinya. Tugas di semester ini membuatnya terlihat kelelahan. Padahal ia belum bertemu dengan Proposal dan Seminar Proposal, tapi rasanya sudah sangat melelahkan.

Cklek...

"Sorry, gue kira ngga ada orang." Jeevans cukup terkejut dengan suara yang lembut dan menawan itu. Ia mengangguk canggung tanpa mengeluarkan sepatah kata pun. Ia hanya mempersilahkan pemuda itu menggunakan kamar mandinya Elang bersamanya.

Pemuda itu membasuh mukanya juga, dan Jeevans selalu memperhatikannya. Seolah ia mengenali wajah tampan itu. Seolah Jeevans terbiasa melihat tatapan tajam nan lembut dari kedua mata besar itu. Seolah Jeevans mengenalinya, namun di mana?

"Gue boleh minta tisunya?" Suaranya terdengar kelelahan. Mungkin seumuran dengannya atau seumuran Elang, mengingat Elang lebih tua dua tahun darinya. Jeevans pun memberikan tisu dan pamit untuk keluar terlebih dahulu. Rasanya tak sopan memperhatikan seseorang seperti itu.

Sebenarnya bukan salah Jeevans sepenuhnya, wajah menawan itu sungguh mempesona. Semua orang pasti berhenti sejenak untuk mengaguminya.

"Jeevans!" Panggil Jivaa dan menghampirinya. Menariknya guna diseret ke sofa tempat sahabatnya itu duduk. Kedua teman sekolah Elang pun dikenalkan padanya. Pemuda berwajah bule itu bernama Faras dan pemuda satunya bernama Sean. Dan secara terang-terangan, keduanya mengakui kalau mereka berdua itu gay.

Kepala Jeevans pusing, entah karena fakta orang jaman sekarang terlalu frontal dengan seksualitasnya atau karena musik disko yang sudah dinyalakan oleh Elang.

"Lo pusing ya? Ambil minuman dulu sana!" Usir Jivaa. Padahal tadinya sahabat dengan pipi tembam itulah yang menyeretnya ke sana. Ia pun pamit pergi dengan berdalih mau mengambil minuman.

;

Jeevans menyandarkan kedua tangannya pada pagar balkoni. Ia menghela napas panjang. Memikirkan betapa tak cocoknya ia dengan pesta seramai itu. Alasan mengapa ia tak bisa mengikuti pesta yang selalu diadakan oleh kerajaannya atau kerajaan lainnya.

Ia mendongak, menatap hamparan bintang yang terlihat sangat cantik. Seperti berlian yang menghiasi kanvas berwarna biru tua. Dengan sentuhan bulan purnama yang sangat cantik. Bersinar menemani bintang.

"Oh, hai." Jeevans terkejut, ia menoleh ke belakang dan mendapati pemuda yang di kamar mandi tadi. Kedua matanya terbelalak kala melihat pemuda itu terlihat lebih rapi. Maksudnya, tadi ada kumis tipis di wajahnya. Sekarang sudah bersih. Ah—pemuda itu ke kamar mandi guna mencukur kumisnya. Pemuda itu terlihat semakin menawan.

"Sorry, gue kira ngga ada yang keluar." Pemuda itu meminta maaf dan hendak kembali ke dalam. Jeevans kelabakan. Ia mengatakan pemuda itu bisa menikmati angin malam dan bintang-bintang bersamanya. Balkoni itu tak ada tulisan sudah disewa. Demi Tuhan, suara Jeevans terdengar sangat gugup dan kata-katanya berantakan.

"Thanks." Jeevans tersenyum tipis kala pemuda itu berdiri di sebelahnya. Mendongak sembari menutup kedua matanya. Menikmati sejuknya angin malam dan keheningan di luar sana.

"Senang berjumpa dengan anda, pangeran Jeevans." Gumam pemuda itu. Jeevans terkejut dan memandang pemuda di sebelahnya itu. Bagaimana pemuda itu bisa mengenalinya yang berstatus pangeran? Apakah Elang mengatakan kepada semua orang kalau ia berteman dengan seorang pangeran? Ah, pasti tidak.

"Bagaimana keadaan pangeran Yao? Apa dia sudah menjadi ayah?" Jeevans mundur beberapa langkah. Pemuda itu sungguh mengerikan. Tidak hanya mengenalinya, namun juga mengenali kakak kandungnya. Eh? Apakah pemuda itu juga seorang pangeran?

Pemuda itu membuka kedua matanya dan menoleh ke arahnya. Ia tersenyum seolah meminta maaf. Jeevans masih mengernyitkan keningnya takut pada pemuda itu.

"Mavendra Saputra. Pangeran Mavendra Saputra dari kerajaan Barat."

—k. mala

Erlebnisse: KamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang