Putus (?)

13.3K 1.5K 88
                                    

Maaf, aku gak bisa menepati janji untuk up kemarin!

Here we go. Silakan dibaca!


Sudah seminggu berlalu sejak pertengkaran kami di rumahku. Berarti sudah selama itu aku tidak bisa menghubunginya sama sekali. Aku berulang kali meneleponnya dan mengiriminya pesan. Tapi tak satu pun panggilanku diangkat. Begitu pula dengan pesan-pesanku, tak satupun dibalas. Dibaca saja tidak apalagi dibalas.

Di hari kejadian itu, Mama dan Papa pulang ke rumah saat waktu sudah mendekati jam makan siang. "Lho, Mas Sakti mana?" tanya Mama saat mendapati aku hanya sendiri di ruang tamu. Aku memang masih tetap di sana sambil merenungi pembicaraan kami.

"Mas Sakti udah pulang," jawabku dengan suara lemah. Aku menatap sedih pada cangkir berisi teh yang tadi kubuatkan untuk Mas Sakti.

Dengan itu saja kedua orang tuaku bisa langsung mengetahui kalau pembicaraanku dengan Mas Sakti tidak berakhir baik. Mas Sakti tidak akan melewatkan makan siang bersama di rumahku.

Mama lalu memutuskan untuk duduk di seberangku sedangkan Papa melanjutkan langkahnya ke kamar.

"Dek, Mama boleh ngomong?" Pertanyaan Mama kujawab dengan sebuah anggukkan lemah. "Mama tahu Adek sama Mas Sakti baru pacaran. Belum lama lagi, masih hitungan bulan. Mungkin kalian juga belum sama sekali membicarakan untuk melangkah ke jenjang yang lebih serius."

Mama menjeda ucapannya untuk mengecek apa aku mendengarkannya.

"Tapi, Dek, kalian pacaran itu buat apa, sih? Bukan cuma buat sayang-sayangan aja, kan. Pasti untuk membangun hubungan juga sebelum akhirnya hubungan itu kalian resmikan. Iya, gak?"

"Iya, Ma." Aku masih menjawab lemah. Rasanya kekuatanku ikut menghilang saat Mas Sakti pergi tadi.

"Pernikahan sendiri itu sebuah kompromi seumur hidup. Berarti saat pacaran kalian juga belajar untuk kompromi itu, kan?"

Pertanyaan Mama membuatku berpikir. Lalu aku teringat kalau untuk memulai hubungan ini butuh usaha yang besar untuk Mas Sakti melawan ketakutannya akan sebuah hubungan. Selama kami berpacaran, aku dan Mas Sakti juga sudah saling berkompromi dengan banyak hal termasuk waktu untuk bertemu.

"Tapi ini impian Vici. Cita-citaku, Ma. Adek berharap Mas Sakti mau berkompromi untuk masalah ini."

"Dek, itu namanya bukan kompromi. Itu mah kamu mau Mas Sakti yang ngalah. Coba kamu bicara dengan Mas Sakti. Cari jalan tengahnya, itu baru kompromi."

Gimana kami mau bicara kalau Mas Sakti sudah memilih untuk mengabaikanku. Lagipula jalan tengah yang seperti apa yang bisa kami ambil?

"Coba sekarang Mama tanya, berapa umur Mas Sakti sekarang?"

"33," jawabku sambil mendesah resah.

"Menurut Adek, di usia segitu Mas Sakti masih waktunya pacaran lama-lama apalagi LDR?"

Kini tubuhku merosot di sofa yang kududuki. Aku memandang sedih pada Mama.

"Adek kan bisa cari program spesialis lain yang ada di sini. Mama sama Papa juga lebih suka kalau kamu kuliah di sini aja, Dek. Kamu kuliah di sini aja belum tentu kalian bisa sering-sering ketemu apalagi kalau kamu di Malang?! Mungkin saat ini dia belum ingin menikah tapi Mama yakin dia juga mikirin usianya yang udah gak muda lagi."

"Tapi Mas Sakti kan cowok, Ma."

Mama memandangku mencela. "Kamu pikir cowok gak merasa penurunan stamina waktu mereka udah mulai melewati usia pertengahan tiga puluhan? Apalagi kalian dokter yang istirahatnya aja belang-bentong."

Love Therapy (Selesai)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang