🦋 5. Tak Berubah 🦋

1.1K 377 84
                                    

Malam, temans🤩
Seneng, deh, aku bisa menemani malming-mu bareng Mas Bas😝
.
.
Sudah Denali katakan, bukan, kalau Bastian itu lebih mementingkan Sharlene daripada dirinya? Baik sebelum pergi ke Lombok atau beberapa saat lalu. Dengan dalih tak ingin temannya berada dalam kesulitan, pria itu tak mengindahkan ucapan mamanya dengan tetap pergi demi si teman masa kecil.

Denali tidak berkata apa-apa lagi setelah orang tua mereka melihat yang terjadi. Mama Bastian terus saja mengatakan bahwa bisa jadi Sharlene memang perlu bantuan, sementara mama Bastian berjanji akan menegur putranya. Menegur bagaimana yang dimaksud? Dicegah terang-terangan saja tidak mempan, apalagi hanya menegur beberapa jam setelahnya. Percayalah, itu tak akan berarti seperti tak berartinya mencampurkan garam ke lautan.

Untuk kesekian kalinya, Denali kecewa. Meskipun menyatakan pertunangan berakhir, dia masih memiliki harap. Setidaknya, Bastian bisa menunjukkan kesungguhan kalau memang masih ingin mempertahankan hubungan mereka. Tak ingin luka hatinya terbaca dengan gamblang, Denali kembali ke balkon, sementara para orang tua masih serius membahas kelanjutan hubungannya dengan Bastian. Dia menatap lukisannya, lalu merasa kesal. Apa yang ingin dia lakukan beberapa saat lalu terlupakan.

Denali membiarkan layar ponselnya terus berkedip. Nama Bastian memanggil setidaknya lima kali sejak kepergiannya. Buat apa menelepon? Mau bertanya apa yang diinginkannya sebagai oleh-oleh ketika dia pulang yang bisa jadi hampir tengah malam nanti? Laki-laki itu bisa berpikir atau tidak kalau apa yang dilakukannya salah?

Berusaha untuk mengusir kekalutan hatinya, Denali menggeleng dan menarik napas panjang beberapa kali. Tidak akan dia berikan kesempatan kedua kepada Bastian. Hubungan mereka selesai seperti keputusannya beberapa hari lalu dan dirinya harus fokus menata masa depannya.

“Den, Bastian bilang kamu nggak angkat teleponnya?” Hesti datang membawa secangkir teh yang diletakkan di samping Denali.

“Denali nggak angkat telpon kalau kerja, Tante,” jawab Denali halus. Pandangannya terarah ke kanvas, berharap mama Bastian mengerti kalau dirinya tidak mau diganggu.

“Sebentar saja masa tidak bisa disempat-sempatkan, Den? Lagi pula, pekerjaanmu itu tidak terikat.”

Bahkan mamanya masih bisa berkata dengan santai tanpa memedulikan perasaan Denali. Baiklah, dia mengerti kalau memiliki suami mapan adalah hal yang harus dipikirkan, tetapi pernahkah mamanya berpikir bahwa kenyamanan finansial saja tidak cukup untuk membina sebuah rumah tangga? Apa gunanya berkecukupan kalau tidak pernah bisa hidup rukun serta saling toleransi?

“Meskipun nggak bekerja dengan orang lain, Denali harus disiplin dengan pekerjaan. Kalau dengan diri sendiri saja seenaknya, bagaimana orang bisa percaya dengan Denali?”

“Halah, cuma menggambar ini. Nggak usah terlalu dibesar-besarkan!”

Mamanya memang tidak pernah berubah. Keinginannya adalah melihat anaknya bekerja kantoran. Duduk nyaman menyelesaikan pekerjaan dan menerima gaji setiap bulannya tanpa peduli bakat dan minat anak. Denali tidak ambil pusing. Biarkan saja, setidaknya dia masih bisa membuat dan menghasilkan sesuatu daripada diam dan menggantungkan hidup pada orang lain.

“Jangan begitu, Jeng. Pekerjaan di bidang seni itu memang membutuhkan suasana hati tertentu. Kita mesti menghormati karena pikiran itu tidak bisa dipaksakan.”

Denali tidak terkesan dengan pembelaan Hesti. Dua perempuan paruh baya yang bersamanya ini sama. Bisa sangat merepotkan kalau menginginkan sesuatu dan siap memaksa siapa saja untuk mendapatkan tujuannya. Denali tidak akan terkecoh dan melunak. Bukannya tidak menaruh rasa hormat, tetapi dia perlu melindungi hatinya sendiri.

“Maksud saya itu, mbok ya, Denali ini mau bekerja kantoran. Mumpung ada papanya Bastian yang bisa menolong supaya bisa langsung bekerja.”

“Biarkan saja. Nanti kalau menikah dengan Bastian juga pasti dia di rumah saja. Nggak ada bedanya, ‘kan, dengan saat ini? Menghasilkan atau tidak, yang penting Bastian mampu mencukupinya tentu sudah bagus.

Bermimpi saja terus! Semua orang boleh berharap pernikahannya dengan Bastian akan terjadi. Tidak masalah, itu sah saja, tetapi hasil akhirnya tetap dia yang menentukan. Kalau dia tetap tidak mau, orang lain bisa apa?

“Kamu ada nggak Den, orang yang pesan lukisan dirinya atau rumah-rumah mereka?”

Pertanyaan apa itu? Tentu saja Denali menerima segala macam permintaan mengingat dia bukan baru bekerja di  bidang ini selama satu atau dua tahun. Jangankan lukisan diri dan rumah-rumah, yang minta lukisan keluarga dan vila saja banyak. Belum lagi permintaan pemandangan yang harus mirip aslinya padahal Denali tidak pernah melihatnya sama sekali.

Denali menggambar semua hanya sesuai dengan permintaan customer saja. Apa dan bagaimana yang dikatakan mereka, begitulah yang digambarnya. Apakah hasilnya akan langsung sesuai? Belum tentu. Kadang-kadang ada beberapa customer yang menungguinya bekerja dengan alasan tidak mau terjadi kesalahan. Supaya cocok dengan yang dibayangkannya, begitu dalih mereka.

“Satu dua orang ... mungkin. Denali nggak ingat persisnya, Tante.”

“Kapan-kapan, lukis foto pernikahan Om dan Tante, ya? Hitam putih saja, supaya terlihat lebih artistik.”

Denali berpikir sejenak. “Boleh.” Memangnya kapan mereka mau menyerahkan foto untuk dilukis? Kalau hanya mengatakan kapan-kapan saja, pasti sering lupa.

Denali menatap mamanya sinis. Tak perlu menjadi pandai untuk membaca isi hati beliau. Bagaimana cara mama Bastian untuk terus berkomunikasi dengannya tidak akan melunturkan keinginannya untuk berpisah. Sudah cukup baginya menjadi orang ketiga dalam hubungannya sendiri.

"Denali, apa pekerjaanmu sudah selesai?" Papa Bastian tiba-tiba muncul di sana. "Temani Om main catur kalau kamu sudah selesai!"

"Tunggu!" pinta Hesti ketika Denali sudah bangkit. "Bastian mau ngomong sama kamu."

Mau tak mau, Denali menerima ponsel mamanya Bastian. Malas sekali rasanya, tetapi demi rasa hormatnya pada orang tua dia meletakkan benda itu ke telinga. Tidak mengatakan apa-apa karena sedang mendengar percakapan di seberang.

"Ya biarin aja, sih, Bas, kalau Denali nggak mau nerima telpon. Barangkali pekerjaannya sedang deadline … ya, meski seniman hampir nggak punya tenggat pekerjaan, sih. Gimana kalau kita nonton midnight saja?" Mungkin Sharlene tidak sadar kalau suaranya terdengar oleh Denali melalui telepon.

Ternyata begitu kelakuan si rubah betina itu kalau hanya berdua saja dengan Bastian? Meskipun suaranya merdu merayu, tetap saja niat tak baik itu terdengar oleh telinga Denali. Jangan harap kalian bisa bersenang-senang di atas penderitaanku!

"Kenapa, Bas?" tanya Denali setelah suara Sharlene menghilang.

"Kamu mau dibawakan makan malam apa? Biasanya kalau sudah melukis, kamu sampai lupa waktu."

"Kamu sedang di resto apa?" 

"Nasi goreng langgananmu."

"Sudah mau makan dia? Mau dipesankan apa? Nasi goreng apa bakmi? Atau lalapan saja? Sudah kubilang, 'kan, kalau semua akan baik-baik saja? Mana mungkin Denali bisa marah lama-lama denganmu?" Lagi-lagi suara Sharlene terdengar.

Sialan memang, umpat Denali dalam hati. Rupanya perempuan itu masih terus berusaha untuk memengaruhi Bastian. Orang boleh percaya dengan seluruh dalihnya. Namun, Denali tidak akan tertipu.

"Sabarlah, Sharlene. Denali boleh marah karena kejadian kemarin."

Denali tidak suka nada bicara Sharlene yang seolah menyepelekan keberadaannya. Bukankah seharusnya perempuan itu juga meminta maaf padanya? Bukannya terus berusaha memonopoli seluruh waktu Bastian?

"Kamu ngomong sama Sharlene atau sama aku, Bas?"

"Tentu saja sama kamu, Den. Jadi, kamu mau dibawakan apa?"

"Kalau aku mau dibawakan, kamu mau langsung bawa pulang?"

"Ya iya dibawa pulang, Den. Tapi, setelah aku antar Sharlene pulang dulu."

"Kalau begitu, sekalian makan saja nasi goreng itu di rumahnya!" ketus Denali sambil menyerahkan kembali ponsel Hesti.

Ternyata masih nggak tega kalau temannya pulang sendirian🤐
Sampai jumpa hari Rabu🤩

Love, Rain❤

Pesawat KertasTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang