Bagian 1 :: Bu Dosen Soo-jeong

597 26 2
                                    

Ketika pertama kali Soo-jeong menginjakkan kakinya ke halaman kampus tempat ia sekarang mengajar, keraguan masih melumuri perasaannya.

Tadi ia berangkat berbekal sekantong besar tekad. Tapi kini ia ragu.

"Mampukah aku menjadi dosen yang memiliki kredibilitas di salah satu universitas favorit di Seoul ini?"

Terlebih lagi kalau mengingat wajahnya yang sepertinya tidak pernah bisa menjadi tua ini. Tidak terhitung orang yang terkecoh dengan wajahnya dan mengira ia masih seorang mahasiswa baru.

"Padahal tidak sampai tiga tahun lagi umurku akan genap tiga puluh."

Buru-buru Soo-jeong segera melangkah dan menghapus keraguannya kala teringat segunung tantangan ada di depan matanya.

"Aku harus bisa membuktikan pada diri sendiri dan keluargaku bahwa keputusanku untuk pindah pekerjaan ini tidak salah."

Kalau dilihat dari segi penghasilannya, bekerja sebagai dosen penghasilannya tidak seberapa. Tapi Soo-jeong tidak melihat dari segi penghasilannya.

"Pasti orang-orang sudah menganggapku wanita tolol. Tapi aku tidak heran jika orang-orang menganggapku seperti demikian."

Bayangkan saja, keluar dari perusahaan besar yang memberinya gaji besar. Berapa banyak para sarjana yang menganggur sekarang ini karena sulit mendapatkan pekerjaan yang sesuai ilmu yang mereka miliki.

Namun dengan kesadaran dan kemauannya sendiri, Soo-jeong mengajukan surat permohonan berhenti dari kantor tempatnya bekerja sejak ia menyelesaikan program magister tiga tahun yang lalu.

Mengetahui hal itu, kedua orang tuanya menggeleng-gelengkan kepala-tidak mengerti. Apalagi keputusan itu diambil tanpa ragu sedikit saja.

"Apa kau menyadari risikonya?" tanya ayahnya saat ia mengatakan akan berhenti dari pekerjaannya yang menjanjikan itu.

"Aku sadar. Sangat sadar, bahkan."

"Sadar apanya?" ayahnya bersungut-sungut.

Ayahnya tahu betul apa arti pekerjaan bagus dalam situasi ekonomi saat ini yang amburadul. Menjadi pengangguran saat jiwa dan raga masih sehat sangatlah tidak menyenangkan. Dan sekarang putri keduanya, pulang-pulang berkata ia sudah keluar dari pekerjaannya.

Apalagi alasannya itu terbilang sangat sepele; tidak cocok dengan orang-orang di sana.

"Aku sadar belum tentu akan mendapat pekerjaan sebagus itu nantinya. Sadar juga karena sudah menyia-nyiakan anugerah Tuhan. Dan sadar bahwa aku akan menjadi pengangguran selama beberapa waktu." Soo-jeong menjawab kalem.

"Nah, kau tahu itu!" ayahnya kembali bersungut-sungut.

Ibunya hanya menjadi pendengar dan menyimpan kekecewaan di dalam hati. Pelan-pelan sang ibu mulai membuka suara.

"Soo-jeong~ah. Appa mengkhawatirkan masa depanmu. Kau tahu, 'kan, Appa sudah pensiun. Ia sudah tidak bisa memanjakanmu seperti dulu lagi. Jadi kau sendiri yang harus mencari pendapatanmu. Tapi kau malah keluar dari pekerjaanmu."

Soo-jeong tertawa lembut.

"Appa dan Eomma tidak perlu memanjakanku secara materi lagi," sahutnya kemudian. "Percayalah, Appa, Eomma, aku sekarang sudah dewasa. Ada banyak hal yang lebih bernilai dibandingkan materi. Aku sekarang juga bertanggung jawab pada hidupku sendiri. Appa dan Eomma tidak usah merasa cemas. Aku mohon doa saja, supaya mendapat pekerjaan yang tidak kalah baiknya."

Sang ayah tercenung beberapa saat, menyerap apa yang dikatakan putrinya. Tapi lagi-lagi siratan kekecewaan masih terbias keluar.

"Appa masih belum memahami mengapa kau semudah itu memutuskan masalah besar."

0 cm | Kaistal ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang