His Friend's Little Brother

148 20 0
                                    

Mavendra POV
Dentuman suara musik disko menggema di dalam kamar itu. Beberapa orang menikmati musik yang keras itu. Menari. Meminum alkohol. Bercengkrama dengan suara yang tak kalah kerasnya. Mavendra baru tiba, ia mengecek ponselnya guna membuka DM Twitternya. Mengecek lagi apakah ia sudah datang di tempat yang tepat.

"Bro, akhirnya dateng juga." Bintang menyapanya dengan senyuman lebar. Memeluk tubuh Mavendra dengan menepuk pelan punggungnya, sebelum diajak ke tempat khusus. Mereka naik ke lantai dua. Tempat yang jauh dari kebisingan.

"Hai, El. Hai, Mars." Mavendra menyapa kedua sahabatnya yang mengajaknya bertemu di klub malam. Ia mengambil salah satu botol bir yang berada di meja. Mengabaikan Mars yang sedang memangku Elang.

"Untung lo udah dateng, risih gue ngeliat mereka cipokan mulu." Bintang merengek. Beberapa menit yang lalu ia menjadi satu-satunya nyamuk di antara kemesraan Elang dan Mars. Padahal, beberapa minggu yang lalu, Elang dan Mars selalu bertingkah seperti teman biasa di depan Mavendra dan Bintang. Tapi usai mendeklarasikan bahwa mereka akan menikah, keduanya tak memperdulikan afeksi cinta yang mereka tebarkan. Seolah mereka berempat selalu berada di dalam kondisi seperti itu.

"Band lo gimana, Mars?" Tanya Mavendra dan meneguk birnya. Mars mengusap kepala Elang dan menyeringai. Mendengar protesan dari Bintang yang tak terima. Mereka berdua di dalam komunitas musik yang sama, tapi pertanyaan Mavendra seolah band itu hanya milik Mars.

"Bintang aja yang jawab, gimana Bin?" Mars malah melemparnya pada Bintang. Elang tertawa kencang karena kini Bintang yang menceritakan perkembangan band Fakultas mereka dengan bersemangat. Menceritakan jadwal latihan dan jadwal manggung mereka.

Mavendra hanya mendengarkannya dengan seksama.

;

Mavendra meminum birnya dengan santai. Melihat pemandangan lantai dansa dari lantai atas. Bintang sudah turun dan mengajak kenalan beberapa perempuan cantik untuk sekedar menghabiskan waktu malam itu saja. Sedangkan Mars sedang menjadi DJ di sana. Mavendra menenggak birnya sekali lagi.

"How's your kingdom?" Tanya Elang dan menopang tangannya di pagar. Melihat ke arah Mars dengan wajah berbinar.

"Ya begitulah, mereka nggak sabar buat gue cepet-cepet lulus." Jawab Mavendra dengan malas. Mengingat ia yang selalu diajak bertemu guna bertanya kapan ia akan lulus. Kapan ia akan membantu Yang Mulia Raja untuk mengembangkan ekonomi kerajaan mereka. Mahasiswa di tahun akhir seperti Mavendra pun jadi makin tertekan dengan desakan harus segera lulus.

"And—what about Jeevans?" Pertanyaan itu terdengar sangat ringan. Seolah Elang tidak memiliki niat terselubung. Mavendra menenggak birnya dan tak kunjung menjawab. Membuat Elang menoleh ke arahnya dengan wajah kesal.

"Kalian selalu menekankan bahwa pernikahan yang terjadi di kerajaan kalian hanya ada laki-laki dan perempuan. Tapi, kegiatan makan siang kalian terlihat kaya kencan, hehehe. Dan lo selalu perlakuin Jeevans sebaik dan sehangat itu." Mavendra berusaha menenggak habis birnya. Mendengar penjelasan Elang membuatnya bertanya-tanya. Ia juga tak sengaja memperlakukan pangeran Jeevans seperti itu. Mungkin refleks karena pangeran Jeevans menggemaskan?

"Dia itu adek dari temen deket gue. Bukannya wajar?" Ya, Elang tak terima dengan jawabannya dan mencebik kesal padanya. Mavendra hanya mengangkat bahunya acuh tak acuh.

;

Sial.

Mavendra telat bangun. Ia lupa kalau ia harus menyetorkan hasil revisi bab keduanya. Ia mandi dengan terburu-buru dan mengenakan pakaian kasual saja—hanya celana jeans dan hoodie berwarna biru muda. Ia berdoa kepada Tuhan agar dosen pembimbingnya masih berada di kantornya. Biasanya, usai jam makan siang, dosen pembimbingnya agak susah dihubungi. Hal tersebut membuat prosesnya melambat.

Setelah mengendarai mobilnya dengan kecepatan penuh dan berlarian di gedung fakultasnya, Mavendra harus menelan usahanya dengan mentah-mentah karena dosen pembimbingnya baru saja keluar.

Ia pun berjalan dengan lemas menuju ke parkiran. Seharusnya ia bergegas pergi ke kantin fakultas Ilmu Budaya guna bertemu pangeran Jeevans dan makan siang bersama. Tapi energinya sudah terkuras habis karena pacuan detak jantungnya yang berdetak samgat cepat, juga kakinya yang lemas karena berlarian.

Ting.

Ia mendapat notifikasi baru. Ia mengambil ponselnya yang ia simpan di saku celananya. Jeevans sent you a message. Ia refleks menekan notifikasi tersebut dan membaca pesan yang diterimanya.

Jeevans: Pangeran Mavendra masih lama? Saya tidak buru-buru tapi kantinnya mulai agak ramai.

mav: gue udah di jalan.
mav: minta tolong pesenin saja, pangeran.
mav: nasi kare ayam saja.

Jeevans: Siap, pangeran.

Ia menghela napasnya dan berjalan sedikit lebih cepat.

;

Sesampainya di kantin fakultas Ilmu Budaya, Mavendra disambut dengan senyuman pangeran Jeevans yang merekah dengan menggemaskan. Melambaikan tangannya dengan lucu. Berbeda jauh dengan Pangeran Yao.

Setelah Mavendra mendekat, senyuman itu berubah menjadi ekspresi terkejut. Pangeran Jeevans mengambil sesuatu di dalam tasnya dan mengulurkannya padanya. Sebuah tisu.

"Apa pangeran Mavendra berjalan ke sininya? Kenapa keringatnya sebanyak itu?" Ucapnya seraya menyodorkan tisu. Mavendra hanya tertawa kecil. Sebagian besar keringatnya sudah kering karena AC mobilnya, tapi ya berjalan dari parkiran ke kantin cukup menguras energinya juga.

"Gue naik mobil kok, mungkin karena belom sarapan aja." Ekspresi pangeran Jeevans makin menggemaskan. Kedua mata sipitnya membulat. Tak percaya dengan ucapannya.

"Semalam tidak tidur karena hari ini tidak ada kelas ya?" Tanya pangeran Jeevans dengan diiringi kekehan kecil. Mavendra mengangguk pelan. Ia duduk dan langsung berdoa guna menyantap makan siang yang juga menjadi sarapannya.

"Jadi, sejauh mana pidatonya?" Makan siang itu dilanjut dengan Mavendra yang menyantab makanannya sembari mendengarkan penjelasan pangeran Jeevans yang menyunting beberapa pidatonya.

—k. mala

Erlebnisse: KamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang