Famous Prince

178 23 0
                                    

Jeevans POV
Hari ini kelas Jeevans berakhir lebih lama daripada biasanya. Profesor sedang asyik bercerita mengenai jurnal yang berhasil ia terbitkan di salah satu website jurnal ternama. Menceritakan prosesnya dengan jatuh bangunnya berusaha seorang diri. Jeevans begitu menyukainya, apalagi ini membahas tentang topik yang digemarinya, namun, Jeevans juga sudah tak sabar guna bertemu dengan pangeran Mavendra. Ia tidak pernah terlambat selama ini.

Jivaa bahkan sudah ketiduran di tengah jalan cerita, seolah-olah ia sedang dibacakan dongeng. Rendra yang sibuk dengan ponselnya—sepertinya meminta maaf pada pacarnya karena kelas berakhir lebih lama. Jeevans menghela napasnya dengan pelan.

Kalau saja ponsel profesornya itu tidak berbunyi, sepertinya sampai jam makan siang berakhir pun cerita mengenai jurnal itu akan terus berlanjut hingga sore hari. Semua mahasiswa bersorak kesenangan karena mereka sudah kelaparan. Jeevans buru-buru membereskan barang-barangnya.

"Ji, ayo buruan ke kantin!" Rendra membangunkan Jivaa. Jeevans ingin meminta izin kepada mereka untuk pergi ke kantin terlebih dahulu, namun niatnya dihalangi oleh beberapa mahasiswi di kelasnya yang menghampirinya.

"Je, lo kenal mahasiswa yang dari fakultas bisnis itu kan? Yang sering makan siang bareng lo itu." Jeevans menatap gadis bersurai panjang berwarna cokelat tua. Senyumnya manis, walau lipstick yang digunakan terlalu mencolok untuknya.

"Je, kenalin ke kita-kita dong! Gue coba ngeDM dia di Twitter tapi ngga dibales tau." Ada lagi yang bertanya. Kali ini gadis berambut pendek sebahu. Wajahnya selalu ceria dan pipinya selalu merona.

"Atau, seenggaknya lo ngejawab pertanyaan penting ini. Dia udah punya pacar belom?" Kali ini Jeevans berpikir. Ia bahkan tak memperhatikan siapa yang bertanya mengenai informasi privasi itu. Bahkan Jeevans tak pernah membahas topik hal ini dengan pangeran Mavendra. Kalaupun misalnya pernah membahasnya, pasti pangeran Mavendra sudah memiliki seorang putri yang menjadi tambatan hatinya. Eh, tapi apakah iya?

Jeevans tersentak kala lengannya ditarik oleh Elang yang masuk ke kelas itu. Elang mengusir para mahasiswi itu dengan sedikit kasar. Kalau tidak begitu, Jeevans akan merasa sesak dan itu sangat menyakitinya. Jeevans mengucapkan terimakasih padanya.

"Mavendra udah nungguin lo. Ji, Ren, ayo sekalian. Suami gue yang traktir!" Teriak Elang dengan penuh semangat. Jeevans tertawa kecil. Elang selalu bersemangat untuk mengajaknya makan siang bersama sejak dahulu di setiap Elang tidak mengikuti kelas yang mereka ikuti. Elang selalu merindukan sahabat-sahabatnya.

;

Sesampainya di kantin, Jeevans merasa dejà vû akan pemandangan ramai itu. Ini bukan hal yang asing apabila ada mahasiswa dari fakultas lain yang datang guna sekedar makan siang di fakultas Ilmu Budaya. Terlebih yang datang adalah pangeran Mavendra dan teman-temannya yang merupakan anggota band UKM fakultas Ekonomi Bisnis.

Seharusnya ini bukan hal aneh. Seharusnya. Namun, entah mengapa ia merasa sangat sesak di dalam dadanya. Sepertinya ia sudah kelelahan berada di tempat yang sangat ramai ini. Rasanya ia ingin segera pulang ke asramanya dan tidur. Mungkin tidur lebih awal karena energi Jeevans terasa sudah terkuras habis.

"Woy, minggir! Kasihan orang lagi makan lo tanya-tanyain gitu." Teriak Elang dengan penuh emosi. Para mahasiswi itu menghiraukannya. Seolah Elang hanyalah para lelaki yang cemburu saja—karena tidak disukai oleh mereka. Elang pun menghampiri kerumunan itu dan memeluk Mars dari samping. Memandang pada mahasiswi itu dengan pandangan sinis. Ia mendeklarasikan bahwa Mars adalah suaminya yang sah seraya menunjukkan cincin di jari manis mereka.

Elang cemburu kalau ada yang mendekati suaminya.

Elang cemburu.

Cemburu.

Apa ia juga cemburu?

;

Beberapa hari terakhir, Jeevans melewatkan makan siangnya. Pangeran Mavendra tak mempermasalahkamnya karena Elang juga terlihat sibuk. Sebentar lagi ujian akhir semester akan berlangsung, dan para dosen memberikan tugas yang tak masuk akal. Di setiap mata kuliah, mereka harus membuat karya ilmiah berupa jurnal. Tidak harus dipublikasikan ke websitenya, hanya membuat seperti jurnal—di mana para mahasiswa jurusan Sastra itu harus melakukan penelitian kecil-kecilan agar tugasnya tersusun dengan baik.

Selain tugas akhir itu, Jeevans juga selalu dijemput pengawalnya, guna bertemu dengan kakandanya. Diajaknya Jeevans bertemu dengan beberapa menteri. Politik di kerajaan Jeevans sedikit kacau karena perbuatan paman William. Jeevans harus membersihkan namanya dengan meminum teh bersama para menteri itu.

Pusing.

Jeevans melenguh pelan karena tugasnya tak kunjung selesai. Surai hitamnya sudah berantakan karena beberapa kali ia mengacak-acak rambutnya sendiri. Perutnya berbunyi karena ia sudah melewatkan makan siang lagi hari ini. Namun, Jeevans juga terlalu malas guna memesan makanan secara online. Ia bisa melupakan apa yang akan ia tulis nantinya.

Lagi. Ia mengacak rambutnya lagi. Bibir bawahnya dimajukan, seolah merajuk kepada dosen yang sudah memberikan tugas-tugas itu.

Tok tok tok

Jeevans tersentak mendengar suara ketukan dari balik pintu kamarnya. Ia tidak sedang menerima tamu. Semua sahabatnya sibuk dengan tugasnya masing-masing. Apakah itu Jivaa yang memintanya untuk dibantu? Tapi biasanya Jivaa tak berani masuk ke dalam asrama—terlalu malas berdebat dengan sang penjaga asramanya. Lalu siapa?

"Pangeran, sorry kalo ganggu. Ini gue!" Jeevans mengenali suara itu. Suara pangeran Mavendra yang terdengar sangat lemah lembut. Jeevans pun beranjak dari meja belajarnya dan membukakan pintu untuk pangeran Mavendra. Dapat dilihatnya sosok pangeran itu dengan pakaian kasual yang rapi dengan sebuah bingkisan di tangannya.

Mencium aroma makanan yang enak, perut Jeevans kembali memberontak. Aduh, malunya bukan main. Ia menyentuh perutnya dengan tangan kirinya dan tangan kanannya mempersilahkan pangeran Mavendra untuk masuk ke dalam kamarnya.

"Maaf, kalau kamar saya berantakan, pangeran," Ucapnya dengan malu-malu. Kamar Jeevans selalu rapi dan bersih. Hari ini masih rapi dan bersih, hanya saja meja belajarnya sedikit berantakan dengan beberapa buku tebal yang dibuka.

"Makan dulu, nanti lanjut lagi kerjain tugasnya." Tukas pangeran Mavendra seraya mengusap kepalanya. Merapikan surai hitam Jeevans yang berantakan. Ia menunduk. Ia malu tapi ia tidak menolak sikap pangeran Mavendra padanya.

"Terimakasih, pangeran. Atas pengertiannya." Balasnya dengan tulus. Ia merasa detak jantungnya berpacu dengan sangat cepat.

"Sama-sama, pangeran Jeevans."

"—Oh iya, boleh minta nomer ponselnya? Hanya untuk kirim pesan saja."

"Um, boleh, pangeran."

—k. mala

Erlebnisse: KamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang