🦋 1. Penipu Hati 🦋

3.2K 448 185
                                    

Malam, temans. Aku datang membawa cerita baru. Semoga kalian suka, yaaa.
.
Kesepakatan 😁
Disarankan baca pas on going karena kalau sudah PO artinya tamat dan saia nggak mau ada komen macam begini 👇
👉 cerita belum tamat tapi sudah diterbitkan 👈
Semua cerita saya selalu tamat di wattpad. Untuk versi cetak ada tambahan dan tidak dipublikasi.
.
So, bisa dimengerti, yess. Selamat membaca💜
.
🍁🍁🍁🍁🍁

"Den, kita liburan lain kali saja, ya? Aku harus menggantikan temanku yang mendadak sakit. Baik-baiklah di rumah, aku akan segera menghubungimu begitu ada waktu luang."

Apa? Membatalkan liburan? Denali bahkan sudah dalam perjalanan menuju bandara. Memangnya Bastian, tunangannya, tidak melihat kalau penerbangan mereka itu beberapa jam lagi. Bukannya nanti sore atau besok pagi.

Panggilan yang ditutup secara sepihak itu berhasil memantik emosi Denali. Lagi-lagi masalah pekerjaan. Bisa tidak, sekali saja, Bastian menomorsatukan dirinya? Lagi pula, demi apa masih bekerja di long weekend padahal mereka sudah sepakat akan berlibur bersama?

Membatalkan liburan di hari H bukanlah sesuatu yang menguntungkan. Tidak akan ada kompensasi yang didapat. Merasa tidak mau rugi, Denali memutuskan untuk pergi tanpa Bastian. Meskipun jengkel, setidaknya dia tidak kehilangan banyak atas apa yang sudah dibayarnya.

Denali turun dari taksi online setelah menolak bantuan untuk menurunkan koper. Tidak perlu manja, benda itu tidak besar untuk membuatnya merepotkan orang lain. Orang cenderung menggunakan semua kemudahan yang bisa didapat, tetapi Denali lebih suka seperlunya.

Berjalan sambil menarik koper, Denali melirik jam tangannya. Masih ada waktu sebelum keberangkatannya. Dia pikir mungkin bisa membeli makan siang dan segelas kopi yang bisa dinikmati sambil menunggu penerbangannya.

Berjalan di antara keramaian Bandara Juanda, Denali menatap beberapa restoran cepat saji sampai matanya menemukan apa yang dicarinya. Beberapa potong ayam goreng sepertinya cocok untuk mengganjal rasa lapar. Ditambah kentang goreng, pasti sudah kenyang, itu pun kalau ada, mengingat banyaknya peminat makanan itu.

Mendekati restoran incarannya, Denali berjalan sedikit lebih cepat. Namun, hampir melewati ambang pintu, matanya membola. Dia melihat pria yang dikenalnya. Duduk bersama perempuan berwajah sendu, pria itu terlihat sempurna dan penuh perhatian.

Denali tertegun. Dia mengedip beberapa kali, memastikan penglihatannya benar atau salah. Tidak mungkin matanya salah melihat, 'kan? Pria itu memang benar-benar Bastian, tunangannya.

Dasar pria penipu. Dinas katanya? Iya, dinas dengan perempuan aneh yang tidak pernah bisa menjaga jarak dari tunangan orang. Nggak perlu cemburu, hanya kamu perempuanku, begitulah yang selalu didengar Denali dari bibir calon suaminya. Namun, menolak liburan dengan sebuah kebohongan sudah pasti perbuatan hina.

Memang hina, tidak ada kata tepat yang bisa Denali pikirkan ketika dua orang tak tahu malu itu menunjukkan kemesraan di depan umum. Perempuan itu pikir, siapa Bastian? Kekasihnya? 

Denali sudah cukup muak dengan drama keduanya. Selalu saja mengatakan kalau mereka adalah teman, tetapi tangannya tidak pernah berhenti untuk saling memberi sentuhan. Rasanya tidak ada lagi yang harus dimaklumi. Sepanjang tiga tahun hubungan mereka, dirinya diminta untuk selalu mengerti.

Apa yang Denali mengerti? Bahwa tunangannya lebih mementingkan perempuan lain? Janji pun harus dibatalkan ketika perempuan itu menelepon, merengek minta diantarkan ke suatu tempat. Tak hanya sampai di situ, si perempuan juga tidak pernah sungkan mengganggu waktunya ketika bersama Bastian, sang tunangan.

Belum genap satu jam yang lalu, Bastian membatalkan rencana liburan mereka dengan alasan ada pekerjaan darurat. Denali sadar, sebagai seorang auditor, tunangannya memang handal. Ketika rekannya tidak bisa bertugas karena sakit, secara tiba-tiba Bastian bisa ditunjuk untuk menggantikannya dan itulah yang sudah didengar Denali.

Tidak mungkin merelakan semua yang sudah dibayarnya, Denali memutuskan untuk pergi sendiri. Membatalkan semua di hari H sudah pasti bukan keputusan yang bagus. Tidak akan ada yang diperolehnya sebagai kompensasi.

Denali kecewa, tetapi tak bisa berbuat apa-apa. Kekecewaannya berubah menjadi rasa marah ketika matanya menangkap sosok Bastian duduk berdampingan dengan perempuan yang selalu membayangi kisah cinta mereka, dalam restoran cepat saji. Wajah perempuan itu terlihat sedih dan haruskah tangan mereka saling berpegangan? Belum lagi beberapa kali usapan di kepala. Begitukah yang dikatakan tidak ada hubungan apa-apa?

"Aku janji kita akan liburan berdua setelah ini. Akan kuambil cuti untukmu dan pilihlah ke mana pun yang kamu suka, tapi jangan marah padaku, ya. Aku selalu mencintaimu, Den."

Kalimat yang diucapkan Bastian bahkan masih terdengar begitu jelas di telinganya. Mengambil cuti? Omong kosong. Bastian tidak pernah menggunakan hak cutinya dan Denali tahu itu. Dia merasa mengenal calon suaminya dengan baik. Oleh sebab itulah, setiap kata yang keluar dari mulut Bastian tak akan dipercayanya lagi.

Denali masih menatap ke arah yang sama. Dia tidak peduli kalau posisi berdirinya bisa jadi mengganggu orang lain. Dia hanya tahu bahwa apa yang dilihatnya semakin membuat kemarahan naik hingga ubun-ubun.

Mungkin karena kesedihan perempuan itu tidak bisa diredakan sehingga Bastian merengkuh bahunya. Tak sampai di situ, Bastian juga memberikan beberapa kali kecupan di kepalanya. Demi Tuhan, kepadanya saja sang tunangan tak pernah seperhatian itu.

Denali merasa kemarahannya memuncak. Rasa tidak percaya sempat menghinggapi hatinya. Namun, apa yang ada di depan matanya adalah kenyataan yang tidak bisa diingkari karena disaksikan sendiri melalui kedua matanya.

Campur aduk antara kemarahan, kecewa, dan cemburu memenuhi hati Denali. Perpaduan rasa yang sama sekali tidak indah untuk dilukiskan. Tanpa sadar, air matanya mulai menggenang.

Mengapa semua harus terjadi pada dirinya? Tidak bisakah, sedikit saja, Bastian memprioritaskan kepentingannya di atas kepentingan perempuan itu? Sungguh, dia merasa seperti seorang kekasih yang tidak dianggap.

Rasa tidak terima berperang melawan ketidak adilan dalam hati Denali. Harga dirinya seolah dipertaruhkan. Namun, apa yang bisa dilakukannya di sini? 

Ini adalah tempat umum dengan keramaian luar biasa. Bagaimana Denali bisa membuat perhitungan tanpa menarik perhatian? Bagaimana cara mengungkapkan semua rasa kecewa tanpa mempermalukan diri sendiri? 

Denali kesal. Tidak ada yang bisa dilakukannya selain diam dan terus menatap ke arah yang sama. Rasa panas pun menyengat matanya. Pandangannya mulai memburam saat perempuan itu bersandar dengan nyaman di bahu Bastian.

Sungguh, kalau cemburu bisa membunuh orang, Denali yakin dirinya bisa mati saat itu juga. Berbagai keinginan berkecamuk dalam hati untuk menumpahkan kecewa dan marah yang sudah menumpuk selama bertahun-tahun. Kepalanya bisa meledak kalau terus melihat semua hal menyebalkan di depan sana.

Satu tangan Denali bergetar menggenggam pegangan kopernya. Dalam penguasaan emosinya, ingin rasanya melempar benda itu ke meja pasangan tak tahu malu yang masih terus bermesraan seolah dunia milik berdua. Namun, harga dirinya melarang sikap bodoh dan memang tak seharusnya dilakukan orang pintar.

Ketika pandangannya terus memburam, saat itulah tatapan Denali bertemu dengan pandangan Bastian. Mata tunangannya sempat membola, lalu melirik perempuan di sampingnya dengan rasa bersalah. Ketika tatapan mereka kembali bertemu, pria itu terlihat salah tingkah.

Denali tahu, meski dunia runtuh sekalipun, Bastian tidak akan meninggalkan perempuannya. Bisa jadi si pengganggu itu akan menangis sambil duduk di lantai kalau pria bidikannya pergi. Jadi, tidak ada gunanya memohon, 'kan?

Sibuk menenangkan emosinya yang sedang meronta menginginkan pemberontakan, Denali menyadari seseorang berdiri di hadapannya. Segera saja dia menatap sosok itu. Dalam buram pandangan matanya oleh air mata, Denali menatap pria tinggi berseragam rapi. Tangan kanannya memegang koper, sedangkan tangan kirinya melepas kacamatanya tanpa tergesa-gesa. 

"Senyum!" perintahnya seraya mengulurkan lekuk sikunya pada Denali.

Seperti terhipnotis, Denali tersenyum. Dia juga memutar tubuh dan melingkarkan tangannya di lekuk lengan pria itu. Setelahnya, si pria memasang kembali kacamatanya, membawa Denali melangkah pergi. Dengan koper masing-masing di sisi luar, keduanya berlalu dari tempat itu.

Eakk ... kategori spek idaman, tuuu🤭🤭
Trus, teman-teman sudah suka apa belum?
Komenin yang banyak, kalo suka aku lanjutin.

Love, Rain❤

Pesawat KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang