Family Dinner

194 26 0
                                    

Jeevans POV
Hari sudah berganti, Jeevans menunggu pangeran Mavendra menepati janjinya. Hari ini ia akan mencurahkan semuanya. Ia sudah berlatih untuk mengatakan alasan ia yang sedang gundah gulana hanya karena undangan makan malam keluarga. Jeevans sudah menyelesaikan tugas-tugasnya—bahkan membantu tugas-tugas ketiga sahabatnya. Ia tidak perlu mengkhawatirkan tugasnya selama bercerita ke pangeran Mavendra.

Jivaa sudah diseret Rendra dan Elang untuk pergi ke kantin, meninggalkan Jeevans yang sendirian di tempat parkir. Menunggu kedatangan pangeran Mavendra.

Lima belas menit yang lalu, Jeevans sudah menghubungi pangeran Mavendra. Namun, DM twitternya tak kunjung dibalas dan pangeran Mavendra juga tak kunjung tiba. Apa ada pertemuan penting lagi?

Sebuah mobil BMW berwarna hitam berhenti di depannya. Jeevans menghela napasnya dengan berat. Pengawalnya tiba lebih cepat. Ia sudah menduga hal ini, tapi menjemputnya di siang hari adalah kejutan yang tak terduga.

Pengawal itu membukakan pintu penumpang untuknya, Jeevans masuk dan melipat kedua tangannya. Merajuk seperti anak kecil.

"Yang Mulia Yao meminta saya untuk menjemput lebih awal, tuan." Ucap pengawalnya. Jeevans hanya berdeham pelan. Memijat pangkal hidungnya dengan pelan. Menegakkan posisi duduknya. Menurutnya, kakanda Yao memintanya untuk datang lebih awal—pasti ada hal yang ingin dibicarakan.

Ponsel Jeevans bergetar setelah mobilnya berjalan menjauh dari kampusnya.

mav sent you a message

;

"Menurut dokter, anaknya berjenis kelamin laki-laki. Bisa menjadi penerus di kemudian hari." Tukas Kakanda Yao saat Jeevans tiba di kamarnya. Sebuah informasi yang bisa dikatakan lewat ponsel saja. Membuat Jeevans membatalkan janji makan siangnya dengan pangeran Mavendra di saat-saat terakhir.

Tapi mau bagaimana lagi, Jeevans lebih menghormati kakandanya daripada pangeran Mavendra yang baru dikenalnya beberapa hari ini.

"Paman William sudah datang." Ucapan kakanda Yao membuat Jeevans yang hendak mengambil makanan ringan di meja pun terhenti. Deguban jantungnya berpacu dengan cepat. Tiap detiknya berdegub makin kencang, hingga rasanya ia seperti kehabisan oksigen.

Puncak kepalanya diusap dengan lembut oleh kakanda Yao. Tersenyum teduh guna menenangkannya. Jeevans hampir menangis. Ingatan-ingatan buruk datang menghampirinya. Ia tak sanggup untuk mengikuti makan malam keluarga ini. Tapi ia juga tak punya alasan untuk kembali ke asrama kampusnya. Dan kabur bukan pilihan yang tepat.

"Kamu pasti bisa menghadapinya, Jeevans."

Tidak. Jeevans ingin merengek seperti anak kecil.

;

Jeevans mengancing kemejanya dengan perlahan-lahan. Gerakannya sangat lambat seolah memanfaatkan waktu yang terbuang sia-sia ini. Pengawalnya sudah mengetuk kamarnya tiga menit yang lalu, namun Jeevans tak mempedulikannya. Biarkan ia disindir sebagai pangeran yang tak disiplin akan waktu. Ia hanya tak mau berada di meja makan bersama anggota keluarganya, terlebih paman William.

Tok... Tok...

Jeevans menghela napasnya. Kancingnya sudah dikaitkan semua. Ia tak memiliki alasan lain. Meskipun ia sudah berusaha membersihkan kamarnya. Merapikan ranjangnya yang sebenarnya sudah dirapikan oleh para pembantu.

Langkahnya pelan. Tak pasti. Ragu-ragu. Berat. Jeevans menghela napasnya dan membuka pintunya. Mengajak pengawalnya ke ruang makan. Ia sudah ditunggu oleh semuanya.

;

Dentingan suara garpu dan pisau yang beradu dengan piring menggema di ruang makan. Derap langkah Jeevans menjadi pusat perhatian indera pendengaran mereka. Tak ada yang berani mengeluarkan sepatah kata pun guna menegur keterlambatan Jeevans di meja makan. Melewatkan menu pembuka mereka.

Pengawalnya menarik kursi sebelum Jeevans duduk dan menerima piring beserta garpu dan pisau. Ia berusaha tenang walau ia tak bisa mengabaikan kehadiran paman William.

Jeevans bersikap seolah ia tidak bertingkah tidak sopan. Ia mengambil sedikit porsi makan. Formalitas saja menurutnya. Ia ingin segera pergi dari sana. Ia hanya harus bersabar sampai makanan penutup disajikan dan disantap.

"Saya dengar pangeran Jeevans sudah berada di tahun ketiganya. Kuliahnya mulai sibuk." Jeevans mencengkram garpu di tangan kanannya. Ia mendengarkan paman William yang berbasa-basi mengenai dirinya.

"Semuanya tidak sabar untuk menantikan kelulusannya, bukan begitu?" Lanjut paman William yang mengundang dehaman setuju dari beberapa anggota keluarga lainnya.

"William, lebih baik kita fokus pada kelahiran anak Yao. Setelah makan malam ini, kami akan diskusi mengenai pesta kehamilan 7 bulan." Sang baginda Raja turun tangan. Membantu Jeevans agar tak menjadi bahan ejekan di makan malam keluarga ini.

"Baik, Yang mulia Raja."

;

12:04 AM

Jeevans baru saja sampai di kamar asramanya. Ia mengunci pintunya dan melepaskan jaketnya. Menyalakan lampu kamarnya sebelum menggantung jaketnya di rak pakaiannya yang berada tak jauh dari pintu. Pendingin ruangan belum menyala, tapi Jeevans sudah kedinginan. Suasana yang cukup menyusahkan bagi Jeevans. Ia tak terlalu suka suhu dingin.

Ia melepas kaus kakinya dan melemparnya ke keranjang baju kotornya dan duduk bersila di atas ranjangnya. Memijat pelipisnya dengan pelan. Menghela napas dengan berat. Ini baru makan malam keluarga, belum pertemuan politik. Ia tak tahu apakah ia bisa bertahan kedepannya nanti.

Drrtt... Drrttt...

Ponselnya bergetar, menandakan ada notifikasi di ponselnya. Ia lupa mengaktifkannya kembali. Ia membelalakkan kedua matanya kala melihat siapa yang mengiriminya pesan di Twitter. Ia segera mengambil ponselnya dan membaca pesannya.

mav: sorry, gue tahu ini tengah malem dan mungkin ganggu lo.
mav: besok bisa makan siang bareng?

Jeevans: Saya masih bangun, pangeran. Jadi tidak mengganggu.
Jeevans: Dan boleh. Pangeran Mavendra masih hutang mendengarkan cerita saya.

mav: hahaha oke. besok gue jemput.

Jeevans: Siap, pangeran.

Sudut bibir kanan Jeevans terangkat sedikit membaca pesan tersebut. Jeevans tak sabar akan terbitnya matahari dan bertemu dengan pangeran Mavendra.

—k. mala

Erlebnisse: KamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang