⚠PERINGATAN⚠
- Author Jarang Menulis Memakai Bahasa Indonesia, Maklum Jika Terlihat Aneh
- Menerima Komen Saran dan Kritik Konstruktif
- Typo Merajalela
- Mohon untuk Tidak Mencontoh Hal-Hal yang Terjadi di Cerita Ini
- Cerita Tidak Bermaksud untuk Menyinggung Pihak ManapunSelamat Membaca!
—————
Jumlah Kata: 880
—————
Burung-burung berkicau dengan merdu, matahari mulai menampakkan dirinya dari belakang gunung hijau berpuncak putih menjulang tinggi ke awan-awan, bau embun setelah hujan yang khas tercium di seluruh bentang alam.
Indonesia terduduk di meja belajarnya, dengan lentera yang tidak menerangi seluruh kamarnya di dekatnya, membaca sebuah buku dengan seksama dan tekun, menyeret jari telunjuknya di bawah setiap kata yang sedang ia baca, matanya mengikuti jarinya dalam membaca buku yang terlihat kuno itu.
Pria itu terlamun dalam pembelajarannya, hilang pada kata-kata yang tercetak di atas kertas usang itu di dalam imajinasinya, otaknya mempelajari semua yang ia telah baca untuknya menggunakan hal-hal itu pada waktu yang lama nanti.
Lelaki berkulit putih itu tahu betul bahwa dia tak mungkin dapat menggunakan apapun dari ini untuk waktu sekarang. Namun, besar kemungkinannya untuknya memakai informasi ini pada saat yang akan datang di masa depan. Dirinya hanya tinggal menunggu.
Bunyi senandung Indonesia terdengar dengan lirih di kamarnya yang terselimuti kegelapan itu. Sungguh, putra angkat tertua ASEAN mengenang nada lama itu di lamunannya, seluruhnya terserap dalam ke-fokusan dirinya dalam semua ingatan masa lalu yang ia miliki.
Indonesia terhenti seketika saat terdengar suara ketukan di pintu. Mengeluarkan nafas yang penuh rasa kecewa entah kenapa, pria tersebut berdiri dari kursi nyamannya, dan berjalan menuju pintu kayu dicat putih dengan detail ruwet berwarna merah mengkilap. Menekan ke bawah tuas pegangan pintu berwarna merah itu, penerus keluarga ASEAN menarik pintu ke arahnya, dan di belakang terlihat wujud Personifikasi yang akrab ia temui.
"Ah, Bhayangkara, silahkan masuk." Ucap lelaki lebih pendek tersebut terhadap Personifikasi Militer yang ditunjuk kepadanya pribadi secara langsung. Pria lain itu memasuki ruang, dan mendengar suara khas menutupnya pintu di belakangnya, lalu menghadap kepada majikan mudanya kembali.
Menjawab perkataan miliknya tadi, ia dengan pakaian khusus para prajurit kerajaan ASEAN berkata, "Tuan muda, mohon untuk tidak memanggil saya dengan sebutan lama itu. Panggil saja diri saya Tjakrabirawa."
╭── ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ── ✯ ── ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ──╮
Resimen Tjakrabirawa
Nama Lahir: Bhayangkara
Umur: 25
Kelamin: Laki-Laki
Tinggi: 176 cm
Pekerjaan: Pengawal Pribadi Pangeran Mahkota
Spesies: Mortal
Jenis Sihir: Elemental (Air, Api, Tanah, Udara)
Tingkat Sihir: 38╰── ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ── ✯ ── ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ⋅ ──╯
Matanya yang memilki heterochromia sentral berwarna kuning-hijau menatap tuannya dengan saksama, memastikan statusnya benar-benar tidak ada masalah.
"Sudah berapa kali kau katakan hal seperti itu, wahai pengawal setia diri ini?" Indonesia menjawab pernyataan Tjakrabirawa dengan pertanyaan, yang membuat penjaganya itu tersendat atas hal yang baru saja dikatakan.
Setelah beberapa detik hening berlalu, barulah kata-kata tanggapan dari garda pribadinya keluar, "Termasuk yang baru saya ucapkan, tujuh puluh tiga kali sedari nama baru itu saya terima, tuan muda." Keheningan kembali menjadi salah satunya suasana di kamar tidurnya itu, sampai balasan dari lelaki bersurai merah itu terdengar.
"Dan apakah kau benar-benar mengira saya akan luluh dalam permintaanmu itu?"
Pertanyaan yang ia lempar lagi membuatnya terkejut, terlihat dari matanya yang sedikit membesar setelah mendengarkan perkataan Indonesia sebelumnya. "Tidak, tuan muda." Jawab Tjakrabirawa dengan jujur.
Indonesia hanya tersenyum tipis atas semua yang telah Tjakrabirawa katakan padanya. Putra mahkota dari salah satu monarki besar di dunia ini benar-benar menghargai kejujuran di antara para pelayannya itu, dan Tjakrabirawa yang merupakan pengawal pribadinya itu merupakan salah satu yang menurutnya paling jujur (dan juga keras kepala) di antara semua Personifikasi lain di kehidupan ini.
Tjakrabirawa memang sekilas terlihat sebagai manusia berpenampakan Asia Tenggara biasa, dengan rambut hitam lebatnya dan kulit sawo matang yang dia miliki, namun samar-samar terlihat logo dari resimen yang ia wujudkan hidup-hidup—Resimen Tjakrabirawa—di tengah-tengah mukanya itu, dan juga matanya yang bisa dibilang abnormal jika dibandingkan dengan manusia biasa.
"Baiklah, mengapa anda ingin menemui diri saya ini di waktu di mana matahari baru saja terbit, Bhayangkara?" Indonesia memulai percakapan dengan nada yang lumayan serius, selagi dirinya kembali duduk di kursi depan meja kerjanya, mengalihkan pandangannya dari pengawalnya menuju apa yang ada di depannya itu, dan jari jemarinya membuka sebuah buku menuju halaman yang ia inginkan.
"Perihal sekolah sihir yang dikatakan sangat 'bergengsi' itu." Ucap Tjakrabirawa dengan nada sarkas di bagian akhir. Perkataannya membuat lelaki bersurai merah di depannya terhentak dan berhenti dari semua yang ia sebelumnya lakukan, selagi Indonesia sekarang menoleh ke belakang untuk menghadapnya.
"Institut Bhinneka? Ada apa dengan sekolah saya yang dulu itu?" Ujung mata Indonesia terlihat berdenyut mengucapkan nama sekolah itu, serasa perkataannya tersisip rasa tidak suka yang jelas walaupun mendengar dari jarak jauh.
"Saya tahu bahwa anda diskors dari sekolah itu dikarenakan... insiden itu, yang menurut saya tidak masuk akal sama sekali, namun kembali ke titik pembahasan awal saya, Maharaja ASEAN telah memutuskan agar tuan muda disekolahkan kembali di tempat itu." Tjakrabirawa terdengar bimbang untuk mengatakan semua itu, seakan-akan menakuti reaksi sang pangeran, namun yang ia dapatkan terbalik dari ekspektasinya.
Indonesia menjawab kembali dengan nada yang terdengar kesal, "Maharaja ASEAN telah memutuskan agar saya kembali? Dia yang bermati-matian ingin mengeluarkan diri saya dari sekolah itu dan menggeser nama saya sebaga penerusnya karena insiden itu? Dia benar-benar menetapkan agar diri saya kembali? Apakah benar yang menyuruh itu adalah sang Maharaja ASEAN yang amat sangat membangkang itu?" Dengan gerak-gerik yang menunjukkan bahwa ia sedang membangkang, lelaki bermanik merah itu benar-benar terlihat marah.
"Ya, tuan muda." Pertanyaannya dikonfirmasi jawabannya oleh Tjakrabirawa, dan Indonesia hanya bisa menghembuskan nafas dengan penuh rasa putus asa.
"Benar-benar tak tahu malu orang itu..." Gumam sang Personifikasi Negara dengan pelan. "Sudahlah. Baik, kapan itu mulai dilaksanakan?" Tanyanya dengan frustasi.
Tjakrabirawa terdiam sejenak sebelum lanjut berkata, "... Hari ini, tuan muda."
Benar-benar tak masuk akal keberuntunganku ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ujung Cakrawala
Fanfiction[DUOLOGI DWIPANTARA #1] "Di Ujung Cakrawala, akan ditemukan semua jawaban dari setiap pertanyaan yang tumbuh di perjalanan yang ditempuhi." Di dunia yang para Personifikasi tempati ini, terdapat sebuah zat yang mengontrol semua hal dinamakan sebagai...