Ternyata aku bisa up 🤩
Silahkan dibaca!
Tanpa kusadari aku cemberut sepanjang perjalanan menuju ke rumah sakit. Aku baru menyadarinya saat dokter Tara menegurku ketika mobilnya sudah berada di parkiran rumah sakit. "Kamu kenapa cemberut terus? Masih kesal gak bisa ke sini bareng Deki?"
Bukan, tentu saja bukan. Aku kesal karena menyadari jantungku berdebar tadi karena dia. Gimana bisa itu terjadi?! Kenapa jantungku harus melakukan itu pada dokter Tara bukan pada Mas Deki? Hei jantung, kamu salah target!
Aku mendengus. "Enggak," ucapku galak.
"Ya udah, kalau gitu turun. Sudah sampai," katanya dengan nada menjengkelkan. Dia lalu membuka pintu mobil dan keluar.
Hei jantung, lihat manusia itu mengesalkan dan menjengkelkan! Jadi tolong jangan berdebar lebih kencang untuknya!
Akhirnya aku pun mengikuti dokter Tara keluar dari mobil. Kedua alisku berkumpul di tengah saat melihat dia berjalan mendekatiku lalu menjulurkan satu tangannya yang terbuka kepadaku. Gerakan itu membuat aku memandangnya dengan pandangan bingung sekaligus heran. Ini apa maksudnya? Lalu aku berpikir, jangan-jangan ...
"Dokter ... minta ongkos?" tanyaku ragu. Dia tertawa kecil. Ini pertama kali aku melihatnya tertawa. Dia ganteng! Dan jantungku kembali berulah. Isshhh!!!
Aku tahu dari awal bertemu kalau dia ganteng. Tapi saat ini entah bagaimana dia terlihat lebih ganteng. Aku baru menyadari kalau hari ini dia memakai kemeja berwarna biru muda dan celana jeans. Warna itu terlihat cocok di kulitnya yang putih. Mungkin itu yang membuatnya terlihat tambah ganteng. Ish, sepertinya bukan hanya jantungku yang bermasalah tapi mataku juga. Aku butuh memeriksakan kedua organ tubuhku itu ke dokter spesialis jantung dan mata.
"Mana tangan kamu?" Dia malah bertanya balik padaku. Pertanyaannya menyadarkanku dari kebodohan karena mengaguminya.
Aku mengangkat tanganku lalu mengamatinya. "Tangan? Kenapa dengan tangan saya?"
"Kamu gak mau saya gandeng lagi kayak waktu kecil dulu?" Mendengar kata-katanya, tangan yang tadi masih kuangkat langsung kupukulkan ke tangan yg masih terjulur. Lalu aku langsung berjalan cepat meninggalkannya.
"Dek, sakit!" protesnya di belakang. "Kalau patah kamu harus tanggung jawab."
Bodo amat!!! Ngomong aja sana sama rumput yang bergoyang! Dia dokter, dia juga tahu kalau pukulan kecil seperti itu tidak akan membuat tulang manapun di pergelangan dan jari-jarinya patah.
Aku berjalan masuk ke IGD melalui pintu depan bukan dari pintu samping yang bisa diakses dari lobi untuk menghindari dokter Tara. Orang itu kenapa, sih?! Jangan-jangan dia kerasukan makanya jadi begitu. Ih, serem!
Sesampainya di sana, aku terpana ketika melihat ruangan IGD yang semua tempat tidurnya penuh terisi. Di hari Minggu yang tidak ada poli ditambah musim sakit seperti sekarang otomatis membuat semua pasien pergi ke IGD. Oleh karena itu, aku segera bergegas ke kamar jaga untuk berganti baju supaya bisa segera bekerja.
Hari ini aku operan jaga dengan dokter Mira yang sedang kebagian jaga di IGD. "Pasien di bed satu sedang menunggu persiapan untuk dibawa ke ruang OK, di bed dua dan tiga sedang menunggu kamar, di bed lima dan enam tinggal saya kasih resep setelah itu boleh pulang. Cuma yang di bed empat yang saya operin, ya, Dok!" jelas dokter Mira dalam operan jaganya.
"Oke, siap, bed empat, ya Dok!"
"Pasien anak, sembilan bulan, Morbili." Dokter Mira lalu menjeleaskan secara detail hasil pemeriksaannya. "Pasiennya dokter Tara, ya. Saya belum sempat konsul. Oh iya, kalau melihat kondisi gendang telinga dan peradangan di sana, saya curiga ada Otitis Media Akut juga makanya demamnya gak turun. Coba nanti diingatkan untuk konsul THT ke dokter Tara. Oke, segitu aja operan saya. Selamat bekerja, ya, dokter Vici."
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Therapy (Selesai)
ChickLitBatara Sakti Prayudha sudah memutuskan kalau tidak akan pernah ada yang namanya cinta di dalam hidupnya. Pengalaman buruk di masa lalu membuatnya tidak menginginkan cinta hadir di hatinya. Karena itu dia bersikap dingin pada setiap makhluk berjenis...