Hari Rabu waktunya Vici kembali!Met baca, guys!
Selama seminggu pertama bekerja, aku memanfaatkan fasilitas ojek online untuk berpergian dari dan ke rumah sakit tempatku bekerja. Lagipula rumah sakit itu hanya berjarak sekitar sepuluh menit perjalanan dari rumah kami. Tapi Papa yang khawatir karena aku harus pulang di atas pukul sepuluh malam saat shift sore memintaku untuk memakai mobilnya sebagai alat transposrtasi.
"Dek, kamu kalau kerja nanti bawa mobil Papa aja, ya! Mobilnya jarang dipakai. Sayang jadinya." Semenjak Papa pensiun mobilnya memang hampir tidak pernah dipakai. Biasanya mereka selalu memakai mobil Mas Vidi untuk berpergian karena Mas Vidi yang selalu mengemudi.
Masalahnya aku sudah lama tidak menyetir mobil dan aku juga kurang suka dengan jenis mobil yang Papa miliki. Aku merasa Totoya Harrier milik Papa terlalu maskulin buatku.
"Mobilnya gede banget, Pa. Gagah banget kalau buat aku yang kinyis-kinyis begini."
"Kinyis-kinyis dari mananya coba?" Mas Vidi mencibirku.
Aku cemberut mendengar ucapan Mas Vidi. "Ish, susah banget sih ngakuin kalo adiknya imut."
"Papa khawatir kamu sering pulang di atas jam sepuluh begitu. Tahu gak sih kemarin ada yang dibegal di jalan dekat rumah sakit kamu itu. Papa bisa aja antar-jemput kamu setiap hari, toh kantor kamu dekat. Tapi pasti lebih enak bawa mobil sendiri, lebih leluasa. Papa juga takut ketiduran. Jam kerja kamu sama Mbak Dinda juga gak sama. Kalau sama kan bisa barengan."
Mbak Dinda setiap hari juga menggunakan ojek online untuk transpotasi dari dan ke kantor. Hanya saja jam kerja Mbak Dinda adalah jam kerja kantor pada umumnya, yaitu jam setengah delapan sampai setengah lima sore. Tidak sepertiku yang memiliki shift dua yang berakhir pukul sepuluh malam. Sedikit berbeda dengan shift dua yang dilakukan staf lain karena aku baru memulainya jam tiga sore.
Di rumah sakit tempatku bekerja untuk shift pagi diisi oleh seorang dokter fulltimer yang bekerja delapan jam sehari. Dia bekerja seperti pegawai kantoran dari Senin sampai Jumat. Dan di akhir pekan jam dokter fulltimer diisi oleh dokter-dokter yang berkerja di manajemen rumah sakit secara bergantian.
"Ya udah. Tapi temani Vici ngelancarin lagi, ya, Pa. Udah lama kan gak bawa mobil."
"Tenang. Nanti Mas yang temani, Dek!"
Dan akhirnya aku pun pasrah membawa mobil itu bersamaku. Benar kata Papa, aku jadi lebih leluasa mengatur waktu pergi dan pulang. Tidak perlu bergantung pada orang lain untuk mengantar dan menjemput.
Sekitar jam setengah sebelas malam aku baru saja menyelesaikan shift siangku. Hari ini ada beberapa kasus yang menyita habis energiku.
Belum lama memulai jam kerjaku aku sudah mendapatkan pasien dengan penurunan kesadaran sehingga aku harus melakukan resusitasi jantung paru. Meskipun dilakukan bergantian dengan dokter spesialis anestesi yang sedang stand by tapi tetap saja itu kegiatan yang menguras tenaga.
Setelahnya aku mendapatkan pasien anak usia tiga tahun yang mengalami robek di betis akibat terperosok di got. Anak umur segitu sudah pasti menangis dan berontak saat dilakukan tindakan. Untuk menyuntikan bius lokal saja butuh banyak usaha dan tenaga.
Selain itu ada pasien-pasien dengan kondisi sakit tidak berat seperti diare, batuk-pilek, demam yang datang. Tapi pasien terakhir yang aku tangani sebelum pulang tadi lebih membuatku menghabiskan energi karena emosi. Kalau emosi itu bisa dikeluarkan rasanya lebih ringan tapi sebagai dokter aku sebisa mungkin harus menahan semua emosi yang kurasa. Kurasa itulah yang membuat energiku terkuras.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Therapy (Selesai)
Chick-LitBatara Sakti Prayudha sudah memutuskan kalau tidak akan pernah ada yang namanya cinta di dalam hidupnya. Pengalaman buruk di masa lalu membuatnya tidak menginginkan cinta hadir di hatinya. Karena itu dia bersikap dingin pada setiap makhluk berjenis...