Lunch Date

197 26 0
                                    

Jeevans POV
Usai kelas Teori Sastra, Jeevans buru-buru membereskan peralatan tulisnya dan pamit untuk makan siang terlebih dahulu. Ketiga temannya tidak mempermasalahkannya karena terkadang Jeevans seperti itu—mungkin sudah kelaparan karena kelupaan sarapan. Jeevans pun menuju ke tempat parkiran fakultas Ilmu Budaya guna mencari keberadaan pangeran Mavendra. Mencari mobil yang semalam dipakai oleh pangeran Mavendra.

Nihil. Jeevans tak menemukannya. Apa masih di perjalanan ya?

Jeevans hendak menghubungi pangeran Mavendra melalui DM Twitter, namun ia urungkan. Ia bisa saja mengganggu pangeran Mavendra yang sedang menyetir, atau sedang ada urusan. Jeevans harus memaklumi karena pangeran Mavendra adalah seorang Pangeran. Pasti sangat sibuk seperti kakandanya.

Tiin...

Jeevans terkejut. Ia tak sadar kalau ia terlalu larut dalam pikirannya sendiri. Senyumnya merekah kala melihat kendaraan roda empat yang familiar. Kaca mobil sang pengemudi diturunkan, Jeevans bisa melihat sosok pangeran Mavendra yang menawan seperti biasanya. Jeevans pun menaiki mobil itu dan pergi ke kedai makanan di manapun pangeran Mavendra merekomendasikannya.

;

Sebelum pangeran Mavendra mengajaknya makan, Jeevans diajak mampir ke toko buku. Ada beberapa buku yang harus dibeli sebagai referensi tugas akhir pangeran Mavendra. Jeevans hanya menurut dan ia langsung pergi ke bagian cerita fiksi. Melihat beberapa karya sastra di jaman sekarang. Ia terkejut dengan beberapa judul yang terdengar baru untuknya. Tidak seperti jaman dahulu—era romantisisme dan era modern, beberapa penulis memiliki ide yang jauh lebih kreatif untuk memberikan judul pada ceritanya.

Ada satu buku yang menarik perhatiannya. Novel itu memiliki ilustrasi sampul yang menarik. Dua laki-laki dan satunya mengenakan pakaian seorang pangeran. Ah, apakah ini novel tentang romansa seperti kisah cinta Elang? Sepertinya menarik, tapi apakah novel itu tidak akan mengganggunya? Ia masih merasa hubungan sesama jenis itu adalah hal yang sangat tabu. Sejak kecil ia tak pernah diajarkan tentang hubungan sesama jenis.

"Ada yang menarik pangeran?" Jeevans tersentak kala mendengar suara familiar di indera pendengarnya. Ia pun menarik tangannya dari salah satu novel di sana. Ia berdeham pelan dan menggelengkan kepalanya.

"Pangeran sudah selesai?" Tanya Jeevans yang langsung dijawab anggukan oleh pangeran Mavendra. Keduanya pun menuju ke restoran yang bisa memesan tempat VIP, karena menurut pangeran Mavendra—Jeevans perlu tempat yang sepi untuk menceritakan alasan penyebab gundah gulana hatinya.

;

Makan siang hari ini, Jeevans tak sempat menceritakannya pada pangeran Mavendra. Baru saja mereka sampai di restoran dan memakan beberapa suap, ponsel pangeran Mavendra bergetar tak hentinya. Seseorang menghubunginya. Sepertinya penting karena setiap kali pangeran Mavendra menolak panggilan tersebut, orang itu akan menghubunginya lagi. Mau tak mau, Jeevans harus mengalah. Membiarkan pangeran Mavendra menerima panggilan tersebut—yang ternyata dari pengawal pribadinya. Pangeran Mavendra harus menghadiri rapat dengan beberapa menteri di kerajaannya hari ini.

"Besok. Gue janji bakal dengerin cerita lo. Hari ini gue harus langsung terbang ke sana, gue anter dulu ya." Begitu kata pangeran Mavendra.

Jeevans sedih, tapi ia memahaminya. Seringkali ia juga dipanggil secara mendadak guna menghadiri pertemuan penting bersama Raja dan Ratu di kerajaannya.

;

Usai diantarkan pulang ke asramanya, ia disambut oleh Jivaa yang sudah menangis dengan bibir yang dimajukan. Memeluknya seolah sudah lama tak melihatnya, seperti sudah bertahun-tahun lamanya. Jivaa dan sikap berlebihannya.

"Butuh tugas apa lagi? Sampai menangis kaya gitu." Tanya Jeevans sembari berusaha melepaskan pelukan Jivaa. Ia merasa gerah dengan teriknya matahari di siang hari ini. Dan pelukan Jivaa membuatnya makin parah.

"Hehe, emang lo doang yang paling ngertiin gue, Je." Ucap Jivaa seraya mengusap kedua pipi tembamnya. Ia pun menujukkan catatan di ponselnya. Jeevans membaca catatan tersebut dan tersenyum.

"Oke, masuk ke kamar saja. Di luar panas." Ajak Jeevans dengan mengibas-kibaskan wajahnya dengan tangan kanannya. Jivaa mengikutinya masuk ke dalam asrama dengan bersenandung pelan. Kemudian berhenti dan bertanya pada Jeevans, "Je, kenapa kita-kita ngga boleh minta nomer ponsel lo? Gue kan jadi susah buat ngehubungin lo, meskipun biasanya lo langsung bales DM gue. Mana gue tau kalo lo kencan sama temennya El."

Jeevans berdeham pelan dan menggaruk kepalanya pelan. Ia juga memikirkan kenapa ia masih tak mau membagikan nomor ponselnya kepada sahabat-sahabatnya, bahkan kepada pangeran Mavendra yang sudah seperti sahabatnya—karena dekat dengan kakandanya.

"Je, lo mau nyoba hubungan kaya El ya? Kencan dengan sesama cowok. Gue juga mau nyobain, soalnya kakaknya Faras ganteng banget anjir!" Jivaa dan celotehannya. Sahabatnya itu tak hentinya bertanya padanya bahkan seolah tak peduli dengan jawaban Jeevans. Membuat Jeevans selalu lupa mau menjawab apa.

"Tapi gue setuju kalo lo sama dia. Aura kalian beda gitu. Asli sih."

Sebelum Jeevans membuka pintu kamar asramanya, ia membalikkan badannya guna menghadap ke arah Jivaa. Sahabat dengan pipi tembamnya itu menatapnya dengan lugu.

"Tadi hanya makan siang bersama, bukan berkencan."

—k. mala

Erlebnisse: KamaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang