Malam, temans. Mas Bas kesayangan pembaca hadir tepat waktu dong😁
Denali sedang asyik menggoreskan kuas di atas kanvas ketika suara ketukan di pintu apartemennya terdengar. Biarkan saja, dia merasa tidak sedang menunggu tamu atau membuat janji temu dengan siapa pun. Lagi pula, dirinya sedang dalam proses finishing sebelum lukisan dengan tema senja di Surabaya itu diambil pemiliknya.
Keseriusannya terganggu saat ketukan di pintu terdengar makin keras dan tanpa jeda. Siapa orang yang sedang berlaku tidak sopan di rumah orang lain itu? Seingatnya, dia tidak punya musuh atau hutang yang harus dibayar sehingga orang bisa berlaku seenaknya begini di rumah orang lain.
“Bertamu nggak ada sopan-sopannya. Berisik, tahu ....” Semburan kalimat Denali langsung tertahan melihat siapa yang berdiri di depan pintu. Bastian dan orang tuanya serta orang tuanya sendiri yang menatap garang melihat penampilannya.
Denali menunduk, kaus yang dikenakannya tidak buruk. Mungkin memang sedikit pudar karena itu kaus olahraganya ketika masih duduk di sekolah menengah. Kemudian, celana pendek sedikit di atas lutut. Menurutnya itu juga sopan karena tidak ketat atau terlalu pendek.
“Pakaian apa yang kamu pakai itu, Den?” Mamanya sudah lebih dulu mengeluarkan pertanyaan. “Nggak sopan menemui tamu dengan penampilan seperti itu.
Denali mengangkat bahu acuh tak acuh. “Denali tidak sedang menunggu tamu atau punya janji dengan orang,” sahutnya santai sambil berbalik menjauhi pintu. “Lagian, ini di rumah. Masa iya harus memakai baju pesta?”
“Sudah, Jeng,” sahut Hesti, mama Bastian, sambil menutup pintu setelah semua masuk. “Tidak masalah Denali berpenampilan begitu. Dia sedang tidak ke mana-mana, atau bisa jadi malah sedang bekerja.”
“Nah, itu benar, Tante.”
“Denali!”
Denali berlalu ke dapur. Diambilnya minuman dingin dari kulkas dan dibawanya menuju ruang tamu. Hanya berupa minuman botol karena dia belum membeli apa-apa untuk membuat minuman hangat. Menurutnya tidak masalah karena tinggal sendirian dan semua disesuaikan dengan kebutuhannya.
“Jadi, apa yang membawa Papa dan Mama sekalian datang ke tempat tinggalku?” tanya Denali menolak basa-basi.
“Aku nggak setuju kamu membatalkan pernikahan secara sepihak.” Bastian, yang sedari tadi diam angkat bicara. “Kamu pikir hubungan kita ini main-main sampai kamu berbuat begitu. Den?”
“Memang main-main,” cetus Denali enteng. “Aku sudah tidak mau main-main lagi.”
“Apa maksudmu?”
“Kamu nanya?” tanya Denali mengikuti gaya yang sedang viral. “Kamu bertanya-tanya?”
“Denali ...,” geram Winda.
"Wah, Om suka gayamu." Lain dengan Winda, Ratno, papa Bastian justru tertawa mendengar cara bicara Denali. "Mesti gaul menghadapi orang tua yang serius itu. Biar tidak ikutan darah tinggi, ya?"
“Sabar, Jeng!” Hesti mengusap tangan Winda dengan senyum menenangkan. “Anak muda biasa begitu. Biarkan saja. Saya paham yang begitu-begitu.”
“Tapi—”
Hesti menggeleng, lalu berpaling pada calon menantunya. “Kalau ada masalah itu bisa dibicarakan baik-baik. Nggak bagus sedikit-sedikit bilang nggak mau menikah. Kamu setuju dengan ucapan Tante, ‘kan, Den?”
Bukan tanggapan sehalus ini yang diharapkan Denali ketika berbicara dengan gaya yang pasti tidak disukai orang tua dengan kesopanan tanpa cela seperti mamanya Bastian itu. Semula, dia berpikir kalau beliau akan marah dan menceramahinya panjang lebar sehingga mereka semua bisa segera angkat kaki dari kediamannya.
![](https://img.wattpad.com/cover/331897721-288-k709234.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Pesawat Kertas
RomanceCover by @DedyMR [WattpadRomanceID Reading List 👉 Februari 2023] Tiga tahun bersama, Bastian membuat Denali merasa menjadi orang ketiga dalam hubungan mereka. Kebohongan Bastian membuatnya harus merelakan mimpi yang selama ini diangankan, meskipun...