10

3 0 0
                                    

Aku meyakinkan diri untuk tetap mencintainya dengan perasaan penuh waktu itu. Tidak ada lagi lelaki lain. Hanya Anggara. Namun, keyakinanku adalah kesalahan besar.

*
"Kita nonton ini yuk?" ucapku. Aku mengajak Anggara menonton film yang sedang In saat itu.

"Yuk, nanti Anggara jemput ya." balasnya.

Malam itu, aku dan Anggara pergi ke Bioskop.

"Kamu mau?" tanya Anggara, menawarkan popcorn dan minuman.

Tapi saat itu aku tidak selera, aku hanya ingin menonton.

"Enggak."

Saat menonton, Anggara tidak mengatakan apa pun. Kami hanya menonton sampai selesai.

Kami keluar Bioskop dan menuju parkiran untuk pulang.

"Tadi kan belum makan, kita mampir ke sini dulu ya."

Anggara mengajak aku makan dulu sebelum pulang, kami makan di dekat mall. Malam itu, kami juga bercerita banyak hal, tapi aku lupa apa yang di ceritakan. Seperti biasa, Anggara membuatku tertawa.

Sampai di rumah ku, Anggara tidak langsung pulang. Kami duduk di teras sekitar setengah jam.

"Bentar ya, ngasih ini ke Ibu dulu." Tadi, Anggara membelikan makanan juga untuk Ibu ku.

"Bu, ini dari Anggara."

"Wah, baik banget dia. Bilang makasih ya, Ibu masih nyelesaiin baju dulu."

"Iya nanti aku sampaikan."

"Kata Ibu makasih." ucapku sambil membawakan Anggara minum.

Anggara hanya tersenyum.

Aku senang, bisa pergi nonton film dan makan bersama Anggara. Aku fikir aku nggak akan bisa bahagia lagi dengan Anggara. Karena masih mengingat kejadian waktu itu.

Tapi anehnya, sampai kita berpisah pun, aku dan dia tidak pernah membahas soal Bella. Aku tidak pernah menanyakan hal itu, kenapa dia bisa berpaling semudah itu.

Aku ingin menanyakan nya sekarang, tapi mungkin tidak akan mendapatkan jawabannya.

Ketika aku mengenalnya waktu itu, aku seperti tidak bisa menerima hati lain. Walaupun banyak sekali hati yang singgah. Namun tidak bertahan lama, selama aku bersama Anggara. Aku nggak tahu kenapa. Mungkin takdir. Bahkan Dewa yang begitu baiknya.

Sebulan kemudian, Anggara tamat sekolah, dan aku tidak akan merasakan bagaimana jantung berdebar ketika berpapasan dengannya di kantin lagi. Walaupun dia sudah tamat, hubungan kami masih berlanjut. Dia rutin datang ke rumahku setiap malam minggu untuk apel.

Saat itu, Anggara datang ke rumahku membawa Es Krim seperti biasa. Aku tidak tahu kenapa hanya Es Krim dan Cokelat yang selalu dia bawa. Atau mungkin Anggara tidak mengenal makanan lain?

Ketika aku sedang makan Es Krim, Anggara menuliskan 'Caca Anggara' dengan bentuk love sebagai frame nya di meja teras rumahku. Dia menulis itu memakai kunci motornya. Dan tulisan itu masih terpampang baik di meja itu sampai sekarang.

"Nulis apa?"

Aku melihat apa yang dia tulis, "Ngapain nulis itu, kurang kerjaan kamu."

"Biarin, nanti kalau ada cowok lain, mereka tau kalau kamu milik Anggara."

Aku tertawa, "Memangnya ada cowok lain yang bakalan dateng kerumah ku selain kamu?"

"Nggak tau, mana tau ada, jaga-jaga aja."

Aku tertawa mendengarnya, apa aku akan jadi miliknya selamanya? Itu yang aku fikirkan dulu. Nyatanya tidak.

Saat itu, aku bahagia karena Anggara. Dia adalah lelaki yang mahir sekali memberi bahagia sekaligus luka yang membekas sampai detik ini. Aku tidak pernah menemukan lelaki se-romantis Anggara sebelumnya. Tapi, untuk apa romantis kalau terus membuatku menangis.

Mau bahagia atau sedih, itu semua tergantung diri kamu. Kalau kamu menganggap apa yang terjadi adalah sebuah luka dan kesedihan, maka itu yang akan kamu dapatkan. Walaupun kamu mencoba untuk biasa saja dan menerima, kalau nyatanya hati mu tetap ingin merasa terluka, maka dia akan terluka hanya karena sebuah masalah kecil.

Tapi, bagaimana bisa bahagia jika memang luka yang di beri?

Keesokannya, aku berpapasan dengan Guru Kewirausahaan di Mushollah sekolah, Bu Denna namanya.

"Bu.." tegur ku.

"Ca, bisa ngomong sebentar nggak?"

Aku bingung, karena aku tidak merasa punya masalah dengan pelajaran Bu Denna.

"Kenapa ya, Bu?"

"Ini ada yang mau Ibu tanya. Bukan tentang pelajaran."

"Lalu, Bu?"

"Jadi gini, Ibu sering lihat kamu, sepertinya kamu anak yang baik."

"Ibu sudah lama perhatikan kamu, dan ingin perkenalkan kamu dengan anak Ibu. Apa kamu sudah punya calon?"

Saat itu aku bimbang, tapi dengan percaya diri aku menjawab, "Ehmm.. maaf Bu, sebenarnya Caca udah punya calon. Dia sekolah di sini juga Bu."

"Oh gitu, sayang sekali, padahal Ibu suka dengan Kamu. Ya sudah, maaf ya Ca sudah tanya masalah pribadi kamu."

"Nggak apa-apa, Bu. Maaf ya, Caca nggak bisa nerima untuk di kenalin ke anak Ibu."

"Iya nggak apa-apa. Mungkin memang belum jodohnya."

Aku tersenyum, sebenarnya aku bingung mau jawab apa. Aku fikir Anggara akan menjadi calon Imam ku kelak. Kalau tahu akhirnya tidak, apa jadi nya jika aku menerima perkenalan itu?

Dan sampai detik ini, Anggara tidak tahu tentang perjodohan yang tidak jadi itu.

KISAH UNTUK ANGGARA (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang