16

54 7 15
                                    

Keadaan Reiva masih sama, gadis kecil itu belum membuka matanya sejak kemarin. Reihan masih belum tertidur dan hanya memandang ke arah adiknya.

"Rei, kamu tidur saja, aku kasihan melihat kondisi mu. Setidaknya makanlah sesuatu." Ujar Yoshi. Reihan mengalihkan pandangannya pada Yoshi dan tersenyum tipis

"Gue belum lap-."

"Nih makan, setidaknya lo punya tenaga buat lihat adik lo sadar. Nih makan." Ujar Elisa

Sejak kemarin Elisa memutuskan untuk menemani Reihan dan teman-temannya. Ia bahkan langsung ijin dengan kakaknya, Ezra. Entahlah, Elisa dan Reihan jadi cukup dekat akhir akhir ini.

"Bunda juga makan dulu yah, bunda belum makan apa-apa dari kemarin malem." Tawar Haris

Wendy menggeleng. Bagaimana ia mau makan saat kondisi putri nya seperti ini? Wendy tak memiliki selera makan sama sekali. Gio yang melihat itu pun berjongkok di depan Wendy dan menggenggam tangan istrinya.

"Wen... Maaf belum bisa jadi ayah dan suami yang baik buat keluarga kita yah." Wendy menggeleng

"You are the best, Gi... Maaf bikin kamu khawatir, aku cuma takut kehilangan Reiva...." Wendy menunduk sembari terisak.

"A-ayah..."

Lirihan itu mengalihkan perhatian semua orang diruangan itu. Reihan menaruh kembali roti pemberian Elisa di atas nakas.

"Aku panggilkan dokter." Kata Yoshi lalu berlari keluar sembari memanggil dokter.

"Reiva mau sesuatu? Bilang sama abang yah." Reiva menoleh pada Reihan

Mata gadis kecil itu berkaca-kaca. Tangisan tak bersuara pun pecah. Reiva tak mengeluarkan suara lagi kecuali air mata yang terus mengalir. Reihan menahan sesak nya melihat keadaan adiknya. Tak apa jika ia mendengar rengekan adiknya. Tak apa ia di omelin adiknya. Asal adiknya mau kembali ceria ia rela.

Dokter pun datang dan memeriksa keadaan Reiva. Semua orang di ruangan itu diminta keluar sebentar.

Diluar semua orang cemas. Mereka menunggu dengan ketakutan. Elisa mencoba terus menenangkan Reihan, Hiro yang terus saja menggenggam tangan Gia, Yoshi yang terus berdoa dan Haris yang menumpukan kepalanya pada Naya, Sion hanya berdiri sambil menggigit kuku nya. Kebiasaan nya kalau sedang takut.

Hingga dokter pun keluar dan membawa Gio dan Wendy selaku wali mereka. Reihan kembali masuk ke dalam. Elisa hendak mengejar Reihan, tapi Gia menahan nya.

"Biarin Reihan berdua dulu sama adiknya. Ntar kita ajak dia ngomong bareng-bareng. Gue tahu lo khawatir sama Reihan. Sabar yah, El." Ujar Gia dan di iyakan oleh Elisa

"Gimana kalo kita ke kafetaria, sekalian beli apa gitu, laper gue." Kata Sion

Mereka pun setuju dan pergi ke kafetaria.

******

Dio menatap anak lelaki nya yang tertidur di ujung ranjang tepat di kaki nya. Anak ini mirip dengan seseorang. Tapi.... Siapa? Dio merasa melupakan sesuatu.

"Tuan...."

Dio menoleh mendapati Joano yang masuk ke dalam kamarnya. Dde

"Kenapa lagi, Barta?."

"Mengenai keadaan gadis kecil itu...." Dio menoleh dan menyeringai menunggu jawaban

"Mentalnya terganggu." Dengan hati yang berat Joano mengucapkan kata itu.

"Bagus, terus awasi mereka Barta." Joano mengepalkan tangan nya saat Dio mengatakan hal tersebut.

Kalau bukan demi Daniel, Joano pasti akan melaporkan Dio ke polisi. Ia hanya perlu bersabar sedikit lagi. Dengan begitu, ia akan bisa membebaskan Daniel dari tekanan ayahnya.

TWINS! Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang