🦋 40. Kenyataan Pahit 🦋

1.3K 334 108
                                    

Malam, temans. Masih nungguin El? Silakan merapat kalau gitu😁
.
.
Denali duduk tenang di samping papanya. Di sisi lain sang papa, ada mamanya, lalu Regan, cucu pertama keluarga itu. Di samping si bocah ada Danti, dan Mandala. Sesekali Denali mencolek pipi Regan dan dibalas senyum lebar, memamerkan gigi kelinci si anak.

"Bagaimana usahamu, Mandala?" tanya Barman membuka pembicaraan yang sempat terhenti.

"Lancar, Pa," jawab Mandala santai.

"Di perumahan depan rumahmu itu ada ruko dijual. Mungkin bisa disewa untuk usahamu. Lumayan itu daripada di rumah."

"Mahal itu, Pa," tukas Winda. "Usaha kecil-kecilan begitu, takutnya nggak nutup biaya operasional."

"Danti, bantu suamimu cari info soal ruko itu. Nanti, Papa bantu supaya bisa maju usahanya." Mengabaikan ucapan istrinya, Barman malah berpaling pada menantunya.

"Makasih bantuannya, Pa. Nanti, Dan—"

"Nggak usah malu-malu, Danti. Anak kalian itu mau dua. Kalau begitu-begitu saja, mana cukup buat biaya? Zaman sekarang, sekolah nggak ada yang murah."

"Iya, Ma. Nant—"

"Mbak Danti ini terus terang saja kenapa?" potong Denali hilang kesabaran. Bukan dirinya yang sedang diremehkan mamanya, tetapi emosinya yang meronta. "Bilang saja kalau kalian sudah membeli ruko itu daripada ribet ngomong sama Mama."

"Apa?" Winda tak percaya.

"Banyak duitnya Mas Mandala itu, Ma. Perlu Mama tahu, dia belinya nggak nyicil."

"Ayo, makan dulu! Keburu dingin itu udang asem manisnya."

Denali tersenyum sambil melirik Mandala. Mama mereka memang langsung diam atau mengalihkan topik pembicaraan ketika tidak menemukan celah untuk mengomel. Apalagi jika sudah menyangkut urusan kemapanan, tak akan ada yang mampu berhitung-hitung dengan beliau.

"Regan, sini duduk sama Oma. Spagetinya Oma enak sekali, kamu mau mencicipi?"

Regan yang hanya bertemu Winda sekali-sekali, butuh bujukan Danti sebelum mengangguk dan mendatangi neneknya. Mandala bertukar kursi dengan putranya sesuai keinginan sang mama. Selanjutnya, Regan menerima suapan Winda sambil terus menatap wajah neneknya.

"Papa nawarin iga penyetnya ke Denali nggak?"

"Nggak. Makan sendiri!" sahut Barman.

"Papa nggak asyik," gerutu Denali. "Mas Mandala mau ...."

"Bayi besar," ujar Mandala sambil menyuapkan satu sendok sop buntut ke mulut Denali. "Yang begini mau nikah. Iyuuhh ... bakal ngerepotin." Mandala mencari gara-gara dengan mengungkit status Denali.

"Nikah-nikah, nikah aja sendiri!"

"Denali, jangan mulai!" tegur Winda.

"Denali nggak mulai, kok, Ma. Tapi, mengakhiri."

Denali senang dengan keberadaan Regan di sisi mamanya. Hal itu membuat wanita yang melahirkannya tidak bebas bicara. Bagaimanapun, beliau paham kalau tidak mungkin berbicara keras di depan anak-anak.

"Bastian itu baik, masih saja ngotot nggak mau nikah." Meskipun kalimatnya selalu sama dari waktu ke waktu, Winda berbicara lembut kali ini. Denali tahu pasti kalau itu adalah efek keberadaan Regan.

"Om Bas nggak ganteng, Oma," kata Regan polos.

"Yang ganteng siapa?" Barman menatap cucunya. "Regan?"

"Bukan, Kek." Regan menggeleng. "Yang ganteng Om El, pakai kacamata hitam. Suka bawakan kue buat Egan. Om Bas pelit."

"Siapa Om El?" tanya Winda.

Pesawat KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang