08 | dia, hangat

1.3K 156 4
                                    

Atap kos milik Bu Dina sebetulnya digunakan sebagai tempat untuk menjemur pakaian

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Atap kos milik Bu Dina sebetulnya digunakan sebagai tempat untuk menjemur pakaian. Namun, oleh karena areanya terbilang cukup luas dan nyaman, para penghuni justru suka bersantai di sana jika bosan dengan suasana kamar. Sebab selain terdapat tiang jemuran, ada pula sofa panjang serta meja dan kursi dengan kondisi yang lumayan. Barang-barang tersebut adalah kepunyaan Bu Dina yang memang sudah tak lagi terpakai walaupun sejatinya masih layak.

Dan, salah satu hal yang dilakukan oleh kebanyakan orang apabila mendatangi atap pastinya untuk menyaksikan pemandangan apa pun yang dapat terlihat dari ketinggian. Begitu pula dengan Linka sekarang, yang kebetulan memang baru pertama kali menjejakkan kaki di sana setelah kepindahannya.

Berhubung indekosnya tidak berada di sisi jalan besar, alhasil yang dapat tertangkap oleh penglihatan Linka hanyalah atap-atap rumah di sekitar, kabel tiang listrik, dan juga jalanan tak begitu lebar sebagai akses menuju kos. Selebihnya, Linka hanya dapat memperoleh sesuatu yang indah dari langit gelap berbintang yang terbentang luas di atas sana.

Senyum takjub gadis yang rambut panjangnya tergerai indah tersebut seketika terbit di wajah. Sudah lama sekali ia tak melakukan hal seperti itu, dan rasanya sungguh menyenangkan sekaligus menenangkan oleh sebab tak ada kebisingan yang terdengar.

Semilir angin kemudian menerpa kulit Linka, membuat dingin seketika menjalar di tubuhnya yang hanya mengenakan kaus berlengan pendek serta celana panjang longgar. Bahan yang tidak begitu tebal tentu tak mampu menghadangnya dengan sempurna. Namun, Linka hanya berusaha untuk mengabaikannya saja.

“Kamu suka di sini?”

Vokal berat Zefran serta-merta terdengar dari arah belakang, lekas mengundang atensi Linka sepenuhnya.

Laki-laki itu sudah tiba seraya membawa dua gelas berisi minuman hangat yang kemudian ia letakkan di atas meja. Sebuah jaket menggantung di punggungnya, dengan masing-masing lengannya yang menjuntai melewati bahu. Ia kemudian mengambil langkah santai untuk menghampiri Linka.

Gadis itu lantas mengangguk kecil. “Suka, Kak.”

Sudut-sudut bibir Zefran pun segera tertarik usai mendengarnya. “Kalau gitu, ke depannya kamu boleh banget ke sini kapan aja kalau misal lagi mumet sama tugas atau karena hal lainnya.”

“Emm, kalau anak kos yang lain, suka ke sini juga?”

“Mm-hmm, pastinya, dan tujuan mereka juga beda-beda. Tempat ini pernah jadi saksi gimana galaunya Maira pas putus sama pacarnya, gimana hebohnya Erga pas mabar sama Luki, gimana seriusnya pergibahan antara Jihan, Maira, sama Bu Dina yang kadang suka ikut nimbrung.” Zefran memberi jeda sejenak seiring dengan kedua alisnya yang terangkat rendah. “Ah, anak-anak kos juga pada kumpul semua di sini pas tahun baruan kemarin buat bakar-bakaran. Sayang banget, kamu belum pindah ke sini waktu itu.”

Linka mengerjap. Ia menipiskan bibir sesaat, sebelum membalas, “E-emangnya kenapa, Kak?”

Zefran mengedikkan bahu. “Ya … karena kamu nggak bisa nikmatin momen tahun baruan bareng aku sama yang lain? Momen terakhir, tepatnya. Soalnya, kalau di tahun sekarang kan, aku, Maira, sama Luki udah nggak bakal ada di kosan ini lagi, Linka. Ditambah lagi kos putra-putri bakal segera dipisah.”

Sontak Linka pun termangu di tempat. Percakapan yang pernah dilakukannya dengan Putri sekonyong-konyong kembali terputar dalam benak, dan Linka segera tersadar bahwa tak lama lagi Zefran memang akan pergi selepas tercapainya kelulusan. Namun, hingga detik ini Linka masih belum dapat memutuskan tindakan apa yang harus ia ambil.

“Tapi pasti ada momen yang lebih seru sebelum kelulusan kok, dan kamu wajib banget ikut gabung, ya,” imbuh Zefran tanpa beban, dan Linka pun hanya dapat memaksakan senyum kecil disertai anggukan pelan.

Selama beberapa saat mereka hanya tergeming sebab sibuk dengan isi kepala masing-masing. Tak lupa pula sembari menikmati suasana malam yang terbentang luas di hadapan mereka dengan menumpukkan dua tangan yang terlipat pada dinding pembatas.

Di tengah-tengah situasi tersebut, Linka tiba-tiba saja merasakan sesuatu yang hangat mulai memeluk tubuhnya. Kala menoleh, kedua matanya kontan membulat ketika mendapati jaket abu-abu milik Zefran--yang semula berada di punggungnya--sudah berpindah pada Linka. Gadis itu pun lekas menyuarakan kebingungannya, “Loh … kenapa, Kak?”

“Kenapa apanya?” Zefran menyahut dengan begitu tenangnya. “Ini aku bawa jaket emang buat kamu, kok. Soalnya aku liat kamu main langsung ke atas aja tadi, terus aku sendiri lupa buat ngingetin.”

“Terus … Kak Zef?”

“Nggak papa, sweater aja udah cukup.” Kalimatnya ditutup oleh senyum hangat yang sukses membuat debaran dalam dada Linka kian menggila.

Ini gawat. Detak jantungnya takkan mungkin sampai ke telinga Zefran, bukan? Dan, mengingat penerangan yang cukup minim, laki-laki itu juga takkan menyadari rona merah di wajah Linka, bukan? Sungguh, inginnya Linka kabur saja, tetapi ia tak mau momen langka seperti ini segera berakhir.

Atmosfer di sana dengan cepat berubah hangat. Dingin yang tadinya menyerang terus-menerus seolah lenyap, rasanya Linka pun sanggup untuk berada di sana lebih lama. Tak dapat dipungkiri bahwa hal tersebut disebabkan oleh cukup dengan hanya presensi Zefran.

“Omong-omong, aku jadi kepikiran sama pertanyaan kamu tadi, soal hasil yang nggak sesuai ekspetasi,” ujar Zefran, memulakan kembali percakapan dengan topik yang lain. Sejenak ia menyugar rambut hitamnya yang jatuh menutupi dahi. “Aku nggak bisa langsung jawab karena aku pikir, belum tentu jawaban aku ini adalah sesuatu yang pengin kamu dengar.”

Sedikit rasa penasaran pun lekas timbul dalam diri Linka. “Nggak papa, Kak. Aku mau dengar, apa pun itu.”

“Hmm, jawabannya ya … jangan menaruh ekspetasi tinggi terhadap apa pun.” Zefran menarik napas sejenak. “Maksud aku tuh gini. Kalau seseorang mengharapkan sesuatu dan ternyata hasilnya nggak sesuai, dia pasti langsung kecewa berat dan bertanya-tanya apa yang salah, tanpa dia sadari kalau sebenernya yang salah justru ekspetasi yang dibuatnya sendiri.

“Tapi, bukan berarti sama sekali nggak boleh berekspetasi, ya. Boleh banget, kok, asalkan sewajarnya aja. Selain itu, kita juga harus percaya dan yakin sama kemampuan diri sendiri kalau kita udah mengusahakan yang terbaik. Seenggaknya, hal itu bisa sedikit mengurangi kekecewaan kita, sekaligus jadi pengingat kalau kita bisa perbaiki itu dengan lebih memaksimalkan diri di kesempatan berikutnya.”

Penuturan Zefran membuat Linka termangu sebab dirinya yang sibuk untuk mencerna tiap-tiap kalimat yang dilontarkan dengan cara yang baik. Dan, tak dapat dipungkiri bahwa Linka serta-merta merasa tercerahkan karenanya. Ia pun lantas menengok pada laki-laki berkacamata di sebelahnya.

Zefran yang ternyata tengah memusatkan pandangan pada Linka pun lagi-lagi memamerkan lengkungan indah di wajah. Suara beratnya kemudian berujar, “Gimana? Apa cukup untuk mengurangi beban pikiran kamu?”

Linka menyunggingkan senyum kecil, pun terselip sebuah ketulusan nyata dalam sorot matanya. “Iya, Kak, aku juga jadi punya pandangan baru. Makasih, Kak.”

Glad to hear that,” Zefran membalas masih dengan sabit yang betah bertahan di bibir, membuat Linka mampu merasakan bagaimana darahnya berdesir.

Bisakah waktu berjalan dengan lambat saja sekarang? Sebab rasanya Linka tidak ingin kesadaran terburu-buru datang, bahwa masih ada kepentingan yang perlu segera dirampungkan.

* ੈ✩‧₊˚

bandung, 21 januari 2023

[republish: 2 oktober 2024]

See You After Midnight [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang