🦋 7. Lain Cerita 🦋

1.2K 416 117
                                    

Malam, temans🤩
Yang Bastian, yang Bastian, hyuk langsung merapat saja. Selamat membaca😍
.
.
.
Bastian:                                "Jangan terlambat makan! Sore nanti kujemput, kita nonton bersama."

Alis Denali bertaut. Sok perhatian! Selama memiliki hubungan dengan Bastian, belum sekali pun dia mendapat pesan semacam itu. Nonton? Dirinya pasti bodoh jika menyetujui hal itu. Pengalaman mengajarkan bahwa mantannya tidak pernah suka jika hanya berduaan saja dengannya.

Denali meremas pesan Bastian bersama setangkai bunga yang ditempel di pintu. Mulai kapan pria itu mengirimkan bunga? Pasti sedang melakukan kesalahan dan meminta maaf. Satu kali pun, hal seperti ini belum pernah dilakukan Bastian sebelumnya.

Denali hanya perlu bergegas pergi ke kafe. Ingin menikmati segelas kopi setelah satu pekerjaan selesai. Meskipun pekerjaan yang lain sudah menunggu, tetapi kegiatan ini merupakan sebuah kesenangan tersendiri.

Ketika segelas cappuccino benar-benar tersaji di meja, Denali menghirup aromanya dengan mata terpejam. Seperti para pendaki merindukan aroma pinus, begitu pulalah dirinya dengan kopi. Ini benar-benar enak dan mampu membuat pikirannya jadi lebih segar.

Asyik dengan cappuccino dan sepotong kue, Denali ingat kalau dirinya belum mengirim pesan pada penolongnya di bandara tempo hari. Sebentar saja dia membuka tas, mulai mencari-cari selembar kartu nama. Seingatnya, benda itu sempat dia masukkan ke situ sebelum berangkat. Senyumnya terbit saat apa yang dicarinya ketemu.

Denali:                                  "Terima kasih sudah menolongku."

Denali hanya mengirimkan pesan itu tanpa memikirkan hal lainnya. Dia tidak bisa bersikap sok kenal sok dekat meski merasa berhutang budi. Sewajarnya, begitulah apa yang ada di kepalanya.

Mengirim pesan untuk Elbrus, mau tak mau ingatan Denali kembali pada saat gagalnya liburan ke Lombok. Kebohongan paling menyakitkan dan berujung pembatalan pernikahan. Namun, itu tak lagi mendominasi pikirannya. Apa yang memenuhi benaknya hanya bagaimana dia bisa begitu saja mengikuti perintah orang tak dikenal.

Ponsel Denali bergetar beberapa kali. Dibiarkannya benda itu sesaat. Mungkin si pengirim sedang mengetik banyak pesan untuknya. Setelah tak ada notifikasi lagi dibukanya pesan yang masuk. Mata Denali berkedip beberapa kali. Pesan dari Bastian dan Elbrus.

Elbrus:                                "Kembali kasih. Jadi, hidupmu sudah baik-baik saja?"

Entah mengapa, jari Denali memilih untuk menekan pesan dari Elbrus. Berbeda dengan sebelumnya, kini dia bisa melihat foto profil pria itu. Sebuah foto yang diambil dari samping, tetap dengan kacamata Rayban yang sepertinya adalah ciri khasnya, dan tentu saja di kokpit pesawat.

Denali:                                  "Hidupku baik-baik saja. Harga diriku masih utuh dan semua itu karena bantuanmu."

Denali tersenyum sendiri dengan pesan yang dikirimkannya. Entahlah, dia hanya tiba-tiba merasa nyaman. Bebas mengeluarkan pendapat tanpa khawatir akan menyinggung perasaan orang lain. Kehati-hatian yang selalu dijaganya ketika berhubungan dengan Bastian.

Rasanya cukup lama Denali menunggu pesan balasan dari Elbrus. Mungkin sedang dinas, begitu pikirnya. Namun, saat dia hendak berdiri, ponselnya kembali bergetar.

Elbrus:                                   "Senang mengetahui hal itu. Apakah kamu tinggal di Surabaya?"

Senyum Denali mengembang. Elbrus menanyakan di mana tinggalnya. Tidak ada yang spesial dengan pertanyaan itu, tetapi dia merasa seperti mendapatkan perhatian lebih. Bahkan Bastian pun tidak pernah bertanya di mana dia tinggal ketika mereka pertama kali saling mengenal.

Pesawat KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang