my little wife : jangan menyentuh milikku

258 11 0
                                    

Selamat berhari libur

Selamat membaca

.
.
.

"JANGAN MENYENTUH MILIKKU," teriakku setelah mendorong tubuhnya ke lantai ruang tamu. Sampai di sana, aku menghajarnya habis-habisan. Mulai dari melayangkan kepalan tanganku ke rahang dan perutnya. Menginjak dadanya hingga bajingan itu kembali memuntahkan darah segar. Menendang perutnya berkali-kali.

Pak Oding berusaha menghentikan aksiku dengan menahan lenganku. "Cukup, Tuan. Nanti Tuan kena masalah kalau sampai dia meninggal. Ingat Nyonya."

Tubuhku mengejang.

Naya.

Selanjutnya ada suara sirine mobil yang terdengar keras.

"Saya sudah menghubungi kantor polisi terdekat, Tuan," lapor Pak Oding.

Aku tidak berniat menemui petugas yang datang, aku berlari kembali ke kamar. Di sana, Naya-ku duduk memeluk lututnya sambil menangis. Aku menghampirinya dan mendekapnya erat. Tubuhnya bergetar dalam pelukanku dan tak lama kemudian dia tidak sadarkan diri.

***

Andre.

Entah bagaimana caranya dia keluar dari penjara. Setelah pengadilan memutuskannya sebagai tersangka, orang tua Andre tampak marah dan ingin mengajukan banding tapi ditolak. Kesalahan Andre memang sudah terbukti oleh para saksi dan diperkuat oleh rekaman CCTV yang ada di sekolah, termasuk yang terpasang di UKS. Rekaman itu menunjukkan tindakan bejat Andre dengan jelas. Sebagai anak pemilik sekolah seharusnya dia tahu bahwa ada kamera pengawas di tempat kejadian perkara. Otaknya terlalu bodoh karena dikalahkan nafsunya.

.
.
.

Kami kehilangan calon anak kami.

Kami menangis dalam diam dengan saling berpelukan. Aku juga baru menyadari suara Naya sudah kembali saat dia diperiksa oleh dokter. Selain mengalami keguguran karena benturan yang keras, kondisi Naya dinyatakan baik.

"Maafin Mas, Nay. Lagi-lagi Mas nggak bisa jagain kamu."

Naya hanya menggeleng. Dia masih betah memelukku walau tangisannya sudah mereda.

"Mama dan Bunda sebentar lagi datang. Tadi Mas belum bilang yang sebenarnya."

Setelah Naya dipindahkan ke kamar rawat, aku menghubungi Bunda untuk datang ke rumah sakit. Aku mengatakan membawa Naya ke dokter karena mengeluh sakit.

Pintu kamar terbuka, baik aku dan Naya saling menatap sambil menghela napas dalam. Mama Intan menghampiri Naya dengan wajah khawatir.

"Ma."

Mama Intan dan Bunda terkejut mendengar suara Naya yang sudah kembali. Mereka memeluk Naya bersamaan. Isak tangis mereka membuat mataku kembali berkaca-kaca.

"Naya keguguran," jawabku saat Mama Intan menanyakan kondisi Naya.

Dengan berat hati aku menceritakan kejadian yang Naya alami di rumah. Mama Intan begitu syok hingga jatuh pingsan. Seketika Naya dan Bunda memekik panik sementara aku kembali merasa bersalah. Itu karena aku yang tidak bisa menjaga putrinya.

Aku masih menunggu Mama Intan sadar saat Bunda mengajak Naya ke kantin. Naya menyetujuinya. Dia bilang perutnya sudah tidak sesakit sebelumnya. Dia juga butuh udara segar dan segelas coklat hangat katanya. Baru saja mereka keluar kamar, Mama Intan membuka matanya.

"Rez, mana Ara?"

"Diajak Bunda ke kantin, Ma. Mama perlu sesuatu?"

Mama Intan menggeleng dan menatap langit-langit kamar. Aku meraih tangan kanannya dan mencium punggung tangannya.

"Tolong maafkan aku, Ma. Aku nggak bisa jagain Naya sampai Naya keguguran."

Mama Intan menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca. "Jangan menyalahkan diri sendiri terus, Rez. Ini sudah takdir. Mama bersyukur kamu yang menjadi suami Ara. Mama bisa tenang."

"Aku janji, Ma. Aku akan selalu jaga Naya."

"Terima kasih, Rez. Mama percaya kamu bisa menjadi suami yang baik untuk Ara. Jaga Ara."

"Iya, Ma. Pasti."

"Mama yakin setelah ini kalian segera diberi momongan lagi."

"Doain ya, Ma."

Mama Intan tersenyum dan mengangguk.

"Suara Naya juga sudah kembali. Naya pasti senang kalau tahun depan dia bisa mendaftar kuliah."

Sekarang Mama Intan menatapku tidak percaya. "Kamu mengizinkan Ara kuliah?"

Aku mengangguk pasti. "Aku sudah janji padanya untuk membantunya mendapat cita-cita impiannya. Katanya Naya mau jadi dokter."

"Terima kasih, Nak. Ara pasti senang sekali mendengarnya."

.
.
.

Tidak seperti sebelumnya di mana Naya trauma atas petaka yang menimpanya, kini Naya berjalan dengan keberanian saat menghadiri sidang dan menyatakan kesaksiannya dengan lantang. Andre sudah tidak bisa berkutik lagi. Selain kesaksian Naya, Bibik dan Pak Oding, aku juga bisa menunjukkan kebejatan Andre dengan rekaman CCTV yang terpasang di rumah. Tak ada yang bisa Andre lakukan selain mengakui kesalahannya.

Tampaknya ayahnya tidak demikian. Wajahnya mengeras saat jaksa membacakan tuntutannya dan berniat mengajukan banding. Begitu juga ibunya Andre. Hakim terpaksa mengeluarkannya dari ruang persidangan karena mencecar Naya dengan umpatan kasar.

Setelah hakim memutuskan hukuman kepada Andre, ayahnya juga beberapa petugas di penjara yang terlibat, persidangan ditutup. Andre menunjukkan wajah bersalahnya bahkan dia berlutut di depan Naya sebelum petugas membawanya keluar ruangan. Melihat ketidak berdayaan anaknya, ayahnya Andre mendengkus jengkel dan mengumpat. Aku masih bisa mendengarnya. Jika saja diperbolehkan, tentu dengan senang hati aku akan menghajarnya sampai pingsan. 

.
.
.

Lengkapnya bisa dibaca di KK
Mampir yuk😉

Sweet StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang