🦋 6. Menjemukan 🦋

1.1K 373 196
                                    

Malam, temans🤩💜
Ciee ... yang nungguin Bastian udah siap sama cemilannya. Kuaci, mana kuaci? Gorengan juga boleh, apalagi burger dan kentang goyeng. Yummyy ... selamat membaca🥰
.
.
Bastian: "Kamu ini sebenarnya kenapa, sih, Den? Jangan marah lagi hanya karena kejadian kemarin. Aku itu cintanya cuma sama kamu. Maunya juga cuma nikah sama kamu. Jangan cemburu-cemburu lagi!"

Hanya? Luar biasa sekali Bastian ini. Apa yang dirasakan Denali seolah tidak penting. Cinta? Cinta macam apa yang tak mampu memberi rasa nyaman secara emosional? Nikah? Denali mendengkus dengan cara yang sama sekali tidak anggun. Dari mana kata menikah itu muncul setelah dia mati-matian membatalkannya?

Apa lagi yang Bastian katakan? Cemburu? Kata itu sudah terlalu basi untuk diucapkan. Denali bahkan sudah tidak tahu lagi bagaimana rasanya cemburu. Dalam hatinya, yang ada hanya rasa marah, dibodohi, dan membodohi diri sendiri. Memang membodohi diri sendiri, mengingat bagaimana dirinya bertahan dalam situasi tidak menyenangkan atas nama cinta.

Sepanjang berhubungan dengan Bastian, Denali lebih banyak merasa diabaikan. Dinomorduakan serta dianggap tidak penting bagaimanapun butuhnya dia pada tunangannya. Kesal sampai kepala sudah bukan lagi hal yang aneh. Kemudian, apa yang akan membuatnya bertahan dalam kondisi demikian?

Bastian memang sangat percaya diri. Denali yang sering menuntut ini itu tak lagi menjadi prioritas karena dengan sedikit perhatian saja pasti akan kembali memaafkan calon suaminya. Namun, sekarang? Mimpi saja!

Dalam keterdiaman, ponsel Denali kembali berbunyi. Segera saja diraihnya benda itu dan melihat pesan yang baru saja diterima. Dari Bastian lagi.

Bastian: "Kenapa kamu hanya membaca pesan tanpa membalasnya, Den? Aku bisa marah kalau kamu seperti ini terus menerus."

Marah? Pria itu bahkan tidak berhak marah sama sekali mengingat dialah penyebab semua kekacauan yang terjadi. Denali melemparkan ponsel ke tumpukan bantal. Dia sudah malas membalas pesan Bastian. Lebih baik meneruskan kegiatannya daripada meladeni Bastian yang labil seperti anak kecil.

Denali meraih ransel. Benda itu terus berada di kursi sejak pulang dari Lombok. Waktu itu, dia hanya mengeluarkan baju kotornya saja. Untunglah ranselnya tidak kotor, tetapi sebelum disimpan memang harus dibersihkan dulu. Jadi, tidak repot saat akan menggunakannya kembali.

Beberapa nota ditemukan Denali di kantong tambahan bagian depan tas. Ada juga tiket yang sudah kusut dan sebuah kartu nama. Alisnya berkerut, kartu nama siapa?

Captain Elbrus. Ingatan Denali berlari ke hari di mana dia akan berlibur ke Lombok. Saat menangkap basah Bastian, seorang pria membawanya pergi dari sana.

Pria yang sama sekali tidak dikenal Denali. Membawanya berjalan sejauh ... entah sejauh apa, yang jelas dirinya telah aman dari pandangan Bastian. Di sebuah kursi ruang tunggu, tangannya dilepaskan.

"Apa yang kamu lakukan?" tanya Denali, sadar dari pesona yang membiusnya beberapa saat lalu.

"Saya pikir, saya sedang menyelamatkan harga dirimu."

"Harga diri?" Apa maksud pria itu? Denali bahkan tidak bisa mencerna apa yang dikatakannya. Lalu, ada hubungan apa dengan dirinya? Kenal saja tidak.

"Saya tidak mungkin salah membaca situasi, 'kan?" Pria itu masih santai. "Menatap orang dalam restoran, cemburu atau patah hati?"

Denali mengingat beberapa kejadian, tetapi tidak merespons ucapan si pilot. Lagi pula, apa gunanya? Mereka bukan teman dan tidak saling mengenal sebelumnya. Yang dilakukannya hanya diam, sampai pria itu mengambil sebuah kartu nama dari saku seragamnya. Denali menerima benda itu dan memasukkannya begitu saja ke kantung depan tasnya. Dia bahkan tidak peduli ketika si pilot berlalu tanpa mengatakan apa-apa.

Pesawat KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang