🦋 31. Merindumu 🦋

1K 371 86
                                    

Malam, temans. Ada nggak, sih, yang nungguin banget cerita ini?

Pameran lukisan bisa dikatakan sukses. Pameran dibuka dari pukul sepuluh pagi sampai pukul tujuh malam. Hampir setiap hari Denali ada di lokasi pameran bersama teman-temannya di waktu yang sudah ditentukan secara bergantian.

Dari hari pertama sampai kedua puluh, pengunjung tidak pernah berhenti datang. Walau tidak sebanyak bazar makanan, tetapi cukuplah orang datang silih berganti. Denali tidak tahu bagaimana semua terjadi. Namun, apa pun jawaban di balik itu, dirinya merasa benar-benar bersyukur.

Hati Denali memang bahagia, tetapi ada yang kurang dan itu tidak membuatnya lega. Elbrus belum datang dan ini hampir hari terakhir. Alisnya berkerut memikirkan di mana sosok yang dirindukan itu.

Apa kata Elbrus ketika Denali akan mengadakan pameran? Pria itu pasti akan datang karena tidak mungkin tak punya waktu sama sekali. Kemudian, dalam panggilan video empat hari lalu juga mengatakan kalau pasti akan datang.

Hari-hari pameran dijalani Denali dengan perasaan campur aduk. Sambil menjelaskan kepada pengunjung yang bertanya ini dan itu, pikirannya terus mencari Elbrus. Menghitung hari demi hari, waktu demi waktu kapan kiranya orang yang mulai mengusik hatinya itu akan datang.

"Den, ada yang nawar lukisan My Sunrise dan Future."

Denali menoleh dan mendapati Dias yang berdiri dengan senyum lebar. Dua lukisan yang hanya dipamerkan sebagai pelengkap, tetapi dia tidak ada maksud untuk menjual. Yang dua itu harus dilihat dulu oleh orang yang ada dalam gambar, pikir Denali.

Masih teringat jelas dalam benak Denali tentang komentar teman-temannya ketika lukisan itu dibawa sehari sebelum pameran. Siulan dan godaan yang tidak berhenti dari siang sampai sore. Berkali-kali, dia mendengar kalimat bahwa tidak akan sulit melupakan Bastian jika ada yang lebih segalanya dan tentu saja menghargai perasaannya.

"Jadi, dia pilot?" tanya Jihan seraya menatap tajam Denali. "Aku penasaran setengah mati."

"Mendingan dia ke mana-mana daripada Bastian yang nggak peka."

"Jelaslah Mas Elbrus lebih oke. Menghargaimu dan nggak menggandeng teman perempuan setiap waktu."

"Hubungan cinta itu berdua, Den, bukan bertiga."

Denali tidak menjawab pertanyaan Jihan atau menanggapi ucapan teman-teman. Matanya terus mengamati lukisan itu dipajang, memastikan posisinya tidak miring dan berada di tempat yang tepat, yaitu tempat yang langsung dilihat banyak orang. Tempat yang tidak mengambil tempat orang lain, tetapi memang diberikan Dias untuk menempatkan karyanya.

"Den?" Dias menepuk halus bahu Denali. "Kok ngelamun, sih?"

"Aku sudah bilang dari awal, Bang, kalau yang dua itu nggak dijual. Kalau memang masih ada pengunjung, tempel saja label terjual di situ."

"Tawarannya menggiurkan, Den. Paling mahal dari semuanya. Yakin nggak dilepas?"

Apa yang lebih menggiurkan lebih daripada uang? Denali tidak pernah berpikir tentang itu sebelumnya. Sekarang, ketika dihadapkan dalam situasi yang membuatnya berpikir lebih penting uang atau hatinya, dia sudah tahu jawabannya.

"Enggak," jawab Denali mantap.

"Jadi, gambar itu memang kamu pajang hanya untuk melengkapi saja? Nggak ada minat menjual sama sekali?"

"Nggak sekarang, Bang. Mungkin lain kali."

"Orangnya meninggalkan kartu nama seandainya kamu berubah pikiran. Sekarang, kalau kamu lelah, pulanglah!"

Denali tidak menjawab. Dia melangkah ke tempat lukisan yang diberi judul Future berada. Gambar yang dibuat saat hatinya dicekik rindu. Sampai sekarang pun, masih karena objek dalam lukisan itu belum pulang sampai sekarang. Besok adalah hari terakhir dan sungguh, perasaannya luar biasa tidak menentu.

Setelah puas, Denali melangkah menuju lukisan berjudul My Sunrise. Itu adalah gambar Elbrus di Colloseum yang dia gambar sesuai dengan fotonya. Pameranku akan berakhir, tetapi rinduku tidak.

Denali menunduk sambil menarik napas panjang. Matanya mengedip beberapa kali untuk menghalau air mata yang siap bergulir ke pipi. Perasaan ini benar-benar tidak bagus, batinnya.

Suara beberapa langkah di belakangnya tidak membuat Denali berbalik. Kepalanya kembali mendongak, menatap Colosseum dalam lukisan. Sebenarnya bukan bangunan menakjubkan itu yang sedang ditatapnya, tetapi Elbrus dengan pesonanya.

"Dicari dari tadi, nggak tahunya di sini."

"Ada apa?" Tanpa menoleh pun Denali tahu kalau Fajar yang mendatanginya.

"Galeri ada pengunjung lagi, bisakah kamu bergeser sedikit?"

Denali benar-benar bergeser seperti yang dikatakan Fajar. Hanya bergeser, tidak ada keinginan untuk berlalu. Beberapa orang datang dan pergi melihat gambar yang sama dengannya. Ada yang sebentar, ada juga yang lebih lama. Kemudian, ada percakapan dan tawa pelan di belakangnya.

Siapa yang peduli pada percakapan orang? Denali terlalu sibuk berbicara pada dirinya sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Elbrus pasti menepati janjinya untuk datang meski hanya sebentar.

Semakin menatap gambar di dinding, semakin Denali ingin berteriak. Tiba-tiba, dia seperti susah bernapas, seolah terperangkap dalam ruang kosong, gelap, dan hampa udara. Udara terasa dingin dan lama-lama membeku di sekitarnya.

Denali ingin berjuang untuk bebas, tetapi merasa terperangkap. Dirinya seperti terpasung karena geraknya yang serba terbatas. Keinginannya hanya satu, keluar dari perangkap ini. Namun, sepertinya dia gagal.

"Ngelamunin apa, sih, Den?" Jihan muncul entah dari mana. "Ada yang mau ketemu sama pelukis dengan judul Badai."

"Kok bilang aku? Tanya sama Bang Dias, dong, kalau nggak tahu!"

"Bang Dias?" Jihan menyipitkan mata. "Bukannya pelukis Badai itu kamu?"

Astaga! Denali menepuk dahi dengan telapak tangan. Dia berlalu ke arah depan, kemudian kembali untuk menanyakan siapa dan di mana yang mau bertemu. Bisa-bisanya melupakan karya sendiri.

Orang yang ditemui Denali adalah pasangan berusia awal enam puluhan. Sang suami mengatakan sangat menyukai lukisan itu. Gambar yang mengingatkan masa muda ketika masih bekerja sebagai pelaut.

Dalam lukisan itu, Denali menggambar sebuah perahu dengan layar terkembang. Posisi kapal miring karena angin kencang serta awak kapal yang berpegang erat pada tiang di tengah guyuran hujan. Lukisan yang benar-benar menggambarkan perjuangan hidup.

"Saya menyukainya," kata si bapak. Ini lukisan orisinil, 'kan? Bukan replika?"

"Tidak, Pak. Saya tidak mereplika gambar ini."

"Saya harap, kami bisa memiliki lukisan itu. Saya urus sebentar lagi, ada satu lukisan lagi yang ingin saya lihat."

"Silakan, Pak!"

Pasangan itu pergi, meninggalkan Denali yang kembali terdiam. Masih ada pengunjung yang melihat lukisan demi lukisan. Dia tidak tahu bagaimana sejumlah orang ini tampak saling mengenal. Rombongan atau kebetulan saja beramah tamah.

Denali kembali ke gambar Elbrus. Ditinggal sebentar saja, gambar itu sedang dilihat empat orang. Dua laki-laki, terlihat sedang menjelaskan satu sama lain, dan dua perempuan yang mendengarkan sambil mengangguk-angguk.

Berdiri beberapa langkah di belakang tamu itu, Denali menatap lukisannya. Gambar Elbrus setengah badan, memakai seragam, dan berkacamata hitam. Sebuah pesawat terbang dia gambar di belakangnya dan latar biru gambar itu membuat kesan bahwa dirinya sedang menggambar pesawat yang melintas di belakang Elbrus.

"Kalau saya yang membeli lukisan itu boleh?"

Pertanyaan bernada lembut itu diucapkan bersamaan dengan jemari Denali yang diraih menuju genggaman hangat. Denali melihat tangan yang menaut tangannya, lalu perlahan memindah tatapannya. Berhenti di wajah yang menyungging senyum itu, rasanya seperti mendapat air di gurun pasir.

"Mas El."

Eaakk ... karena obat rindu itu cuma bertemu. Iya apa iya?😁

Love, Rain❤

Pesawat KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang