🦋 37. Nggak Indah 🦋

1K 324 46
                                    

Malam, temans. Capt. El baru aja landing di Juanda. Kuyy lah disambut🥰🥰
.
.
.
"Hidupku nggak indah banget, 'kan, Mas El?"

Pertanyaan yang sudah diulang dua kali oleh Denali di hari itu. Pertama ketika dia ada mobil dan melaju dalam perjalanan pulang. Yang kedua baru saja terlontar saat dirinya sudah berada di apartemen Elbrus.

Apartemen Elbrus terlihat sangat maskulin. Itulah kesan Denali ketika masuk ke dalamnya. Sebagian besar perabotan berwarna hitam, putih, dan abu-abu. Tidak ada sesuatu yang berlebihan, semuanya fungsional sesuai dengan kebutuhan. Setidaknya, tidak ada benda yang kemungkinan hanya jadi pajangan saja.

Denali sudah mandi, mengganti pakaian, dan merasa bersih. Begitu pula Elbrus. Keduanya juga sudah menikmati makan siang yang sedikit terlambat. Saat ini, mereka duduk di atas karpet ruang tengah, bersandar di sofa setelah mendorong meja agak menjauh.

"Sedikit kejadian tadi, nggak akan memburamkan hari-harimu yang sebenarnya sudah berjalan indah."

Seperti biasa, suara Elbrus jauh dari kesan menghakimi. Dalam tatapan matanya juga tak ada rasa kasihan atau prihatin. Apa yang dilihat Denali hanya kesabaran seperti seorang ayah menasihati anaknya.

"Dan kamu bukannya nggak tahu apa-apa."

"Benar. Bisa dikatakan saya tahu garis besarnya sejak kita bertemu di bandara pertama kali sampai saat ini."

"Kenapa Mas El nggak komentar atau bertanya sesuatu?"

Denali baru ingat kalau Elbrus memang tak pernah mengeluarkan pendapat. Walaupun beberapa kejadian antara dirinya dan Bastian terjadi di depan mata pria itu. Yang dilakukan Elbrus hanya diam dan mengajaknya pergi setelah dirasa keadaan tidak membaik.

"Apa yang harus saya komentari? Itu adalah bagian hidupmu di mana saya atau siapa pun tidak berhak untuk berkomentar. Kamu gadis dewasa dan bisa berpikir, bukan?"

"Nggak pengin nanya?"

"Tidak." Elbrus menatap Denali, lalu menautkan tangan mereka. Kebiasaan baru yang sangat disukai Denali. "Kamu akan bercerita jika itu memang diperlukan. Selebihnya, saya tidak ingin tahu karena pasti nggak enak banget bercerita tentang aib sendiri."

Pemahaman Elbrus justru bertolak belakang dengan pemikiran Denali. Orang memiliki kecenderungan untuk tahu masalah orang lain, apalagi jika merasa memiliki hubungan dekat. Namun, itu tidak berlaku untuk Elbrus. Sikap dan kedewasaannya dibalut tingkah laku santun dan menghargai orang lain lebih dari yang pernah Denali tahu dari orang lain.

"Hidupku baik. Disayang orang tua dan dilindungi kakak yang protektifnya sudah seperti induk ayam. Tapi kehidupan percintaanku, Mas El tahu sendiri seperti apa."

"Mengapa pilih dia kalau sikapnya begitu sejak awal?"

Itulah pertanyaan yang pasti dilontarkan setiap orang ketika mengetahui kondisi Denali. Simpel, tetapi sangat sensitif. Jawabannya pun bisa membuat perasaan semakin tidak enak, mungkin juga marah.

"Bodoh, kurasa."

"Hmm?"

Denali baru menyadari bahwa kata bodoh bukan sekadar kata kosong. Itu kenyataan dirinya yang begitu mengagungkan cinta dan menutup mata dari kenyataan yang ada. Menelan kekecewaan demi kekecewaan, berharap setiap janji manis Bastian akan menjadi kenyataan.

Gumaman Elbrus juga Denali pikir sebagai kebijaksanaan. Alih-alih menenangkan dirinya dengan memberi kata-kata penghiburan, pria itu hanya menatap dengan sebelah alis terangkat. Pertanyaan tanpa kata yang justru mempertegas keingintahuan tanpa menyinggung titik sensitif dalam hati seseorang.

Pesawat KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang