🦋 8. Kesal 🦋

1.2K 409 157
                                    

Malam, temans🤩
Bastian mengunjungimu tepat waktu. Sambutlah dia sama cemilan paling enak😝
.
Selamat membaca🥰

Denali mengamati lukisan demi lukisan yang dipajang di dinding. Ukurannya seragam dengan gambar yang baginya semua bagus. Fajar, temannya paling menyukai gambar ibu dan anak dalam berbagai aktivitas. Yang paling menarik perhatiannya adalah gambar perempuan menjinjing air di kedua tangan sementara seorang balita digendong dengan kain di belakang tubuh. Rambutnya sudah pasti diikat di belakang kepala dengan helaian-helaian terlepas di sisi kiri dan kanan.

“Tidak usah melihat lukisan itu sampai begitu! Hidupmu tak akan sesusah itu.” Fajar, si pemilik acara sudah berdiri di samping Denali dengan katalog di tangan.

“Dari mana ide itu muncul?” tanya Denali tanpa mengalihkan tatapannya dari lukisan.

“Itu bukan ide, tapi dari hidup  masyarakat desa yang masih belum punya sumur sendiri. Aku sempat memotretnya sewaktu pergi kemah enam bulan lalu.”

Itu menjawab pertanyaan Denali. Setahunya, Fajar memang menyukai kegiatan di alam terbuka. Tak jarang temannya juga melukis apa saja yang dilihatnya, selama itu berhubungan dengan kehidupan ibu dan anak.

“Den ... tunanganmu datang tuh. Di depan sama temannya. Tumben kalian nggak barengan?”

Denali memutar bola matanya malas. Dari sekian tempat yang bisa dikunjungi, mengapa Bastian harus ada di tempat ini? Dia tahu setiap orang bebas ke mana saja, tetapi bisakah mereka tidak bersinggungan lagi? Manusia satu itu adalah orang terakhir yang ingin ditemuinya.

“Kamu mengundangnya?” Denali menatap garang wajah Fajar.

“Nggak mungkin aku nggak mengundangnya, Den. Dia teman baikku.”

Fajar memang tidak tahu apa-apa tentang hubungan Denali dan Bastian. Wajar jika Bastian hadir di tempat ini. Niat hati tidak pernah melihat pria itu selamanya, tetapi nasib justru terus mempertemukan mereka. Ini benar-benar tidak menyenangkan. Semula, hatinya berharap akan mendapatkan pandangan baru dari pameran ini, siapa tahu bisa memunculkan ide-ide menarik yang bisa membuatnya terus berkarya. Kalau seperti ini, yang muncul bukanlah ide menarik, tetapi kemarahan yang siap dilemparkan.

“Tahu kalau kamu datang, aku pasti akan menjemputmu, Den.”

Tanpa menoleh pun, Denali tahu siapa pemilik suara itu. Kalau dulu suara itu terdengar begitu merdu di telinganya, sekarang tidak lagi. Baginya, suara itu jadi memuakkan dan anehnya sering sekali terdengar. Kalau kejadiannya sudah seperti ini, tidak mungkin emosinya dibiarkan meraja. Menghela napas panjang beberapa kali tentu lebih bagus untuknya sebelum berputar dan menghadapi sang mantan yang rasanya terus saja menghantui.

Jantung Denali langsung menghentak rongga dada dalam gemuruh yang hebat. Bastian tampil dalam celana jin hitam dan kemeja senada. Rambutnya rapi seperti biasanya dan di sampingnya, Sharlene memeluk lengan kirinya dengan senyum ramah tanpa dosa.

Hati Denali yang tadinya dipenuhi amarah, kini disusupi kecewa. Sakit hati dan kesal turut menggulung jadi satu dalam batinnya yang sudah porak poranda. Dia tidak menyukai apa yang dilihatnya. Lebih baik tidak melihat Bastian selamanya, lalu melanjutkan hidup. Itu jauh lebih mudah daripada terus-menerus melihat adegan yang membuatnya semakin patah hati.

“Den!” Bastian melambaikan sebelah tangan di depan wajah Denali.

Nggon ndek dunyo iki akeh, kenek opo mesti ketemu awakmu ndek ndi-ndi (tempat di dunia ini banyak, kenapa mesti bertemu denganmu di mana-mana)?”

“Aku suka kalau bahasa jawamu sudah keluar begitu.” Bastian mengusap kepala Denali yang tertutup topi pelukis.

Aku nggak seneng dicekel-cekel (dipegang-pegang).” Denali mundur dari jangkauan Bastian. Entahlah ... dulu dia menyukai kontak fisik dengan Bastian. Memang hanya sedikit sebagai tanda perhatian, tetapi hal itu terasa tidak nyaman sekarang.

“Kalian ngobrollah dulu, aku akan menemui tamu-tamu yang lain.” Fajar mohon diri setelah menatap Denali penuh arti.

Denali sendiri melayangkan tatapan membunuh pada Fajar. Bisa-bisanya pria itu meninggalkannya dalam suasana tak mengenakkan. Percayalah, berada di sisi Bastian bukanlah hal yang membahagiakan kini. Apalagi dengan keberadaan Sharlene.

“Apa kabar, Den?” Suara lembut Sharlene menembus pendengaran Denali.

“Kabarku?” Denali tersenyum sinis. “Tentu saja luar biasa. Adakah kata lain untuk menggambarkannya selain itu?”

“Maaf aku diminta Bastian untuk menemaninya ke acara ini. Kupikir kamu tidak datang, makanya aku menyetujui.”

Yang benar saja! Dari seluruh orang yang ada di ruangan ini, orang yang paling tidak diduga kedatangannya justru Sharlene sendiri. Bukankah gadis itu lebih menyukai konser daripada pameran lukisan yang menjemukan? Bukankah hang out ke klub terasa lebih menyenangkan daripada tempat ini yang hanya diisi alunan musik jazz?

“Bastian pasti hilang ingatan ketika mengatakan kalau aku tidak datang di acara seperti ini. Tapi, wajar sih kalau dia berpikir begitu. Akhir-akhir ini, pikirannya memang sudah korslet.”

Bastian dan Sharlene tertawa bersamaan. Heran. Sudah disindir sampai seperti itu dan keduanya masih bisa tertawa. Dasar tidak tahu malu! Hati kalau sudah mati memang begitu, batin Denali. Dia juga menjauh dari jangkauan keduanya supaya tangan pria itu tidak mampir ke kepalanya lagi.

Denali tidak lagi merasa bahagia berada dalam ruangan. Entah mengapa, pameran kali ini terasa membosankan. Suasana hatinya benar-benar tidak berkompromi dengan pengalihan macam apa pun. Yang diinginkannya hanya pergi.

“Jar,” panggil Denali ketika menemukan temannya. “Maaf, aku nggak bisa berlama-lama. Selamat untuk pameranmu, ini pameran yang hebat.”

“Kenapa tergesa-gesa, Den? Bastian bahkan masih asyik melihat-lihat.” Fajar terlihat enggan menanggapi pamit Denali. “Bas ....”

Sialan. Kenapa Fajar harus memanggil Bastian, sementara Denali ingin pergi secepatnya. Terlambat untuk menyelinap, Bastian kembali datang. Kali ini, tangan pria itu merangkul bahunya. Apa yang dia perhatikan adalah tatapan Sharlene yang jelas sekali tidak suka.

“Apa kamu ingin menikmati secangkir kopi dan sepotong roti?” Bastian menatap Denali penuh perhatian.

“Tidak,” jawab Denali ketus. “Aku hanya ingin ke kamar mandi,” lanjutnya sambil berlalu.

Denali berjalan menuju kamar mandi. Beberapa kali dia menoleh, memperhatikan Bastian atau Fajar. Ketika kedua orang itu kembali asyik dengan kegiatannya, dia menyelinap ke pintu keluar, lalu bernapas lega.

Syukurlah, ada taksi di depan galeri sehingga Denali bisa pergi tanpa menunggu lagi. Tujuannya adalah kafe AB yang tak jauh dari tempat itu. Dia melirik jam di pergelangan tangan. Pukul sepuluh lewat tujuh belas menit. Belum terlalu malam, lagi pula ini adalah kota metropolitan. Siapa yang akan memperhatikan kebiasaan sekecil ini ketika masing-masing orang sedang melakukan hal yang sama?

Kaki Denali terhenti di depan pintu masuk kafe. Matanya menatap ke dalam, tepat ke sebuah meja di sudut ruangan. Dia tak mungkin salah mengenali. Meskipun hanya sekali bertemu dengan orang itu, tetapi ingatan yang terpatri di angannya membawa serta kenangan akan pria yang sedang ditatapnya. Waktu bahkan sudah dua jam lebih dari yang diucapkan, tetapi Elbrus masih di tempat yang sama.

“Senang bisa bertemu lagi, Capt ....”

Ucapkan selamat datang pada captain kita😁😁

250☆ buat update besok, kalau enggak berarti sampai jumpa hari Sabtu.

Love, Rain❤

Pesawat KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang